Penyelidik Jerman ini perlu dikenang, karena dia banyak berjasa untuk Indonesia. DialahFranz Wilhelm Junghuhn.
Ditulis oleh Suwarsih, pertama tayang di Majalah Intisari pada Oktober 1984
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Sejak remajanya di Mansfeld (Jerman Timur), Franz Wilhelm Junghuhn sudah memperlihatkan kegemarannya meneliti. Minatnya terhadap batuan dan tanaman, terutama jamur, sangat besar. Apa yang dilihatnya bila sedang ngeluyur, dikumpulkan, disimpan, dan yang penting dicatatnya secara sistematis.
Junghuhn dilahirkan pada tanggal 26 Oktober 1809. Ayahnya bekerja sebagai dokter umum di Mansfeld. Sebagaimana biasanya orangtua, ayahnya yang keras itu menginginkan putranya mengikuti jejaknya.
Junghuhn yang juga keras itu lebih tertarik menyelidiki sifat-sifat tanah dan tanaman daripada menyelidiki orang sakit. Tidak heranlah bila semasa remajanya itu dia sering dihukum badan atau dihukum untuk menulis kembali ayat-ayat dari Injil.
Dia bertekad untuk mengikuti kecintaannya, yakni botani, tetapi itu tidak sejalan dengan kemauan sang bapak, sehingga pertengkaran-pertengkaran berkobar hebat. Franz menyalahkan ibunya tidak membelanya dan bahwa cinta kasihnya tercurah kepada kucing-kucingnya saja.
Menurut cerita keluarga, pada suatu hari anak laki-laki itu membedah hidup-hidup kucing kesayangan ibunya di dinding kandang kuda "untuk mempelajari peredaran darahnya".
Ketegangan-ketegangan rumah tangga dari masa itu rupanya mencapai puncaknya. Pemuda Junghuhn dilanda kemurungan dan menjadi melankolis, sehingga sampai mencoba bunuh diri di salah sebuah reruntuhan bangunan kuno di dekat kediamannya.
Dia ditemukan sedang merintih oleh seorang wanita. Menurut buku catatan keluarga itu pula, ketika orang melaporkan kepada ayah Junghuhn bahwa ada orang melakukan percobaan bunuh diri, dia segera mengenakan sepatunya.
Ketika diberitakan lagi bahwa korban itu adalah anaknya sendiri, dia melepaskan sepatunya kembali, lalu melemparkannya ke sebuah sudut kamar. Bertahun-tahun kemudian ayah Junghuhn masih bisa marah-marah tentang "ketololan" anaknya, yang sebagai mahasiswa kedokteran dan penembak yang baik harus tahu bahwa dia tidak seharusnya menembak kepala dari belakang.
Dia menunjuk ke dahinya sambil berkata, "Beginilah dia harus melakukannya!"
Bagaimana juga setelah kejadian itu suasana rumah tangga sementara menjadi mereda. Kemudian diputuskanlah sang putra tetap akan melanjutkan studi kedokterannya, tetapi tak lagi di Halle, melainkan di Berlin.
Di sana Franz tak membuang waktu untuk segera berhubungan dengan ahli-ahli botani terkemuka. Sekalipun ia mencurahkan perhatian besar dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk penelitian botani, ia berhasil juga menyelesaikan studi kedokterannya.
Dari Legiun Asing masuk Kompeni
Sebagai mahasiswa dia ugal-ugalan, sehingga cukup memusingkan orang tuanya. Dari masa itu terjadi sesuatu yang menentukan jalan hidup selanjutnya. Dalam suatu pesta terjadi pertengkaran hebat yang bermula dari urusan sepele: Junghuhn tersangkut di dalamnya. Peristiwa itu berakhir dengan suatu duel menggunakan pistol.
Menurut Junghuhn sendiri dalam bukunya Flucht nach Afrika (1834) dia cedera, tetapi lawannya selamat. Menurut sumber lain, lawannya juga terluka, bahkan kemudian meninggal. Masih merupakan pertanyaan apakah Junghuhn dipersalahkan atas kematiannya itu. Dia menghilang dengan masuk ketentaraan sebagai dokter militer.
Akhirnya ditemukan juga dan setelah dinasnya berakhir, secara tiba-tiba dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara tentara di Benteng Ehrenbreitstein. Kemudian dia dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara.
Bagi seorang pengembara dan pecinta alam seperti dirinya, kungkungan sel merupakan siksaan luar biasa. Suatu hari penderitaannya itu tak lagi bisa ditahannya. Dia memutuskan untuk melarikan diri. Dengan berpura-pura sakit dia dipindahkan ke sebuah rumah sakit.
Di situ dia mempelajari dengan seksama bagaimana dia bisa meloloskan diri. Karena memang tidak sakit, dia dikembalikan ke penjara. Kemudian dia berpura-pura gila, sehingga dikirimkan lagi ke rumah sakit yang sama. Dari rumah sakit itu ia berhasil melarikan diri ke Belgia.
Perjalanan itu sangat sukar dan penuh bahaya, tetapi karena dia mengenal lapangan dari pengembaraannya, dia berhasil. Malam hari ia bersembunyi di hutan-hutan, dengan berjalan kaki seperti orang gelandangan dia berhasil menyeberangi perbatasan. Dari Belgia dia menuju ke Prancis. Di sana seorang perwira menganjurkan agar masuk Legiun Asing.
Dia diterima, lalu ditempatkan di Afrika Utara. Setelah selang beberapa lama Junghuhn merasa jemu, sebab semua tanaman sudah habis dicatatnya. Seorang dokter yang bersahabat memberi keterangan sakit dan Junghuhn dipulangkan ke Prancis. Di Paris ia bertemu dengan ahli botani Belanda, Peroson, yang sudah berumur delapan puluh.
Orang itu menganjurkan agar Junghuhn "teken Kompeni" sebagai perwira kesehatan agar bisa dikirim ke Indonesia. Junghuhn menuruti nasihat yang akan mengubah jalan hidupnya itu, lalu mendaftar.
Sementara itu dia mengajukan permohonan grasi kepada raja Prusia dengan rekomendasi Alexander von Humboldt, sarjana Jerman termasyhur yang tinggal di Paris. Ternyata grasi itu sudah turun empat belas bulan sebelumnya.
Junghuhn masih sempat kembali ke tanah airnya sebelum menuju ke Belanda. Di sana dia diuji, lalu diangkat menjadi perwira kesehatan kelas tiga untuk ditempatkan di Hindia Belanda.
Tanggal 2 Juni 1835 dia berangkat dengan kapal layar ke Jawa. Dia tiba di Betawi tanggal 13 Oktober 1835.
Suka keluyuran
Apa yang dialami dan dilihatnya selama perjalanannya, bintang, burung, ikan, tumbuh-tumbuhan laut dan sebagainya, dilaporkannya dengan cermat dalam buku hariannya, termasuk pengalaman saat pertama kali mendarat di Batavia. Kadang-kadang dia menulis puisi juga.
Tugasnya yang pertama adalah di daerah sekitar Semarang. Begitu terkesimanya Junghuhn akan alam, sehingga dia lebih banyak mengadakan perjalanan naik gunung di sekitar Semarang, Yogyakarta, daripada bekerja mengurus orang sakit.
Dalam perjalanannya itu, tidak jarang Junghuhn dan para pengikutnya menghadapi bahaya, bertemu binatang buas, terpaksa memanjat gunung dan tebing yang terjal, menderita dahaga dan lapar serta risiko besar saat memasuki gua dan kawah. Namun rintangan-rintangan alam yang besar itu tidak menggoyahkan semangatnya.
Dalam perjalanannya yang kebanyakan dilakukan dengan naik kuda dan tandu itu, Junghuhn tidak pernah lupa mengumpulkan, mendeterminasi, mengklasir setiap tanaman dan batuan yang ditemuinya. Dia mengukur tinggi tebing dan gunung yang didaki, mengkoreksi peta-peta yang telah kadaluarsa.
Dua juga membuat sketsa-sketsa tentang terjadinya gunung-gunung api. Tidak lupa dilaporkannya juga tentang sifat, bahasa dan adat kebiasaan orang Jawa. Pada periode pertama dinasnya di Pulau Jawa itu (1835-1839), Junghuhn telah mempelajari 24 gunung di Jawa.
Junghuhn menjadi orang pertama yang menjelajahi dan melaporkan tentang watak gunung-gunung di Jawa, sehingga kemudian dia dikenal sebagai pionir dalam bidang vulkanologi, botani, klimatologi, etnografi dan geografi di Hindia Belanda.
Bebas tugas sebagai dokter
Akibat penjelajahannya itu Junghuhn sampai dikecam oleh atasannya, karena dianggap tidak menjalankan tugas dalam bidang kesehatan. Dia kemudian dipindahkan ke Batavia. Hal ini membuat Junghuhn menderita, karena dia lebih tertarik bekerja di alam bebas.
Pada tahun 1840-1842, Junghuhn ditempatkan di daerah Batak, yang masa itu dikenal sebagai daerah yang masih buas. Bagi Junghuhn itu masih lebih baik daripada di rumah sakit di Batavia.
Sebelum berangkat ke Padang, dengan susah payah dia memohon untuk menyelesaikan penyelidikannya mengenai Pegunungan Dieng, selama tiga bulan.
Permintaannya dikabulkan juga setelah dia menyanggupi untuk membiayai perjalanannya itu sendiri. Dalam laporannya tentang gunung dan kawah di Dieng, dia juga melaporkan dan menggambar candi-candi di Dieng.
Atas pengertian tokoh pemerintah daerah di Sumatera pada waktu itu, Junghuhn dibebastugaskan dari dinas kesehatan dan diizinkan bekerja sepenuhnya untuk penyelidikan ilmu alam.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, Junghuhn tercatat sebagai orang pertama yang melaporkan tentang Karo, topografi, geografi, meteorologi iklim tanah tanaman yang cocok untuk perkebunan di Sumatera Barat.
Untuk selanjutnya, Junghuhn kembali ditempatkan di Jawa. Waktu itu dia banyak bekerja di daerah Priangan (Bumi Pasundan), yang kemudian sangat dicintainya sampai akhir hayatnya.
Menonton rampok macan
Dari 23 Agustus sampai 10 September 1844 Junghuhn berada di Sala. Selama di situ Junghuhn a.l. diajak menonton rampok macan. Dia memberi laporan lengkap tentang peristiwa itu.
"Pagi itu ruang muka tempat kediaman residen penuh sesak. Para tamu umumnya perwira dari garnisun, beberapa belas orang swasta dan pegawai negeri dalam pakaian pesta dan pangeran yang semua mengenakan pakaian seragam. Kebanyakan seragam let-mayor dan seorang kolonel. Beramai-ramai mereka kemudian naik kereta menuju keraton. Di sana mereka disambut dengan musik terompet dan alat tiup lain.
"Susuhunan Paku Buwono bersama residen kemudian bergandengan tangan menuju ke semacam balkon untuk menonton pertunjukan macan. Tempatnya di paseban, bagian tengah keraton yang dinding sekelilingnya sudah penuh orang, termasuk pohon di sekitarnya.
"Tidak jauh dari balkon kebesaran ada barisan pembawa tombak tajam me,bentuk segi empat. Panjangnya sekitar 300 kaki dan lebarnya separuhnya. Mereka berdiri dalam tiga sampai empat lapis dan semua membawa senjata runcing. Lapisan paling dalam membawa senjata secara horizontal, yang kedua miring dan yang paling luar ke atas."
"Di tengah persegi panjang yang dikelilingi manusia itu ada sederetan kota kayu berjajar-jajar dengan jarak dua setengah meter. Panjang kota itu sekitar dua setengah meter dan bagian yang sempti menghadap ke sunan."
"Dua abdi dengan pakaian bagus mendekati balkon, berlutut, lalu menyembah. Kemudian aba-aba diberikan. Mereka sekali lagi menyembah, lalu pergi dengan langkah khidmat. Barisan segi empat manusia itu membuka dan menutup lagi setelah kedua orang itu lewat."
"Mereka menuju kandang yang paling kanan dan menyalakan kayu dan rumput kering di bagian belakang. Salah seorang lalu naik ke atas kandang, memotong tali yang mengikat jendela tarik. Sekali lagi dia menaik-turunkan jendela itu supaya orang bisa mendengar suaranya. Kemudian jendela itu dibuang jauh-jauh. Setelah turun dari kandang, dia bersila dan menyembah sunan.
"Semua mata sekarang tertuju pada lubang kecil pada kandang. Sementara itu api tambah lama tambah tinggi di ujung belakang. Kedua badi itu meninggalkan kandang sambil menandak di bawah iringan gamelan. Kedua orang itu sudah sampai ke pinggir, tetapi si macan belum juga tampil. Tiba-tiba tampak barang coklat di lubang yang gelap. Suara gamelan tambah riuh.
"Ternyata yang keluar seekor macan loreng. Rupanya ia sama sekali tidak merasa dirinya terancam. Ia malah bangga dengan bajunya yang bergaris-garis. Maka dari itu ia duduk tenang. Ia tidak pusing kandangnya habis terbakar. Sejenak kemudian ia jalan menuju salah satu sisi manusia bertombak. Karena tak ada lowongan untuk meloloskan diri ia mencoba sisi lain. Karena bolak-balik gagal, ia menjadi panik.
"Ia menggeram dan lari mengelilingi barisan. Di mana-mana ia bertemu tombak runcing. Ia lari ke tengah lapangan. Karena terus diburu tombak, ia terjatuh sampai terguling-guling. Ia berdiri lagi sampai ditangkis tombak lagi. Akhirnya raja hutan itu tidak berkutik lagi.
"Kemudian menyusul kandang kedua, ketiga dan seterusnya dan penghuninya semua mengalami nasib yang sama. Ada yang langsung lari ke arah tombak. Rupanya itu kebiasaan harimau belang, panther dan binatang muda. Yang lain masih melihat-lihat sebelum melakukan loncatan maut. Ada juga yang berusaha masuk kandang lagi biarpun sudah membara."
"Ada juga yang duduk diam di tengah dan tidak berusaha berdiri. Dalam hal itu sudah ada dua keranjang seperti gubuk siap di lapangan yang isinya manusia. Dengan merayap diam-diam mereka mendekati macan itu. Kalau sudah dekat macan itu didongkel tombak sampai berdiri."
"Ketika beberapa kandang sudah habis terbakar dan dua abdi sedang membuka kandang keempat atau kelima, matahari biasanya sudah jauh di atas kepala."
Junghuhn, si pencinta alam, sama sekali tidak suka dengan pembunuhan binatang seperti itu.
Di Priangan dia bekerja tanpa pernah mengingat untuk mengambil cuti kembali ke Eropa. Dia berhasil menggarap tiga jilid karya besarnya, Java, yang kemudian menjadi buku acuan penting pada zamannya bagi mereka yang bekerja dalam bidang botani, vulkanologi, topografi, arkeologi, klimatologi dan lain-lain.
Setelah tiga belas tahun tanpa istirahat bertugas di negara tropis, dia kembali ke Eropa karena kesehatannya. Karena jasanya dia ditawari menjadi warga negara Belanda pada tahun 1853. Sejumlah 1.300 penemuan Junghuhn dalam bidang geologi dan 500 bidang palaentologi tercatat di Museum van Natuurlijke Historie.
Junghuhn banyak memperoleh bintang jasa baik dari pemerintah Belanda maupun Jerman. Dia juga menjadi anggota kehormatan dari berbagai asosiasi ilmiah di berbagai negara.
Pada tahun 1851, Junghuhn berhasil menyelesaikan karya besarnya, Plantae junghuhnianae. Kecuali karya-karya ilmiah lain, pada tahun 1854 Junghuhn menyelesaikan Licht-en Schaduwbeelden, yang banyak mencerminkan renungan-renungan Junghuhn pribadi.
Dari buku itu orang bisa menyimpulkan kalau Junghuhn juga memahami kebesaran Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini. Padahal dalam hidup sehari-hari dia sering dicemooh sebagai orang yang tidak beragama.
Ketemu jodoh
Junghuhn menyelesaikan peta Jawa dan mengasuh Majalah De Dageraad pada tahun 1855. Pada bulan Juni tahun itu juga dia diangkat menjadi Inspektur Penyelidik Ilmu Alam di Hindia Belanda. Ketika bertugas di Belanda itulah Junghuhn bertemu jodohnya. Dia sangat berbahagia dalam perkawinannya yang membuahkan seorang anak laki-laki itu.
Juli 1855, bersama istrinya, dia kembali menerima tugas di Jawa. Tugasnya yang utama kali ini adalah mempelajari kultur kina. Mencoba menanam kina di daerah Pangalengan, di mana kita ketahui, Jawa pernah tercatat sebagai pusat terbesar produk kina.
Sayang, kesehatannya tidak pernah pulih kembali. Karena disentri dan berbagai macam penyakit tropis, Junghuhn akhirnya meninggal pada tanggal 14 April 1864 dan dimakamkan di Lembang.
Semasa hidupnya, tokoh yang keras hati ini memang tidak banyak sahabatnya. Alam di Jawa, terutama gunung-gunung, yang menjadi temannya. Karya besarnya, Java, dicetak sampai tiga kali dalam bahasa Belanda maupun Jerman dan Lichten Schaduwbeelden mengalami cetak ulang sampai tujuh kali.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, jasa tokoh besar ini tidak terbatas hanya pada membudidayakan tanaman kina, tapi juga dalam ilmu bumi dan alam.