Intisari-Online.com – Alkisah, hidup seorang duda yang sangat mencintai putranya yang berusia lima tahun. Setiap pagi ia berangkat kerja dan meninggalkan anaknya sendirian di rumah. Suatu kali datang perampok yang membakar seluruh desa tempat tinggalnya dan membawa anaknya pergi.
Ketika pria itu kembali, ia hanya melihat reruntuhan rumahnya dan berteriak panik. Ia melihat mayat seorang anak yang dianggapnya sebagai anaknya dan menangis tak terkendali. Ia mengadakan sebuah upacara kremasi, mengumpulkan abu, dan menempatkannya dalam sebuah tas kecil yang indah, yang terus ia bawa ke manapun ia pergi.
Setelah itu, anaknya yang sebenarnya yang berhasil melarikan diri dari perampok, berhasil menemukan jalan pulang. Ia tiba di rumah baru ayahnya di tengah malam dan mengetuk pintu.
Sang ayah, yang masih berduka, bertanya, “Siapa itu?”
Anaknya menjawab, “Ini saya, Ayah, bukakan pintu.”
Tapi dalam keadaan gelisah pikirannya, yakin anaknya sudah tiada, ayahnya berpikir bahwa beberapa pria mengolok-oloknya. Ia berteriak, “Pergi!” dan terus menangis.
Setelah beberapa waktu, anak itu pun pergi.
Ayah dan anak itu pun akhirnya tidak pernah bertemu lagi satu sama lain.
Setelah cerita ini, Sang Buddha berkata, “Kadang, di suatu tempat, kita menemukan sebuah kebenaran. Jika kita berpegang teguh pada begitu banyak hal, bahkan ketika kebenaran datang secara pribadi dan mengetuk pintu kita, kita tidak akan membukanya.”