"Pijakan teori yang diajukan Prof. Sukanto adalah penaklukan Sunda Kelapa oleh pasukan Demak yang berangkat dari Banten. Berangkatnya 15 Desember 1526, sampai di Sunda Kelapa Februari 1527. Tidak dijelaskan apa ada pertempuran saat itu. Baru pada Maret ada pertempuran dengan Portugis. Saat itu Portugis menganggap yang dikuasai Demak ini masih Sunda Kelapa. Mereka sudah memperoleh persetujuan untuk mendirikan benteng,” jelas Candrian.
“Tetapi begitu sampai di Sunda Kalapa ternyata sudah berganti kerajaan. Sudah dikuasai Demak dengan Fatahilah sebagai pimpinannya. Tetapi tidak serta merta Maret itu Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta. Ada jeda tiga bulan menurut teori Soekanto yang merujuk ke penanggalan Jawa. Yakni ketika masa sesudah panen. Pada masa itu masyarakat pasti bikin acara. Soekanto meyakini bahwa pada masa seperti itu dilakukan pemberian nama Jayakarta."
Secara eksplisit Prof. Soekanto menulis, “Mengingat pula pada apa jang telah diuraikan diatas itu, jakni mangsa kesatu djatuh dalam bulan Djuni (bulan panen atau bulan setelah panen), kita kira kemungkinannja tidak sedikit, bahwa nama Djajakarta diberikan pada tanggal satu mangsa kesatu, jaitu pada bulan Djuni, tanggal 22, tahun 1527. Harinja jang pasti kita tidak dapat menemukannja.”
Dikaitkan dengan Maulud Nabi
Tanggal teori satunya lagi diusulkan oleh Prof. Hoesein Djajaningrat. Ia menanggapi pendapat Prof. Soekanto. Menurut Candrian, Prof. Hoesein mengaitkan penggantian nama Sunda Kelapa ke Jayakarta itu dengan perayaan Maulud Nabi pada saat itu.
"Terus dicari pada tanggal berapa? Akhirnya diusulkan 17 Desember 1526,” kata Candrian.
Dalam artikel “Hari Jadi Kota Jakarta”, Heru Erwantoro yang saat itu bekerja di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung menuliskan bahwa pendapat Prof. Hoesin didasarkan pada sumber-sumber sejarah dari pengarang-pengarang Eropa.
Dijelaskan bahwa armada Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa yang pergi ke Sunda Kalapa berangkat dari Malaka pada tanggal 23 Oktober 1526. Pada bulan Desember 1526 pada waktu perayaan hari Natal di Cochin (India), diperoleh kabar dari Malaka bahwa pemimpin armada itu telah kembali, dan pada penghabisan bulan Desember tersebut pembesar itu telah bertolak ke India.
Berdasarkan hal itu maka jatuhnya Sunda Kalapa terjadi pada bulan Desember 1526. Setelah itu, untuk menentukan harinya, ia mencari hari raya atau hari peringatan Islam yang dekat waktunya dengan jatuhnya Sunda Kalapa pada bulan Desember 1526.
Dia menduga bahwa pada hari raya Islam itu, Faletehan merayakan kemenangannya dengan gembira dan perasaan bersyukur. Adapun Hari Raya Islam yang paling dekat dengan penghabisan bulan Desember 1526 adalah hari Maulid Nabi tanggal 12 Rabiul Awal 933 Hijrah, hari itu jatuh pada hari Senin tanggal 17 Desember 1526.
Yang luput dari perhatian Hoesein Djajadiningrat ialah bahwa pada tahun 1526 itu belum terjadi pertempuran antara pasukan Demak di bawah pimpinan Faletehan dengan armada Portugis. Hoesein Djajadiningrat begitu membaca sumber yang mengatakan bahwa Francisco de Sa berada di India pada bulan Desember 1526, dia lalu berkesimpulan bahwa pertempuran telah terjadi dan telah selesai.
Candrian berpendapat bahwa polemik seputar penetapan hari jadi Kota Jakarta adalah denyut sejarah. Wajar.
“Tetapi yang menyangkal kedua tanggal teori tadi tidak mengusulkan tanggal berapa. Jadi yang membantah itu lebih lemah dari Soekanto dan Hoesin. Sampai sekarang pun tidak ada teori baru yang mengusulkan tanggal berapa,” ujar Candrian.
Pada sidang 23 Februari 1956, Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja menetapkan tanggal 22 Juni sebagai hari lahir Kota Jakarta. Keputusan itu tercatat dalam registrasi No. 6/D/K/1956. "Ini adalah sebuah keputusan politis," kata Candrian.
Jika merujuk ke empat pola penentuan hari lahir sebuah kota, Jakarta menerapkan pola yang mana?
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR