Di lingkungan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, menguras gentong Raja Mataram bukan perkara sepele. Ada ritual khusus yang harus dilakukan.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Apa-apa yang terkait baik dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta biasanya dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mitos. Bahkan untuk urusan gentong yang berisi air minum.
Sugeng Riyanto pernah menuliskan pengalamannya mengikuti upacara menguras gentong Raja Mataram di Makam Imogiri, Bantul, Yogyakarta, untuk Majalah Intisari. Tulisan itu kemudian dimuat dan ditayangkan pada edisi Majalah Intisari, Maret 2009.
Begini cerita Sugeng Riyanto:
---
Kedengarannya biasa, wong sekadar nguras gentong. Tapi karena gentong-gentong yang akan dikuras itu milik Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, yang biasa pun jadi tidak biasa. Misalnya, siwur (gayung) yang akan dipakai menguras mesti diarak dulu. Prosesinya pun dilakukan di lokasi makam raja-raja Mataram. Unik dan terasa sakralnya.
Entah kenapa, hari itu, kebetulan Jumat Kliwon, tiba-tiba saja saya tertarik menonton ritual "Nguras Gentong", dalam bahasa lokal disebut Nguras Enceh di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, sekitar 17 km ke arah selatan dari Yogyakarta.
Tinggal di sana, saya sering mendengar tentang ritual yang diselenggarakan setahun sekali, saban Bulan Suro itu. Namun baru kali ini berniat menontonnya secara (istilah para penyiar teve) live.
Tak hanya mereka yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya yang berkunjung, tapi ada juga rombongan yang sengaja datang dari Jepara, Demak, Kudus, Dlingo, dan kota-kota lainnya di Jawa Tengah. Membludak, tak kalah dengan massa kampanye partai politik.
Hadiah negara sahabat
Empat tempayan yang akan dikuras ada di balik gerbang Supit Urang. Karena berukuran jumbo, keberadaannya sangat mencolok mata. Tak mungkin tak terlihat oleh siapa pun yang melintasi gerbang masuk ke kompleks makam Sultan Agung itu. Di beberapa tempat, di samping kaki tangga menuju ke gapura terdapat pendopo, tempat para peziarah beristirahat.
Yang menarik, fenomena personifikasi, sebagaimana orang Jawa biasa lakukan terhadap benda-benda keramat bernilai sakral, melekat juga pada gentong-gentong - kabarnya hadiah dari empat negara sahabat terkemuka Mataram pada waktu itu.
Mari kita kenali gentong-gentong yang bakal dicuci ini satu per satu. Gentong pertama dan kedua, dijuluki "Kyai Mendung" (hadiah dari Ngerum, kini Turki) dan "Nyai Siyem" (mungkin dari Thailand atau Myanmar). Keduanya dimiliki oleh Keraton Surakarta.
Sementara gentong ketiga dan keempat, "Kyai Danumaya" dari Aceh dan "Nyai Danumurti" dari Palembang dimiliki Keraton Yogyakarta. Seperti barang-barang keramat lain, keempat gentong koleksi makam itu pun menyimpan banyak cerita. Misalnya, ada versi yang menyebut, enceh tersebut dulunya digunakan oleh pendiri Mataram, Sultan Agung sebagai tempat berwudhu.
Sedangkan cerita lain yang juga dipercaya banyak orang, air dari gentong itu dulu dipakai oleh Sultan Agung untuk mengobati beragam penyakit alias berkhasiat obat.
Kompleks Makam Imogiri memang dikelola secara bersama oleh Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Masing-masing memiliki semacam perwakilan, yang bertindak sebagai penanggung jawab alias juru kunci di sana, yang disebut "Bupati". Nah, hajatan "Nguras Enceh" merupakan salah satu tugas yang dibebankan kepada kedua "Bupati" itu, yang wajib dilaksanakan pada Bulan Suro (Muharam), bertepatan dengan hari Jumat atau Selasa Kliwon.
Dijaga prajurit
Sebagai "pemanasan", satu hari sebelum acara nguras-menguras dilaksanakan, masing-masing "Bupati" akan menyerahkan siwur khusus untuk membersihkan gentong keramat kepada para abdi dalem, baik dari Keraton Yogyakarta maupun Keraton Surakarta.
Sejak sekitar delapan tahun lalu, peristiwa penyerahan siwur sakral ini dibikin "lebih meriah", dengan diiringi arak-arakan bak karnaval.
Acara dimulai dengan berkumpulnya massa, biasanya di Kantor Kecamatan Imogiri. Layaknya upacara resmi kekeratonan, prosesi penyerahan siwur juga ditandai kesiagaan para "pengawal" kerajaan. Misalnya ada sekelompok bregodo (pasukan) ber atribut "lombok abang", pakaian khas prajurit Keraton Yogyakarta. Pasukan abdi dalem dari Keraton Surakarta pun tak mau ketinggalan, ikut berkumpul dan nampang atribut.
Selain disemarakkan kehadiran para "prajurit" dan pidato-pidato para pejabat setempat, prosesi juga dimeriahkan oleh pertunjukan seni, suguhan drum band dari siswa TK, siswa SMU, dan komponen masyarakat Imogiri lainnya. Mereka membentuk arak-arakan yang begitu panjang, seakan tak peduli pada terik Matahari siang yang begitu menyengat.
Apa yang diarak? Ya dua buah jodhang (semacam bejana dari kayu yang biasa dipakai untuk menyimpan sebuah benda atau membawa perlengkapan upacara), yang nantinya akan dipakai untuk membawa siwur sakral. Bejana itu ditaruh di atas tandu yang digotong oleh para abdi dalem. Tak ketinggalan, gunungan yang dibentuk dari berbagai sayuran dan buah-buahan tukon pasar (dibeli di pasar).
Arak-arakan kemudian bergerak menuju Pendopo "Kabupaten" di Kompleks Makam Imogiri. Di pendopo, para "Bupati" alias juru kunci makam menyerahkan siwur sakral kepada rombongan kirab. Siwur itu lantas ditaruh di jodhang, untuk kemudian dibawa menuju pelataran parkir kompleks makam.
Sebagai puncak acara kirab, pejabat setempat menyerahkan siwur itu kepada para abdi dalem, untuk disimpan dan digunakan dalam upacara besok pagi.
Tahlil vs asongan
Keesokan harinya, pagi Jumat Kliwon, saya larut bersama ribuan pengunjung yang memenuhi kompleks makam. Setelah melewati gerbang terluar yang berhiaskan tulisan gede "Sugeng Rawuh Ing Pasareyan Dalem Para Nata Pajimatan Girirejo Imogiri", mata saya tertahan pada bangunan masjid dan bangsal yang sudah dipenuhi pengunjung.
Ya, sejak pukul 06.00, jalan menuju Imogiri sudah ramai. Areal parkir yang ada sampai tak muat menampung beragam kendaraan yang datang. Untung ada areal parkir-areal parkir darurat di rumah-rumah penduduk sekitar.
Meninggalkan areal masjid, saya lantas melangkahi anak tangga pertama - satu dari ratusan anak tangga yang harus dilewati untuk sampai ke lokasi prosesi, gerbang Supit Urang, nun jauh di atas bukit. Untuk mencapai gerbang tersebut, pengunjung memang mesti mendaki ratusan anak tangga - ada yang menyebut, jumlah persisnya 345, dengan tingkat kemiringan 45°, sejauh sekitar 200 m.
Penduduk sekitar lebih suka menyebut tangga-tangga itu sebagai trap sewu alias tangga seribu.
Meski dengan napas terengah-engah dan otot kaki mengeras karena pegal, akhirnya sampai juga saya di depan gerbang Supit Urang. Lagi-lagi, di sana sudah ada kerumunan orang yang menyajikan pemandangan macam-macam. Di antara para pedagang asongan, tampak juga para pengunjung yang sedang melepas lelah. Sama seperti saya, napas mereka senin-kamis dan otot kaki pegal.
Oh ya, soal ratusan anak tangga ini, ada juga mitos yang berkembang: jika sambil mendaki, Anda berhasil menghitung jumlah anak tangga dengan tepat, maka cita-cita atau keinginan yang Anda sampaikan sesampainya di makam, niscaya akan terkabul. Tapi sekali lagi, ini mitos. Boleh dipercaya, tidak percaya pun tak apa-apa.
Dari balik gerbang, sayup-sayup terdengar suara tahlil dan doa. Bisingnya suara para pedagang asongan ternyata tidak serta-merta mengalahkan suara-suara suci itu. Saya tetap merasakan dan menikmati suasana sakral, unik, kharismatik, dan agung.
Selain asap dan aroma kemenyan, keberadaan abdi dalem dari Surakarta dan abdi dalem Ngayogyakarta yang begitu khusyuk membaca tahlil dan doa membuat saya terhanyut. Dengan khusuk pula pengunjung mengikuti tahlil dan doa yang dipimpin oleh juru kunci senior dua keraton.
Gentong-gentong yang akan dikuras letaknya ada di balik gerbang. Namun untuk melewati gerbang Supit Urang diperlukan perjuangan tersendiri karena massa tertahan dan betul-betul menumpuk di sini.
Selain gentong raksasa yang berdiri gagah, sesaji berupa nasi uduk (sego gurih) lengkap dengan ingkung dan jajan pasar pun siap disantap. Di kerumunan pengunjung, ember, botol, dan jerigen berbagai ukuran (untuk menampung air gentong) seolah menjadi bawaan wajib.
Seorang abdi dalem dari Yogjakarta, Pak Ahmad, terlihat begitu sibuk. Di hadapan tungku bakaran kemenyan, dengan gesit dia melayani para peziarah yang menyerahkan bungkusan daun pisang berisi bunga berikut uang "serelanya", dan tentu saja sekalian menyampaikan "gegayuhan" (cita-cita). Yang ingin dapat jodoh, minta dientengkan jodohnya. Yang miskin minta diberi rezeki. Begitulah kira-kira.
Kegaduhan dimulai
Beberapa saat setelah tahlil dan doa selesai dibacakan - waktu menunjukkan sekitar pukul 09.00, acara utama digelar. Kegaduhan pun dimulai. Massa langsung berebut membantu para abdi dalem membersihkan sekaligus menguras air di keempat gentong raksasa.
Mereka berbuat begitu lantaran percaya, air sisa bersih-bersih dan kuras-kuras itu punya khasiat. Suasana semakin gaduh ketika juru kunci senior selesai mengisikan air kembali ke dalam enceh menggunakan siwur sakral. Di bawah gentong, sejumlah orang sibuk memanfaatkan air limpahan.
Dengan wajah puas dan tanpa ragu, air ini diminum atau dipakai untuk mencuci muka. Suasana sedikit reda ketika para abdi dalem mulai melayani pengunjung yang menyodorkan botol-botol untuk diisi air enceh.
Namun di tempat lain, kegaduhan malah bertambah. terutama di sekitar bangsal timur, orang-orang berjubel mengantre untuk mendapatkan limpahan sesaji. Hanya ancaman abdi dalem-lah yang bisa mengendalikannya: pembagian sesaji akan dihentikan jika antrean tidak bisa diatur! Berkat ancaman ini, kegaduhan reda dan pembagian sesaji cepat selesai.
Selesai pula prosesi dan kerepotan dua hari di Bulan Suro. Para pengunjung pun pulang dengan menyisakan kelelahan, namun dengan hati lega dan penuh harapan.