Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin semilir berembus lembut, menggoyangkan dedaunan pohon beringin di alun-alun utara Yogyakarta. Senja mulai merangkak naik, melukis langit dengan gradasi jingga dan lembayung. Di bawahnya, kehidupan kota berjalan seperti biasa.
Para pedagang kaki lima menjajakan dagangannya, anak-anak bermain riang, dan para abdi dalem bersiap menutup gerbang keraton.
Namun, di balik kedamaian yang tampak, tersembunyi sebuah kecemasan yang membayangi hati sebagian warga Yogyakarta. Bayangan akan masa depan yang tak menentu, jika Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil menguasai kota ini.
Yogyakarta, kota yang dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa dan kota pelajar, memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di kota inilah, Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X menunjukkan kesetiaannya kepada Republik Indonesia, meskipun diberi kesempatan untuk mendirikan negara sendiri. Kesetiaan ini menjadi landasan kuat bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa PKI pernah memiliki pengaruh yang cukup besar di Yogyakarta. Pada Pemilu 1955, PKI berhasil meraih suara terbanyak di Yogyakarta, mengungguli partai-partai nasionalis lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa ideologi komunisme pernah mendapatkan tempat di hati sebagian masyarakat Yogyakarta.
Pertanyaannya, apa yang akan terjadi jika PKI berhasil menguasai Yogyakarta?
Akankah kota ini tetap menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa?
Ataukah akan berubah menjadi kota komunis yang kering dari nilai-nilai spiritual dan tradisi?
Mimpi Buruk yang Tak Ingin Terulang
Sejarawan dan budayawan, Dr. Purwadi, melukiskan gambaran suram tentang nasib Yogyakarta jika jatuh ke tangan PKI. Menurutnya, PKI akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Yogyakarta yang berbasis pada nilai-nilai agama, tradisi, dan budaya.
Keraton Yogyakarta, sebagai simbol kekuasaan dan pusat kebudayaan Jawa, kemungkinan besar akan dihapuskan. Sistem pemerintahan tradisional yang telah mengakar kuat di masyarakat akan digantikan dengan sistem komunis yang sentralistik.
"PKI akan mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme. Nilai-nilai agama akan disingkirkan, dan tradisi-tradisi yang dianggap bertentangan dengan ideologi komunis akan dihilangkan," ujar Dr. Purwadi dengan nada prihatin.
Lebih lanjut, Dr. Purwadi menjelaskan bahwa PKI akan melakukan indoktrinasi secara masif kepada masyarakat, terutama generasi muda.
Pendidikan akan diarahkan untuk membentuk kader-kader komunis yang militan dan anti-agama. Seni dan budaya akan dijadikan alat propaganda untuk menyebarkan ideologi komunis.
"Yogyakarta akan kehilangan jati dirinya sebagai kota budaya dan kota pelajar. Kota ini akan menjadi sarang komunisme yang jauh dari nilai-nilai luhur bangsa," tambahnya.
Senada dengan Dr. Purwadi, budayawan dan seniman Butet Kartaredjasa juga mengungkapkan kekhawatirannya akan nasib Yogyakarta jika dikuasai PKI.
Menurutnya, PKI akan menghancurkan keragaman budaya yang menjadi kekayaan Yogyakarta. Ekspresi seni dan budaya akan dibatasi, dan hanya karya-karya yang sejalan dengan ideologi komunis yang akan diizinkan.
"Yogyakarta akan menjadi kota yang monoton dan kehilangan daya tariknya. Seniman dan budayawan akan kehilangan ruang untuk berekspresi," ujar Butet dengan nada getir.
Kilas Balik Peristiwa Madiun 1948
Untuk memahami lebih jauh potensi dampak dari PKI terhadap Yogyakarta, kita dapat melihat peristiwa Madiun 1948 sebagai contoh. Peristiwa ini merupakan pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Musso, yang bertujuan untuk mendirikan negara Soviet di Indonesia.
Meskipun pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh pemerintah, namun meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia, khususnya di wilayah Madiun dan sekitarnya.
Di Madiun, PKI melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh agama, masyarakat, dan aparat keamanan yang dianggap sebagai musuh. Ribuan orang menjadi korban keganasan PKI. Peristiwa ini menunjukkan betapa berbahayanya PKI jika berhasil menguasai suatu wilayah.
"Peristiwa Madiun 1948 menjadi bukti nyata bahwa PKI tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama," ungkap sejarawan Dr. Asvi Warman Adam.
Harapan di Tengah Kecemasan
Meskipun bayang-bayang PKI masih menghantui sebagian masyarakat Yogyakarta, namun semangat untuk menjaga kota ini dari pengaruh ideologi komunis tetap berkobar.
Berbagai elemen masyarakat, mulai dari tokoh agama, budayawan, akademisi, hingga masyarakat umum, bersatu padu untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila dan menolak segala bentuk ideologi yang bertentangan dengannya.
"Kita harus belajar dari sejarah, bahwa PKI adalah ancaman bagi bangsa Indonesia. Kita tidak boleh lengah dan harus terus memperkuat persatuan dan kesatuan untuk mencegah PKI bangkit kembali," tegas Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sebuah kesempatan.
Di tengah kecemasan yang masih membayangi, Yogyakarta tetap tegar berdiri sebagai kota pelajar dan pusat kebudayaan.
Semangat untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa tetap menyala di hati masyarakat Yogyakarta. Mereka yakin bahwa dengan persatuan dan kesatuan, Yogyakarta akan tetap menjadi kota yang damai, toleran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Sumber:
Wawancara dengan Dr. Purwadi, sejarawan dan budayawan.
Wawancara dengan Butet Kartaredjasa, budayawan dan seniman.
Adam, Asvi Warman. 2011. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Peristiwa 1965-1966. Jakarta: Kompas.
Ibrahim, Julianto. 2015. "Goncangan pada Keselarasan Hidup di Kesultanan" dalam Malam
Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bagian II Konflik Lokal. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Soemardjan, Selo. 1984. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Gadjah Mada University Press.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---