Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com -Mentari pagi belum lagi menampakkan diri di ufuk timur, namun kabut tipis telah tersibak oleh langkah-langkah kaki yang mantap. Di antara pepohonan rimbun yang menjulang tinggi, sosok kurus dengan seragam lusuh berjalan perlahan.
Batuk yang sesekali terdengar dari dadanya yang ringkih, seolah menjadi saksi bisu atas perjuangan yang tak pernah padam. Dialah Jenderal Sudirman, sang panglima besar yang memimpin pasukannya dalam perang gerilya melawan Belanda, meski tubuhnya digerogoti penyakit.
Tahun 1948, Indonesia yang baru saja merdeka kembali digempur oleh agresi militer Belanda. Yogyakarta, ibu kota saat itu, jatuh ke tangan musuh. Pemerintah Republik Indonesia terpaksa mengungsi, dan Presiden Soekarno beserta sejumlah pejabat tinggi lainnya ditangkap.
Di tengah situasi genting ini, Jenderal Sudirman mengambil keputusan berani. Ia menolak untuk menyerah dan memilih bergerilya, memimpin pasukannya dari hutan belantara.
Kondisi fisik Jenderal Sudirman saat itu sangat memprihatinkan. Paru-parunya yang terserang tuberkulosis membuatnya kesulitan bernapas. Namun, semangat juangnya tak pernah padam. Ia percaya bahwa kemerdekaan yang telah diraih dengan susah payah harus dipertahankan, apapun taruhannya.
Dengan tandu seadanya, ia memimpin pasukannya bergerilya, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menghindari kejaran Belanda.
Di tengah hutan yang sunyi, Jenderal Sudirman tak hanya memimpin pasukannya dalam strategi militer. Ia juga menjadi sumber inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keteguhan hatinya, semangat juangnya yang tak pernah padam, dan cinta tanah airnya yang begitu besar, menjadi obor yang menyinari jalan perjuangan bangsa.
"Merdeka atau mati!" Seruan itu terus bergema di setiap sudut hutan, membakar semangat juang para prajurit dan rakyat Indonesia. Jenderal Sudirman, dengan tubuh yang lemah, namun jiwa yang kuat, menjadi simbol perlawanan yang tak kenal menyerah.
Perjuangan Jenderal Sudirman dan pasukannya dalam perang gerilya tidaklah sia-sia. Belanda yang merasa kesulitan menghadapi taktik gerilya, akhirnya bersedia untuk berunding. Pada tahun 1949, Perjanjian Roem-Royen ditandatangani, yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Baca Juga: Rumusan Pancasila Berdasarkan Sidang Panitia Sembilan
Meski kemenangan telah diraih, kondisi kesehatan Jenderal Sudirman semakin memburuk. Pada tanggal 29 Januari 1950, sang panglima besar menghembuskan napas terakhirnya di Magelang.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, semangat juangnya tetap hidup, menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa.
Jenderal Sudirman, sang patriot sejati, telah membuktikan bahwa perjuangan tidak mengenal batas. Meski raga terbelenggu penyakit, namun semangat juangnya tetap berkobar.
Ia telah mengajarkan kepada kita semua, bahwa cinta tanah air adalah kekuatan yang tak tergoyahkan, dan kemerdekaan adalah harga mati yang harus dipertahankan.
Kisah perjuangan Jenderal Sudirman dalam perang gerilya melawan Belanda adalah sebuah epik kepahlawanan yang akan selalu dikenang sepanjang masa. Ia adalah teladan bagi kita semua, tentang bagaimana seharusnya kita mencintai dan membela tanah air tercinta.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---