Intisari-Online.com -Setiap menjelang musim haji, dokter M. Gunawan selalu teringat pada peristiwa 1967. Ketika itu ia menjadi anggota Rombongan Kesehatan Indonesia (RKI) pada kapal Tampomas (bukan yang tenggelam). Kapal itu mengangkut 800 jemaah dari Ambon, Kalimantan Timur, dan Surabaya.Jemaah tidak ada yang sakit menular, prosedur imunisasi sudah dipenuhi, surat-surat lengkap, tidak ada tikus, tidak ada kecoak. Namun, seluruh penumpang kapal diharuskan masuk karantina oleh petugas-petugas Arab di Jeddah.“Indunusia kholera!” kata mereka.“No, Indonesia shihat,” jawab sang dokter.“La la la, Indunusia kholera!” bentaknya lagi.Pokoknya rombongan dokter Gunawan tidak bisa berbicara tentang “International Health Regulations” dengan mereka. Sulitnya bagi mereka kalauh jemaah harus lama dikarantina, pengangkutan jemaah ke Mekkah dan penempatannya di Madinatul Hujjaj bisa kacau.Petugas KBRI membisiki agar kemauan pejabat-pejabat itu dituruti saja daripada kapal ditolak mendarat.Semua jemaah digiring ke kompleks berpagar kawat berduri. Malamnya petugas setempat mendatangi barak-barak membawa beratus-ratus kotak plastik kosong. Semua jemaah diharuskan menyerahkan kembali kotak-kotak itu besok pagi, setelah diisi dengan sedikit tinja masing-masing untuk diperiksa di laboratorium.“Gampang, Dok!” ujar salah seorang di antara petugas-petugas itu dengan yakin. “Serahkan saja semuanya pada saya. Besok pagi pasti beres!”Benar saja, esok paginya semua sudah rapi. Tidak ada kesulitan sedikit pun. Tiga hari kemudian semua jemaah boleh meninggalkan karantina untuk menuju Mekkah.Di Mekkah, dokter Gunawan berjumpa kembali dengan pimpinan rombongan yang bisa mengurus penyetoran “upeti” 800 orang dengan begitu rapi dan cepat. Saya penasaran dan bertanya bagaimana caranya.“Semua di kotak-kotak plastik itu kepunyaan saya, Dok! Tidak ada milik orang lain. Saya kan sehat,” jawabnya, ringkas.Rupanya periode karantina bisa dilalui dengan cepat dan lancar gara-gara akal Abunawas ini.(Intisari edisi 40 tahun)