[ARSIP]
Selama lebih kurang 12 tahun, dari sekitar 1950 sampai 1962, tiga pelari dengan nama belakang Singh--Ndalip, Gurnam dan Charanyit--memegang peran utama dalam dunia atletik Indonesia. Selama masa sedekade lebih itu ketiga pelari tadi secara berurutan dan sebagian lagi secara berbarengan mendominasi nomor-nomor lari jarak menengah sampai jarak jauh, dari 800 m sampai marathon.
Penulis: Tan Liang Tie untuk Intisari edisi September 2023
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dalam taraf atletik Indonesia dapat dikatakan, prestasi tiga Singh itu cukup menonjol, walaupun tidak tergolong luar biasa. Tetapi adalah merupakan hal yang sangat unik, selama masa dominasinya itu rekor-rekor nasional hampir tidak pernah terlepas dari tangan mereka.
Hal ini juga menunjukkan, dari kalangan orang-orang Singh memang terdapat bakat-bakat untuk berprestasi lebih dari biasa dalam olahraga lari--termasuk mereka yang berada di Indonesia.
Ketiga pelari, yang namanya ditandai Singh itu, satu dengan yang lain tidak mempunyai hubungan. Nama Ndalip Singh muncul sekitar 1950 dari daerah Yogya dan tenggelam kembali setelah 1956. Sebelum Ndalip lenyap muncul Gurnam dari Medan yang bertahan hingga 1962. Selama enam tahun lebih ini Gurnam menyemarakkan arena atletik Indonesia tidak hanya dengan prestasinya tetapi juga dengan pemunculannya yang selalu tetap bersorban.
Nama Charanyit Singh menjadi bahan utama dalam berita atletik Indonesia selama lebih kurang lima tahun, karena penampilannya sebagai pelari top cukup cemerlang.
Rekor nasional 800 M
Charanyit Singh, yang bangun tubuhnya termasuk jangkung bagi orang Indonesia dan memiliki tungkai panjang, mengkhususkan diri dalam lari jarak menengah, 800 meter dan 1.500 meter. Sebelum kejuaraan PASI 1956 di Yogyakarta rekor nasional untuk lari 800 m tercatat atas nama Rivai dengan waktu 2:07,0.
Dalam kejuaraan nasional itu Jopie Timisela membuat sejarah dengan penumbangan rekor melewati batas 2 menit, menjadikannya 1:59,8. Kemudian tahun 1961 rekor ini diturunkan menjadi 1:58,7 oleh Steve Thenu. Setahun kemudian muncullah Charanyit Singh dengan rekor baru 1:56,3 yang diciptakan dalam pertandingan dwilomba dengan regu Australia di stadion Senayan sebagai "dress rehearsal" bagi Asian Games ke-4.
Selama tahun 1962 itu dua kali lagi Charanyit memperbaiki rekor, dalam Asian Games ke-4 yaitu 1:54,5 dan dalam suatu pertandingan di Koln, Jerman Barat, 1:52,9. Dalam Asian Games 4 di Jakarta itu Charanyit tidak berhasil menggondol medali, dalam Asian Games berikutnya di Bangkok tahun 1966 pun tidak. Tapi kembali dia menciptakan rekor nasional, waktunya 1:50,7.
1500 M
Dalam perkembangan rekor nasional untuk nomor lari 1.500 m sejak 1950 ketiga Singh turut berperan. Tahun 1950 Ndalip Singh memperbaiki rekor Soetopo sejak 1948, dari 4:44,7 menjadi 4:36,4. Kemudian pada 1953 terdapat nama Lim San Lee, pelari dari Jakarta, yang menumbangkan rekor Ndalip dengan waktu 4:29,6. Dalam kejuaraan PASI 1956 kembali Ndalip merebut rekor, dia menjadi juara nasional dengan waktu 4:19,1.
Tahun 1961 dua pelari lain turut membantu menurunkan rekor nasional. Pertama-tama Mochtar, yang membuat waktu 4:18,1 dan kedua J. Mulder dengan waktunya 4:16,2. Datanglah kemudian Charanyit pada 1962 yang menguranginya hampir 2 detik, waktunya 4:14,4. Tidak lama sesudahnya dalam suatu pertandingan try-out Gurnam Singh mencatatkan waktu 4:13,2.
Setelah itu secara tertentu Charanyit memperbaiki rekor sehingga mencapai puncaknya dalam Asian Games ke-4 tahun 1962. Dari 4:13,2 Charanyit mencatat 4:09,2, kemudian 4:06,4 dan dalam Asian Games 4 di Senayan menciptakan rekor dua kali secara berturutan, dalam perlombaan seri 4:01,6 serta di babak final 3:55,6 sebagai orang pertama di Indonesia yang berhasil melewati batas waktu 4 menit untuk 1.500 m.
5000 M
Setelah tahun 1951 sekali dan kemudian 1956 sebagai juara PASI Ndalip Singh menciptakan rekor 17:47,6 dan 16:24,5 dengan diseling oleh Djasman pada 1953 dengan 17:43,4 dan Lim San Lee pada 1953 dengan 16:52,7.
Setelah pada tahun 1960 menyamai rekor Ndalip Gurnam Singh tidak melepaskannya lagi sampai "exit" tahun 1962. Di luar negeri, di Bukares dalam kejuaraan antar mahasiswa pada 1961 dua kali secara berturutan 15:39,4 dan 15:32,6. Dalam tahun 1962 ia membuat sejarah dengan keaaaaaaberhasilannya untuk melewati batas waktu 15 menit untuk jarak 5000 m ini.
Dalam suatu pertandingan di Surabaya Gurnam membuat rekor dengan 15:28,9 dan di stadion Senayan pertengahan tahun dalam dwilomba dengan Australia tercatat lah waktu bersejarah, yaitu 14:44,0.
10.000 M
Seperti dalam jarak 5000 m Ndalip memulai penumbangan rekor di tahun 1951, waktunya 40:36,6. Tidak demikian luar biasa prestasi ini, namun nama Ndalip Singh cukup menggemparkan ketika itu, sebab dia pun menangmenang" di jarak-jarak lain.
Tapi tahun 1956 terdengarlah nama Gurnam Singh, yang di Medan menurunkan rekor sekaligus sampai 36:09,0. Terdapat semacam persaingan dari kejauhan waktu itu antara kedua Singh ini. Dalam kejuaraan PASI 1956 di Yogya Ndalip rebut kembali rekornya dengan 34:21,0.
Patut kita catat nama Ndalip Singh sebagai pelari luar biasa untuk tahun 1956. Sebab dalam kejuaraan nasional 1956 di Yogya itu Ndalip telah menjadi trijuara: untuk 1500 m, 5000 m dan 10000 m.
Setelah tahun 1956 lewat maka lewatlah juga riwayat Ndalip Singh sebagai pelari Indonesia. Tapi tradisinya dilanjutkan oleh Gurnam Singh, yang merajai arena atletik dari 1960 sampai 1962. Berturut-turut, tanpa memberikan kesempatan kepada pelari lain, Gurnam memperbaiki rekor nasional: pada 1960 33:55,0 dan 33:26,9, pada 1961 33:23,6 dan 32:50,8 (kejuaraan terbuka Malaysia) dan 1962 31:58,1 ( kejuaraan di Manila), 31:13,8, kemudian Asian Games 4 di Jakarta 30:47,2.
Marathon
Ndalip Singh memenangkan perlombaan lari marathon dalam PON ke-2 1951 di Jakarta, waktu terbaiknya saat itu adalah 3:37:08,2. Tahun 1953 dalam PON ke-3 memperbaikinya dengan 3:20:17,6 kemudian pada 1960 Sunardi berhasil menurunkannya lagi, yaitu 2:53:27,0. Setelah itu tiga kali berturut-turut Gurnam Singh menciptakan waktu terbaik di Indonesia untuk lari marathon. Pertama tahun 1961 di Medan mencatat 2:44:19,0, lalu 1962 di Jakarta 2:28:39,0 dan 2:27:58,6.
Menarik juga jika mengetahui bahwa waktu terbaik sedunia pada 1951 pernah di angkat 2:29:19,2, dan pada 1962 waktu terbaik sedunia sudah menjadi 2:14:14,0.
Sedikitnya mengingat keterbelakangan Indonesia dalam olahraga atletik saat itu maka selisih waktu 10 tahun dalam rekor marathon Gurnam sudah dapat dianggap cukup menggembirakan. Dari ketiga pelari Singh itu Gurnam-lah yang memberikan kesan paling kontroversial.
Melihat kekuatannya dalam lari jarak-jarak jauh membuat orang berkesimpulan: tidak terlampau sulit baginya untuk mencapai taraf internasional. Tapi anehnya dia selalu gagal dalam kejuaraan-kejuaraan besar.
Tahun 1962 merupakan tahun puncak dan tahun kegagalan bagi Gurnam. Dalam dwilomba Indonesia-Australia menjelang Asian Games untuk kelas 10000 m Gurnam berhasil mengalahkan pelari ternama Australia, Albert Thomas, yang pernah menciptakan rekor dunia untuk jarak 2 dan 3 mil. Gurnam bahkan telah meninggalkan Thomas sampai sejauh 300 m.
Bahwa di malam berikutnya Thomas membuat pembalasan dengan mengalahkan Gurnam dalam lari 5000 m hal ini sama sekali tidak mengecilkan arti kemenangannya malam sebelumnya. Dalam 5000 m ini hampir seluruh jarak Gurnam dibiarkan mendahului dan menentukan tempo oleh Albert Thomas dan rekannya Trevor Vincent. Dalam 10000 m Gurnam pun mendahuluinya, tapi dalam jarak sejauh ini pada akhirnya Thomas tidak mampu mengikuti tempo Gurnam.
Saat Asian Games Gurnam tercatat hanya untuk dua nomor, 10000 m dan marathon. Jelaslah, bahwa Gurnam telah meletakkan seluruh harapan untuk menang pada kedua nomor spesialisasinya ini. Daya dan tenaga sebetulnya ada pada pelari bersorban itu; tetapi cara dan sifatnya dalam berlomba tidak menguntungkan baginya.
Meskipun sudah berpengalaman sepuluh tahun lebih dalam pertandingan besar di antara pelari-pelari bertaraf internasional seakan-akan masa pengalaman selama itu tidak berpengaruh sama sekali. Karena hal inilah dalam 10000 m Gurnam hanya kebagian medali perunggu, semata-mata disebabkan kesalahan taktik berlomba.
Sifat seakan-akan kehilangan pengalaman sama sekali itu ternyata benar dalam perlombaan lari marathon. Selama jarak 28 km dari 42 km lebih jarak perlombaan Gurnam memimpin kelompok kecil pelari, yang sudah kerontokan dua orang.
Sebetulnya Gurnam cukup mempertahankan tempo lari agar sedikit mendahului kelompok antara lain terdiri atas Nagata dari Jepang dan Jousaf dari Pakistan. Tapi tanpa perdulikan tempo pesaingnya, hawa udara, keadaan parcours dan kondisi diri sendiri Gurnam "ngiprit" terus, jauh meninggalkan lawan.
Hampir jarak km 29 dicapai, Gurnam jatuh terkulai dan hilanglah harapan untuk menggondol sebuah medali lagi. Tamatlah riwayatnya juga dalam dunia atletik Indonesia, sebab kemudian dia tidak muncul lagi di arena atletik Indonesia.
Perannya Sebagai pelakon utama telah terhenti, namun nama Gurnam Singh tidak akan lenyap sepanjang sejarah atletik Indonesia, demikian juga nama-nama Ndalip Singh dan Charanyit Singh.