Pada Masanya, Lokananta Pernah Menjerit Pilu Karena Terlupakan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Lokanatan sudah bersolek dan bergeliat kembali. Padahal beberapa waktu yang lalu, BUMN yang bergerak di perekaman musik itu pernah mengalami masa pilu. Suram dan terlupakan.
Lokanatan sudah bersolek dan bergeliat kembali. Padahal beberapa waktu yang lalu, BUMN yang bergerak di perekaman musik itu pernah mengalami masa pilu. Suram dan terlupakan.

Lokanatan sudah bersolek dan bergeliat kembali. Padahal beberapa waktu yang lalu, BUMN yang bergerak di perekaman musik itu pernah mengalami masa pilu. Suram dan terlupakan. Intisari punya dokumentasinya untuk Anda.

Penulis: Imron Rosyid, untuk Majalah Intisari edisi Desember 2009

Intisari-Online.com -Menempati areal seluas sekitar 4 ha, malah membuat kawasan itu berkesan kumuh. Bangunannya kuno tapi tidak terawat, hingga terkesan tidak berpenghuni. Warna cat dinding pudar di sana-sini. Pintu ruangan tak semua terbuka.

Suasana lengang terasa setiap hari, hingga seolah tanpa ada aktivitas di dalamnya. Lokasinya memang di kawasan strategis, tapi nyatanya bangunan itu bukan tempat yang populer bagi orang di sekitarnya.

Gambaran itu tentang Lokananta, perusahaan rekaman milik negara di Jl. Ahmad Yani, Solo. Sebuah tempat yang di masa silam sempat berjaya sebagai produsen vinyl alias piringan hitam, terutama untuk bahan siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di seluruh Indonesia.

Masa keemasannya paling tidak bertahan sampai datangnya era pita kaset, tahun 1970-an."Sebenarnya kami terbuka untuk pengunjung. Tapi memang jarang yang datang ke sini, kecuali mahasiswa yang sedang menyusun skripsi atau peneliti dari Jakarta," kata Titik, pegawai di Lokananta.

Disimpan pakai kopling

Menyelami lebih dalam perusahaan yang berdiri 29 Oktober 1956 ini, wajar jika kemudian timbul setitik rasa prihatin. Terutama pada nasib merana dari aset-aset Lokananta yang sesungguhnya tak ternilai harganya. Bukan sekadar aset fisik, seperti gedung, peralatan kantor, dan peralatan produksi rekaman.

Namun arsip kesejarahan, terutama musik, yang terekam di dalam master dari piringan-piringan hitam dan kini hanya teronggok dan membisu.

Di sebuah sudut gudang penyimpanan, kita bisa melihat harta berharga peninggalan masa silam itu yang perlahan termakan zaman. Master rekaman yang jumlahnya ribuan ditaruh berjejal dalam lemari-lemari besi. Sebagian master buatan Lokananta, sebagian lain kiriman RRI seluruh Indonesia.

Koleksi diarsipkan dengan cara setempat yang mereka sebut "kopling". "Sistem penomoran kami berbeda dengan standar International System Music Numbering," ujar Ruktiningsih, Kepala Cabang Perum Lokananta Solo.

Pada areal penyimpanan piringan hitam, kondisinya lebih mengenaskan. Lokananta hanya mengategorikan berdasarkan jenisnya. Ada lagu daerah, pidato, lagu keroncong, dsb. Sungguh jauh dari standar internasional.

Tidak hanya itu, piringan hitam berusia puluhan tahun itu ditumpuk begitu saja, tidak dipisah-pisahkan satu kotak untuk satu piringan hitam. Ruangan juga terasa lembab karena tak ada pengatur suhu udara.

Dalam tumpukan itulah kita bisa melihat piringan hitam generasi pertama produksi Lokananta berisi gamelan Jawa, Bali, Sunda, serta musik daerah lain. Ada pula lagu-lagu rakyat yang tidak diketahui penciptanya, termasuk lagu-lagu perjuangan yang populer di masa silam. Mungkin yang bisa membuat kita sedikit tersenyum simpul, di antaranya termasuk rekaman lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dalam tiga stanza yang beberapa waktu lalu sempat diributkan itu.

Lokanatan sudah bersolek dan bergeliat kembali. Padahal beberapa waktu yang lalu, BUMN yang bergerak di perekaman musik itu pernah mengalami masa pilu. Suram dan terlupakan.
Lokanatan sudah bersolek dan bergeliat kembali. Padahal beberapa waktu yang lalu, BUMN yang bergerak di perekaman musik itu pernah mengalami masa pilu. Suram dan terlupakan.

Bukan hanya lagu, di sana tersimpan juga dokumentasi bersifat kenegaraan, seperti pidato. Tentu ini terkait dengan keberadaan RRI yang pernah menjadi satu-satunya lembaga penyiaran, sebelum adanya TVRI dan stasiun penyiaran swasta. Ada rekaman pidato Presiden Soekarno, seperti pada saat pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan RI, pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, dan banyak pidato penting lainnya.

Tapi maaf, pengunjung jangan lalu berharap akan bisa mendengarkan segala arsip itu begitu saja. Di sini tidak tersedia gramofon, alat pemutar piringan hitam itu. Silakan cukup puas dengan sekadar membolak-balik sampul piringan hitam untuk mengetahui isinya. Itu pun informasinya kadang terbatas. Baru Oktober 2009 lalu, bantuan berupa pemutar piringan hitam datang dari pihak luar.

Buktikan "Teranq Bulan"

Bukan hanya sekadar dokumen "formal", arsip rekaman yang ada juga menggambarkan peran Lokananta pelopor perusahaan rekaman dalam industri hiburan di masa silam. Lagu-lagu keroncong, langgam, gendhing, pertunjukan wayang atau ketoprak, sebagai satu bentuk seni yang populer di masyarakat pada era tahun gending '50 - '60-an, juga terdapat di sini.

Tersebut nama seperti Ki Narto Sabdo, penggubah gending karawitan, atau Waldjinah, sang diva keroncong. Di belakangnya, angkatan yang lebih muda menyusul seperti Gesang, Titik Puspa, Bing Slamet, atau Sam Saimun. Tahukah Anda, Waldjinah pertama kali merekam suaranya pada usia 12 tahun?

Lokananta juga berkontribusi besar terhadap perkembangan berbagai aliran musik di Indonesia. Buktinya rekaman pertama musik jazz di Tanah Air dilakukan di tempat ini. Catatan dari pengamat musik Denny Sakrie menyebutkan, album Bubi Chen Kwartet, salah satu album jazz pertama di Indonesia direkam di Lokananta. Berisikan delapan lagu, album itu menampilkan musisi Bubi Chen dan Jack Lemmers alias Jack Lesmana (ayah Indra Lesmana).

Masih ingat kontroversi lagu kebangsaan Malaysia, "Negaraku"? Lokananta sempat mengingatkan kembali, lagu itu mirip sekali untuk tidak menyebut menjiplak - lagu "Terang Bulan" yang penciptanya anonim.

Lokananta memiliki master lagu yang dinyanyikan secara koor oleh Ansamble Bandung. Rekaman dibuat tahun 1956 di RRI Jakarta dan diperbanyak oleh Lokananta 16 Maret 1965. Meski belakangan terungkap fakta bahwa lagu itu sebenarnya berasal dari "La Rosalie" gubahan Pierre-Jean de Beranger, yang hidup di abad ke-18.

Begitu pula ketika lagu "Rasa Sayange" yang sempat digunakan dalam promosi pariwisata Malaysia, Lokananta memberikan bukti, lagu tersebut pernah direkam dengan master pita reel rekaman nomor 253.

Seperti tertulis di sampulnya, lagu itu direkam dalam piringan hitam dan diproduksi 5 Agustus 1962 untuk souvenir Asian Games IV di Jakarta. Di dalamnya ada pula beberapa lagu lain seperti "Sorak-sorak Bergembira", "O Ina ni Keke" dan "Sengko Sengko Dainang".

Belajar dari kasus klaim lagu itu, Ruktiningsih berharap pemerintah bisa turun tangan agar kejadian seperti itu tak terjadi lagi. Caranya dengan mendaftarkan hak ciptanya. Apalagi Lokananta telah memiliki acuan sistem penomoran rekaman lagu-lagu yang disimpan.

Dia menyatakan pihaknya juga siap bila pemerintah memintanya melakukan melakukan standarisasi penomoran lagu-lagu Indonesia yang lama maupun baru. Termasuk siap jika diberi hak untuk melakukan sertifikasi lagu-lagu tersebut.

Lokanatan sudah bersolek dan bergeliat kembali. Padahal beberapa waktu yang lalu, BUMN yang bergerak di perekaman musik itu pernah mengalami masa pilu. Suram dan terlupakan.
Lokanatan sudah bersolek dan bergeliat kembali. Padahal beberapa waktu yang lalu, BUMN yang bergerak di perekaman musik itu pernah mengalami masa pilu. Suram dan terlupakan.

Calon museum

Lokananta, sebuah nama gamelan para dewa di kahyangan, berdiri 29 Oktober 1956. Awalnya bernama Pabrik Piringan Hitam Lokananta dan berada di bawah Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Pencetusnya R. Maladi, tokoh nasional kala itu yang juga dikenal penggubah "Di Bawah Sinar Bulan Purnama".

Rupanya Menteri Penerangan saat itu, Soedibyo, menyetujui ide itu. Tujuannya mengenalkan keberagaman budaya bangsa ini dan untuk memupuk rasa nasionalisme pendengar radio di seluruh Indonesia.

Apalagi saat itu RRI tidak memiliki banyak bahan siaran. Status BUMN di bawah Perum Percetakan Negara yang melekat pada Lokananta sejak 2004, memaksa Lokananta menjadi perusahaan mandiri. Bahkan seperti dituntut untuk bisa menghasilkan keuntungan. "Jangankan menyetor keuntungan, untuk tetap hidup saja harus sabet kiri kanan, termasuk utang sana-sini," kata Ruktiningsih.

Tanpa subsidi pemerintah setiap bulan, Lokananta membutuhkan dana Rp 80 juta. Biaya sebesar itu untuk anggaran operasional seperti membayar gaji 22 pegawainya, pemeliharaan gedung seluas 2.000 m2, dan keperluan rutin lain.

Saat ini untuk menutup tekor, Lokananta juga mencari uang dengan membuka persewaan studio rekaman. Tarifnya terbilang murah, Rp 500 ribu per enam jam. Tetapi pemasukan dari bidang ini pun sangat minim. Sesekali, kata Titik, datang grup musik indie untuk rekaman. Di lain waktu, rombongan karawitan yang datang.

Semua alat disediakan oleh Lokananta termasuk gamelan untuk karawitan. Kalau boleh sedikit menyombong, peralatan gamelan di Lokananta bukan sembarang gamelan. Namanya Kiai Sri Kuncoro Mulyo dan konon dibuat semasa Pangeran Diponegoro.

Pemilik semula R. Moelyo Soeprobo, keluarga Keraton Yogyakarta. tapi kemudian gamelan dengan nada tumbuk 6 ini diboyong ke Solo, tahun 1934. Akustik dari studio seluas 240 m2 dengan tinggi 7 m itu tergolong bagus. Maka hasil rekaman Lokananta juga dijamin bersih, tanpa noise.

Beberapa tahun belakangan, Lokananta juga mengembangkan semacam embrio sebuah museum. Tiga ruangan luas telah tersedia. Pertama untuk menyimpan sekitar 30-an ribu koleksi piringan hitam. Ruang lainnya untuk menyimpan peralatan rekaman dari masa ke masa. Tapi sayangnya, justru alat untuk memproduksi piringan hitam, sudah raib sejak lama.

"Saya tidak pernah tahu bendanya. Menyedihkan memang, peranti yang sangat penting itu malah tidak ada," kata Ruktiningsih yang hanya bisa menyayangkan.

Kini yang bisa disaksikan, hanya alat seperti pemotong pita atau multi-track recorder dari sejak awal 1960-an hingga 1980-an. Ada pula berbagai mixer dan speaker control. Kondisinya berdebu karena rusak dan tidak lagi dimanfaatkan.

Ada pula sedikit sisa-sisa bahan pembuatan piring hitam yang mungkin bisa menjadi sedikit pemahaman bagi masyarakat tentang cara pembuatannya. Semua itu kental dengan sejarah. Tapi tak akan berarti tanpa kepedulian dan uluran tangan.

---

Itulah cerita tentang Lokananta yang pernah terjerembab dalam masa-masa suram. Sekarang sudah berubah total dan bersemi kembali.

Artikel Terkait