Lantas, apakah itu menandakan orang-orang Belanda di Batavia—baik yang ada di tubuh VOC atau bukan—suka dengan keberadaan orang-orang Tionghoa?
Jawabannya mungkin bisa dilihat dari Tragedi Angke 1740. Sebuah data kontemporer menyebutkan bahwa lebih dari 10 ribu nyawa orang-orang Tionghoa dibantai oleh VOC dengan begitu kejamnya.
Faktor ekonomi tetap menjadi alasan pelik pembantaian tersebut. Syahdan, jumlah penduduk Tionghoa yang kala itu mencapai 80 ribu jiwa banyak yang menganggur akibat banyaknya pabrik gula di Batavia yang bangkrut. Imbasnya, kriminalitas pun meningkat.
Untuk mengantisipasi hal itu, VOC membuat peraturan untuk menekan jumlah orang Tionghoa di Batavia. Caranya bermacam-macam. Ada yang dikirim ke Sri Langka, ada yang dibuang di tengah laut. Beberapa warga yang masih di Batavia mempersenjatai diri untuk melawan kesewenangan VOC dan menyerang kongsi dagang itu pada 8 Oktober 1740.
Bagaimana perisitwa berdarah itu terjadi?
Pada akhir abad 17, krisis menimpa koloni VOC Belanda di Batavia, yang saat itu adalah pusat perdagangan kongsi datang tersebut. Beragam pedagang singgah di kota tersebut, termasuk pedagang Cina. Pada 1690, VOC mulai meningkatkan kuota bagi imigran Tionghoa yang datang untuk menguatkan ekonominya.
Seiring berjalannya waktu, imigran Tionghoa yang resmi dan ilegal justru dijadikan objek pemerasan VOC. Tercatat pada 1696, VOC menerapkan pajak 15 ringgit untuk setiap orang Tionghoa yang datang.
Kebijakan ini dirasa berat, karena sebelum kedatangan VOC, para imigran dapat berniaga bebas dengan penduduk Nusantara. Akhirnya, VOC mau mengendurkan aturan imigrasi bagi orang Tionghoa dan menaikkan kuotanya.
Pada 1719, catatan resmi VOC mengungkap bahwa telah ada 7.550 pemukim Tionghoa di Batavia. Jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 35 persen dari keseluruhan penduduk Batavia saat itu.
Memasuki 1738, keadaan kas VOC semakin memprihatinkan karena harga rempah di pasaran jatuh. Selain itu, muncul persaingan komoditas kopi dengan EIC, kongsi dagang Inggris yang berpusat di India.
Solusinya, Gubernur Jenderal VOC saat itu, Adriaan Valckenier mengeluarkan kebijakan yang bikin kaget. Dia mewajibkan para imigran Tionghoa memiliki permissie brief yang dapat ditebus dengan biaya dua ringgit.
Dalam sensus VOC tahun 1739, tercatat ada 10.574 pemukim Tionghoa di Batavia. Namun, angka sebenarnya diyakini lebih tinggi, mengingat banyaknya imigran gelap yang bermukim di dalam kota ataupun di sekitar Tangerang-Bekasi.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR