Keris diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda asli Indonesia bukan semata-mata karena bentuk fisiknya. Banyak nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Bukan semata-mata karena fisiknya keris diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO).
Lebih dari itu, keris diakui lembaga yang berada di bawah naungan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) itu karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Begitu ujar KRT Subandi Suponingrat, empu keris dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ketika ditemui di rumahnya di Palur, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada pertengahan Juni 2024 lalu.
"Keris itu bukan benda biasa, pembuatannya tidak dimaksudkan sebagai senjata untuk berperang, tapi sebagai pusaka, di mana di dalamnya tersimpan ajaran luhur yang sedemikian rupa, nilai yang ada dalam budaya keris itu sendiri, proses pembuatannya, dan lain-lain,” ujar Pak Bandi, sapaan akrabnya.
Mengutip Kompas.ID, keris merupakan jenis senjata tikam golongan belati yang merupakan warisan asli Nusantara–hal ini dibuktikan dengan pengakuan keris sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity milik Indonesia oleh UNESCO pada 2005 lalu.
Keris punya bentuk yang khas, berbeda dengan senjata-senjata tradisional yang lainnya. Secara garis besar, keris dibagi menjadi dua golongan. Keris lurus (lajer) dan keris luk (kelok-kelok). Untuk keris luk, biasanya jumlah lekuknya ganjil, mulai tiga hingga seterusnya. Keris terdiri atas tiga bagian utama. Wilah atau bilah, ganja atau penopang, dan hulu keris. Jangan lupakan juga warangka-nya atau sarung keris.
Mengacu pada buku Ensiklopedi Keris dan Keris Dalam Perspektif Keilmuan, secara historis keris memiliki aspek kesejarahan yang sangat panjang yang bisa ditelusuri kembali hingga ratusan tahun yang lalu. Tapi titik awal keberadaannya masih diperdebatkan sampai saat ini.
Baca Juga: [ARSIP] Ketika Cahaya Keris Berhasil Menyilaukan Mata Dunia Pada 2005
Menurut G.B. Gardner, keris adalah perkembangan senjata tikam zaman prasejarah. Sementara Griffith Wilkens berpendapat, budaya keris baru muncul pada abad-14 dan ke-15. Asumsi tersebut didasarkan pada bentuk keris yang merupakan perkembangan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami benua Asia dan Australia.
Jika mengacu pada penelitian arkeologi, keris telah dikenal sejak sekitar abad ke-5 sampai 6 Masehi di Jawa. Merujuk pada bukti arkeologis paling tua yang ditemukan yang menginformasikan mengenai keberadaan senjata keris terlihat pada prasasti batu yang ditemukan di desa Dakuwu, Grabag, Magelang, Jawa Tengah, yang diperkirakan dibuat sekitar abad ke-5 Masehi.
Masih dari Kompas.ID, istilah keris pertama kali ditemukan pada prasasti yang ditemukan di Karang Tengah, Magelang, Jawa Tengah, berangka tahun 748 Saka (824 Masehi). Di situ disebutkan beberapa peralatan seperti: lukai, punukan, wadung, dan patuk kres. Dalam prasasti tersebut dijelaskan mengenai kres yang diartikan sebagai keris.
Kata kres juga ditemukan dalam Prasasti Poh berangka tahun 829 Saka (907 Masehi). Prasasti ini menyebutkan beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji itu antara lain berupa: kres, wangkiul , tewek punukan , wesi penghantap.
Budaya keris disebut mencapai puncaknya pada zaman kerajaan Majapahit (1293-1527 M). Salah satu laporan tersebut didapat dari Ma Huan, musafir Cina dan penerjemah resmi Cheng Ho, yang menulis pengalaman kunjungannya ke Majapahit pada abad ke-15 dalam bukunya berjudul Yingyai Sheng-Ian.
Dalam catatannya, Ma Huan melaporkan bahwa ketika datang bersama rombongan Cheng Ho, ia menyaksikan hampir semua laki-laki di Majapahit mengenakan pu-lak, yaitu semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Yang besar kemungkinan yang dimaksud adalah keris.
Ma Huan juga menyebutkan dalam laporannya, pada zaman itu telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan baja berkualitas dan hiasan pamor garis-garis tipis serta bunga ketipisan. Gagang atau hulu keris juga sudah dibuat menggunakan bahan emas, cula badak, atau gading.
Sejumlah literatur lain juga berpendapat bahwa pada era Majapahit keris memperoleh kepopulerannya. Dibuktikan dengan keris-keris terkenal yang melegenda yang diperkirakan berasal dari era itu, misalnya Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat dan Nagasasra Sabuk Inten. Pada kekuasaan Majapahit, keris juga menyebar ke wilayah kekuasaannya, antara lain: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, termasuk juga Malaysia, Brunei, Filipina, Kamboja, dan Thailand.
Proses pembuatannya
Bagaimana proses menghasilkan sebilah keris? Ada pakem-pakem yang harus dilakukan seorang empu dalam membuat keris. Walaupun terdapat perbedaan di antara daerah-daerah, namun tidak meninggalkan seluruhnya pakem yang telah ditetapkan dalam pembuatan keris.
Keris yang baik biasanya dibuat dan ditempa dari tiga macam logam: besi, baja, dan pamor. Yang disebut terakhir ini bisa berupa nikel, batu meteor, atau besi pamor.
Tahap pertama, seorang empu akan bertanya terlebih dahulu kepada pemesan keris. Dari situ empu akan memberikanbeberapa pilihan dan saran terkait jenis keris, seperti bentuk dhapur dan pola pamor. Setelah itu, saat empu mempersiapkan teknis, spiritual, hingga rangkaian seremonialnya. Teknis termasuk tempat, alat, bahan, hingga siapa saja yang terlibat dalam pembuatan.
Kok ada persiapan spiritual juga? Mengutip Kompas.ID, tahapan ini dilakukan semata-mata supaya pembuatan keris berjalan lancar dan hasilnya sesuai dengan harapan. Tahapan spiritual ini termasuk bersemadi, doa-doa yang dirapalkan, sesajen, hingga kenduri atau slametan. Zaman dulu,untuk menghasilkan keris yang diharapkan menjadi pusaka khusus, seorang empu bahkan bersemadi ke dalam hutan hingga berbulan-bulan untuk mendapatkan petunjuk dan bimbingan dalam membuat keris.
Setelah itu baru proses pengerjaan. Dalam proses ini hari atau waktu pengerjaan memerankan waktu yang juga krusial. Biasanya, pengerjaan akan menyesuaikan dengan hari-hari yang dianggap baik menurut perhitungan primbon--untuk kasus keris Jawa.
Proses awal pembuatan keris adalah dengan mbesut (membakar) dan menempa besi bahan keris. Tujuan pekerjaan ini adalah menghasilkan besi bahan murni yang disebut wesi wasuhan. Wesi wasuhan adalah besi yang sudah dimurnikan dari unsur karat, kotoran, ataupun mineral lainnya dengan proses bakar, tempa, ulur, lipat, rekat, bakar dan seterusnya berulang kali.
Setelah itu, besi akan disatukan dengan bahan pamor yang berasal dari bahan meteorit dengan cara menjepit kepingan pamor di antara besi. Kemudian, besi dan pamor dibakar dan ditempa berulang kali. Keris berkualitas sederhana, setidaknya membutuhkan sebanyak 128 lapisan. Sedangkan untuk menciptakan keris berkualitas baik dibutuhkan hingga ribuan lapisan. Baru setelah itu, untuk mendapat ketajamanan yang baik, disisipkan lapisan baja di tengahnya.
Baca Juga: Sebilah Keris yang Meruntuhkan Kerajaan Singasari
Selama tahap penempaan ini, seorang empu umumnya dibantu oleh dua atau tiga orang pembantunya, yang disebut sebagai panjak. Sang panjak inilah yang bertugas memanaskan dan membantu menempa keris dibawah arahan sang empu.
Setelah penempaan, tahap berikutnya adalah membentuk bilah apakah berlekuk atau lurus. Apabila menghendaki bilah keris yang memakai luk, maka proses pembuatan luk dilakukan dengan proses pemijaran dan ditempa memakai palu panimbal.
Proses terakhir dari pembuatan keris adalah penyepuhan atau pendinginan. Penyepuhan dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan) atau bisa juga dicelupkan ke dalam cairan air, air garam, atau minyak kelapa. Tujuannya untuk mendapatkan besi yang kuat dan keras.
Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak. Ini salah satu proses yang dikerjakan sendiri oleh sang empu. Kegagalan dalam proses penyempuhan berarti harus mengulang dari awal lagi.
Setelah itu, untuk mempercantik dilakukan proses marangi atau memunculkan pola pamor. Caranya adalah dengan memoleskan warangan, cairan arsenikum yang sudah dicampur dengan air jeruk nipis. Hal ini membuat keris menjadi nampak estetis, lebih menarik dan bernilai.
Falsafah tingkat tinggi
Seperti disebut di awal, diakuinya keris oleh UNESCO bukan semata-mata karena wujud fisiknya, tapi juga nilai, falsafah, juga ajaran-ajaran luhur yang terkandung di dalamnya. Keris biasanya dibuat dengankedalaman religius, magis, dan mistis. Dalam sebilah keris terdapat ajaran moral dan nilai-nilai falsafah tingkat tinggi.
Menurut Nurhadi Siswanto dalam artikel "Ajaran Moral Keris Jawa", kuatnya nuansa religius keris telah tercermin dalam awal pembuatannya. Proses pembuatan keris diawali dengan sikap dan pemahaman dari sang empu maupun sang pemesan keris bahwa kekuatan yang dimiliki manusia sangatlah terbatas, sehingga dalam upaya mewujudkan keinginan dan harapannya manusia harusnya memohon petunjuk dan keberkahan dari yang maha kuasa.
Hal ini juga menunjukan bahwa manusia dalam kehidupannya tidaklah akan mampu mengatasi persoalannya yang dihadapinya tanpa kemurahan dari Tuhannya
Keris dipercaya merupakan pengejawantahanan dari filosofi Ke-Tuhan-an orang Jawa dengan adanya istilah "curigo manjing warangka" (bilah bersatu dengan sarung keris) dan "warangka manjing curiga"(sarung keris menyatu dengan bilahnya), sebuah seni bangun yang indah dan mengandung makna “kemanungnggalan Kawulo-Gusti” (bersatunya hamba dengan Tuhannya).
Dalam nama keris sendiri juga sudah terkandung ajaran moral. Keris dalam bahasa Jawa kuno adalah "kekeran aris". Kekeran berarti pagar, penghalang, peringatan dan pengendalian. Aris berarti tenang, hati-hati, dan halus. Keris dalam artian ini bisa dimaknai seseorang dalam berhubungan dengan sesama manusia dapat saling ngeker atau memagari, memperingatkan dan mengendalikan diri secara aris, jangan sampai memamerkan dirinya.
Pada aspek bentuk, keris yang lurus atau berliku bukan semata untuk keindahan saja, namun ada arti di dalamnya. Wujud keris yang berluk (berlekuk) adalah simbol kebijaksanaan, sedangkan keris lurus adalah simbol keteguhan prinsip. Kebijaksanaan dan tekad itu harus seimbang dan akhirnya bermuara ke atas, yakni Tuhan, tergambar dari ujung keris selaju lancip.
Selain itu, keris yang berluk selalu ganjil juga melambangkan kedinamisan hidup. Sebab, genap dalam falsafah Jawa berarti sudah selesai atau berakhir. Sementara ganjil berarti sesuatu itu belum genap, dan harus digenapkan atau dilanjutkan. Dengan demikian, gasal atau ganjil pada luk keris bisa diartikan sebagai sesuatu yang berkelanjutan, dinamis, dan lambang keinginan untuk terus maju dan memperbaiki.
Ajaran-ajaran moral yang terselip dalam simbol-simbol pada keris ini tentunya merupakan local wisdom dan local genius yang luar biasa yang dapat dijadikan sebagai pengkayakan wacana tentang pendidikan karakter bagi para generasi penerus bangsa. Apalagi banyak mengarah pada ajaran keselarasan hidup sesama manusia dan Tuhan.
Begitulah, keris diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda asli Indonesia bukan semata-mata karena bentuknya. Banyak nilai luhur yang terkandung di dalamnya membuat keris dianggap sebagai senjata istimewa sehingga layak dikoleksi dan mendapat perlakukan "berbeda" dibanding jenis senjata lainnya.