[ARSIP]
Raja-raja Mataram punya hobi berburu. Cerita-cerita perburuan sang raja untungnya bisa kita lacak lewat catatan perwira-perwira Kompeni.
Penulis: A.S. Wibowo, untuk Majalah Intisari edisi November 1976
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Jika kita sekarang berkendara mobil dari Yogyakarta menuju ke Solo, sebelum tiba di kota Kartasura kita akan bertemu dengan jalan raya Semarang-Solo, di kanan jalan akan kita melihat Markas Kopassus yang dikelilingi lapangan amat luas.
Tempat ini dikenal dengan nama "Kandang Menjangan" yang dahulunya merupakan semacam hutan suaka yang dikelilingi pagar dari balok-balok kayu jati milik Kasunanan Surakarta.
Ke dalam hutan yang merupakan "kandang" amat luas ini dilepaskan berbagai macam hewan buruan yang ditangkap dari hutan atas perintah Sunan. Hewan itu dibiarkan bebas berkeliaran dan berkembang biak. Pada waktu-waktu tertentu Sunan menyelenggarakan acara berburu di tempat tersebut sebagai salah satu rekreasi kaum bangsawan. Tempat semacam ini dalam bahasa Jawa disebut "Krapyak".
Dalam sejarah kita mengenal tokoh Sunan Anyokrowati yang memerintah Mataram tahun 1601-1613 menggantikan Panembahan Senopati pendiri Mataram dan ayah Sultan Agung. Dia dikenal juga dengan nama Sunan Sedo Krapyak, yang artinya "Raja yang meninggal di Krapyak". Menurut cerita, raja ini sedang berburu banteng di dalam Krapyak. Dia menanti hewan buruannya di atas sebuah bangunan tinggi yang khusus dibuat untuk tujuan tersebut.
Ketika seekor banteng lewat di bawahnya, dia segera menembak dan tersungkurlah banteng tadi. Raja segera turun dengan maksud melihat dari dekat hasil buruannya. Tidak disangka bahwa banteng tadi bangkit kembali dan menerjang sang raja hingga tewas.
Berburu memang sudah sejak lama menjadi kegemaran raja dan kaum bangsawan di Jawa. Dari kitab Negarakertagama gubahan Prapanca yang ditulis tahun 1365 kita juga memperoleh berita bahwa raja Hayam Wuruk beberapa kali menyelenggarakan acara berburu di hutan.
Hanya kita tidak mengetahui apakah pada zaman Majapahit itu juga sudah dikenal hutan suaka semacam Krapyak pada zaman Mataram.
Pada zaman Mataram acara berburu juga tidak hanya diadakan di dalam Krapyak, tetapi juga dalam hutan bebas. Hanya saja berburu dalam hutan bebas ini biasanya terbatas untuk jenis babi-liar atau babi-hutan. Adapun daerah Krapyak yang terkenal pada zaman Mataram terletak di tiga tempat, salah satunya Pringamba sebelah Tenggara kota Yogyakarta dan di sisi kiri dan kanan muara sungai Opak dekat pantai Selatan Yogyakarta.
Di luar dan di sekeliling Krapyak itu sendiri masih merupakan hutan lebat yang penuh dengan hewan buruan, sehingga para penulis Belanda pada masa itu menamakannya "jagersparadijs" atau Surga bagi para Pemburu.
Berziarah sambil berburu
Apa sebabnya daerah itu yang dipilih menjadi Krapyak disebabkan beberapa hal. Pertama, karena ibukota Mataram sebelum dipindahkan ke Kartasura adalah di Plered dan Kerta yang letaknya berdekatan dengan krapyak-krapyak tadi.
Kedua, karena raja-raja Mataram mempunyai kebiasaan untuk menyepi dan bersemadi di gua-gua yang ada di pantai Selatan, guna meminta berkah dari Nyai Roro Kidul sebagai Penguasa Laut Selatan, agar dapat memimpin kerajaannya dengan baik. Selama mereka bersamadi itulah kadang-kadang diadakan acara selingan berburu sebagai rekreasi.
Waktu ibukota Mataram dipindah ke Kartasura dan kemudian ke Surakarta, krapyak-krapyak tadi tetap dipelihara meskipun jaraknya amat jauh untuk ukuran waktu itu. Hal ini disebabkan karena kebiasaan untuk bersamadi tadi masih tetap dilakukan.
Selain itu hal yang biasa dilakukan oleh raja Hayam Wuruk pada zaman Majapahit untuk berziarah ke tempat-tempat keramat dan ke makam leluhur dinasti, masih dijalankan juga oleh raja-raja Mataram pada zaman Kartasura dan Surakarta.
Krapyak Pringamba terletak di kaki bukit Girilaya dan di bukit ini dimakamkan salah seorang isteri Amangkurat I dan Sunan Geseng salah seorang di antara Walisongo. Sedangkan muara sungai Opak selain dekat pantai Selatan, juga tidak begitu jauh letaknya dari Imogiri, yaitu kompleks makam keluarga kerajaan Mataram dimulai dari Sultan Agung.
Pada waktu acara ziarah ke makam leluhur dinasti itulah sering diseling dengan acara berburu di dalam Krapyak.
Berita tertua tentang perburuan semacam itu kita peroleh dari E. Rijklof van Goens, duta VOC yang beberapa kali mengunjungi ibukota Mataram pada abad ke-XVII. Pada 1652 Van Goens pernah mengikuti acara berburu yang diadakan oleh Amangkurat I di sekitar muara sungai Opak.
Dia melukiskan tempat itu sebagai "padang perburuan yang luasnya tak terkira dan dikelilingi pagar dari balok kayu jati. Di dalamnya terdapat ribuan rusa, kerbau liar, banteng, kuda liar serta hewan lainnya di mana orang dapat memburu mereka tanpa takut diterkam harimau atau digigit ular."
Jadi jelaslah apa perbedaan antara Krapyak dengan hutan biasa. Di dalam krapyak keadaannya dijaga sedemikian rupa agar binatang-binatang buas seperti harimau tidak dapat masuk ke dalamnya demi menjaga kenikmatan para pemburu.
Perjalanan Amangkurat IV
Tujuan perjalanan sebenarnya untuk berziarah ke makam leluhur dinasti dilanjutkan dengan bersemadi ke pantai Selatan. Akan tetapi acara-acara selingan yang diselenggarakan Sunan Amangkurat IV cukup menarik untuk kita ketahui.
Rombongan berangkat pada pagi hari 3 September 1724, dikawal oleh ratusan prajurit Mataram, ratusan punggawa dan pemikul tandu, ratusan pelayan, ditambah dengan 75 orang serdadu Kompeni di bawah komandannya Letnan Hendrik Coster. Dari Perwira Kompeni ini pulalah kita memperoleh laporan perjalanan Sunan.
Dari ibukota Kartasura rombongan bertolak diiringi tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan. Sebagaimana diketahui, semenjak ibukota Mataram dipindahkan ke Kartasura, pihak VOC diizinkan mendirikan benteng di ibukota. Benteng ini dipimpin oleh seorang Kapten yang menjadi wakil VOC dengan jabatan Residen.
Waktu itu yang menjadi Residen adalah Kapten Simon Keesjong. Perwira ini bersama para Pembesar Mataram lainnya yang tidak turut dalam perjalanan mengantarkan Sunan sampai di batas kota.
Setelah segala upacara basa-basi perpisahan di batas kota, Keesjong cs. kembali ke ibukota. Dan bergeraklah rombongan Sunan, Ibu Suri, Permaisuri, Putra Mahkota dan para Pembesar di atas tandu semuanya, diiringi prajurit dan pelayan serta pasukan Kompeni.
"Pawai" yang jumlahnya ribuan ini tentu saja merupakan tontonan cukup menarik bagi penduduk desa-desa yang dilalui.
Rombongan berhenti dan mengaso untuk menginap berturut-turut di Delanggu dan Gondang, dua kota Kecamatan yang kini terletak di daerah Klaten. Tanggal 5 September 1724 pagi rombongan dipecah menjadi dua. Ibu Suri dengan sebagian rombongan bertolak menuju Kuto Anyar yang letaknya kira-kira di kota Yogyakarta sekarang; sedangkan Sunan dan rombongan menuju ke Karto Winoto, yaitu daerah Madu Gondo di sebelah tenggara Yogyakarta sekarang.
Di tempat ini Sunan tinggal selama 12 hari, karena dari sini dapat dikunjungi dengan mudah beberapa tempat ziarah, antara lain: Kuto Gede tempat makam Kyai Gede Pemanahan leluhur dinasti; Panembahan Senopati atau Sutowijoyo pendiri Mataram; dan Sunan Anyokrowati atau Sunan Sedo Krapyak.
Juga tempat ini ada di bawah bukit Girilaya yang sudah disebutkan di atas. Dan sebagai selingan kegiatan ziarah inilah Sunan telah mengadakan beberapa acara rekreasi.
Tanggal 6 September Sunan menyelenggarakan rekreasinya yang pertama. Para punggawa yang tugasnya memikul tandu, semua dikumpulkan di alun-alun. Mereka diharuskan bermain "Sodoran " atau "Senenan". Permainan yang juga populer di Eropa pada Abad Pertengahan ini pada pokoknya adalah berusaha menjatuhkan lawan dari atas kuda yang dikendarainya dengan sebatang bambu.
Akan tetapi karena pertandingan kali ini dilakukan oleh para punggawa yang bukan tugasnya melakukan hal itu, maka terjadilah adegan lucu dan menggelikan. Letnan Coster melaporkan (dalam bahasa Belanda yang berlaku abad itu) bagaimana para punggawa tadi:
"sonder zadels te paard sitten, en met groene bamboesen tournoijen, waar-door er al veele, als geen kennis daarvan hebbende, hoL over bol-de grond sogten, tot bijsonder vermaak van den vorst, die sig van lachen niet onthouden kon."
(mengendarai kuda tanpa pelana, bertanding dengan bambu hijau dan karena tidak memiliki keahlian untuk pekerjaan itu, berjatuhan ke tanah, yang menyebabkan Raja begitu geli dan tertawa terbahak-bahak seolah-olah tak dapat berhenti ).
Acara lain, tentu saja, berburu. Tiga kali Sunan berburu di hutan tanpa Coster ikut serta. Dia hanya melaporkan bahwa tanggal 11 September ia menerima kiriman 6 ekor babi-hutan hasil buruan sehari sebelumnya; tanggal 12 September sore ia menerima kiriman 6 ekor babi-liar hasil buruan pagi harinya; dan tanggal 16 sore ia menyaksikan iring-iringan Sunan pulang berburu dengan hasil buruan yang tak terhitung jumlahnya.
Tanggal 15 September ketika Sunan berburu di dalam Krapyak Pring Amba, Letnan Coster turut serta. Diceritakannya bahwa, Sunan serta para pembesar lainnya duduk di atas joli yang dipasang di punggung kerbau. Mereka menanti berderet-deret dengan jarak berjauhan.
Kemudian para prajurit dan punggawa menghalau hewan dari arah kiri dan kanan tempat pemburu-pemburu itu menanti, dengan jalan berteriak-teriak dan memukul-mukul kentongan. Begitu hewan yang terkejut itu berlarian ke arah Sunan menanti, mulailah para pemburu menunjukkan kemahiran masing-masing.
Ada yang menembak dengan senapan, ada yang mempergunakan panah dan ada pula yang memakai lembing. Hari itu telah dibantai tidak kurang dari 130 ekor rusa, 5 ekor banteng dan 6 ekor sapi-liar.
Disambut banteng depan pesanggrahan
Tanggal 17 September perjalanan dilanjutkan ke Imogiri dan berkumpul kembali dengan rombongan Ibu Suri yang sudah lebih dahulu tiba dari Kuto Anyar. Dua hari lamanya acara ziarah di sini. Sesudah itu perjalanan dilanjutkan ke daerah Gading di muara sungai Opak.
Begitu tiba, begitu Sunan memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjelajah hutan-hutan dan menghalau hewan buruan yang ditemui ke arah Krapyak di sisi barat sungai. Menurut perhitungan Coster sesudahnya, di dalam Krapyak itu terkumpul 500 ekor banteng, kerbau-liar dan sapi liar, serta kira-kira 1300 ekor rusa.
Tiga hari berikutnya Sunan bersemadi di dalam gua di pantai Selatan, sementara Coster dengan beberapa anak buahnya menanti dalam kemah di tepi pantai. Ketika tanggal 21 September pagi Coster keluar dari dalam kemahnya, ia melihat Sunan sedang duduk memancing di pantai. Karena hasilnya tidak banyak, Sunan mengajak Coster kembali ke pesanggrahan. Ternyata di depan pesanggrahan sudah menanti seekor banteng buas yang diikat pada tonggak kayu.
Sunan memerintahkan para pembesar untuk menjadikan banteng itu sebagai sasaran latihan memanah. Setelah puas barulah Sunan mengangkat senapannya dan menembak banteng itu sampai tewas.
Tanggal 23 September diadakan lagi acara "Sodoran". Kali ini pertandingan benar-benar dilakukan oleh para prajurit yang mahir. Namun ketika acara hampir selesai, tanpa sepengetahuan siapa pun, Sunan memerintahkan melepas ratusan ekor babi-liar ke tengah arena.
Tentu saja terjadi kepanikan luar-biasa, baik di kalangan para penonton maupun mereka yang sedang bertanding. Kuda-kuda menjadi binal, para penonton berserabutan lari kian-kemari.
Mereka saling tubruk, berebut memanjat pohon, terjatuh berguling-guling, sementara Sunan dan para pembesar dari arah tribune tertawa puas menyaksikannya. Akhirnya Sunan memerintahkan anak-buah Coster menghalau babi-babi itu ke arah Krapyak; suatu tugas yang cukup sulit bagi serdadu Kompeni itu.
Keesokan harinya Sunan berburu ke seberang Timur sungai. Kali ini juga Coster tidak turut. Dia hanya melaporkan bahwa tanggal 25 September siang, ia menerima kiriman 30 ekor rusa dan 10 ekor banteng untuk konsumsi anak-buahnya.
Tanggal 28 September adalah hari terakhir Sunan di daerah pantai Selatan. Hari itu diselenggarakan acara berburu dalam Krapyak sebelah Timur sungai. Letnan Coster pun turut serta.
Karena banyaknya hewan yang dibantai hari itu, Coster tidak dapat menghitung jumlahnya. Dia menyebutkan bahwa hasil buruannya akan cukup untuk bekal seluruh anggota rombongan yang ribuan itu sampai mereka kelak tiba kembali di Kartosuro.
Tanggal 29 September Sunan menuju kembali ke Karto Winoto, di mana keesokan harinya dia masih mengajak Coster berburu babi-liar di hutan. Kali ini mereka semua mengendarai kuda diiringkan oleh anjing pemburu. Ketika sore harinya kembali ke pasanggrahan, telah dibawa hewan buruan sebanyak 110 ekor.
Tanggal 1 Oktober adalah hari terakhir Sunan "di rantau" sebelum kembali ke Kartosuro. Hari itu diadakan acara "Rampokan" Sebuah sangkar berisi harimau diletakkan di tengah alun-alun. Di sekeliling sangkar ditimbun kayu untuk dibakar, sementara sangkar dibuka.
Si raja-hutan yang takut pada api segera keluar dari sangkar dan berusaha melompati api-unggun. Namun di sekeliling api unggun itu telah berbaris bersaf-saf para prajurit Mataram dengan tombak terarah pada sang harimau. Sebuah adegan yang benar-benar dramatis, karena segala sesuatu mungkin terjadi.
Harimau yang berhasil melompati api unggun berusaha menerobos barisan tombak. Kadang-kadang ia menyeruduk di antara kaki para prajurit, kadang- kadang ia berusaha melompatinya. Dengan tubuh penuh luka, harimau semakin ganas, sehingga seringkali para prajurit terkena goresan kuku-kukunya.
Acara ini baru berhenti kalau sang raja hutan akhirnya tewas di ujung tombak atau tewas ditembak karena ia berhasil lolos dari kepungan.
Tanggal 2 Oktober Sunan dan rombongan mulai bergerak kembali ke ibukota. Di batas kota rombongan disambut oleh Residen Keesjong dan para pembesar kerajaan lainnya. Dan, akhirnya, tanggal 3 Oktober 1724 jam 09.00 pagi Sunan tiba kembali di keraton disambut dengan tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan dan ucapan selamat datang.
Begitulah perjalanan raja Mataram berburu di hutan-hutan buruan bikinan mereka sendiri.