Sayuti Melik, dengan cekatan, menyalin dan mengetik naskah proklamasi pada mesin ketik milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Sebuah mesin ketik yang dipinjam dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman.
Perdebatan Seputar Penandatanganan Teks Proklamasi
Sekitar pukul 04.00 WIB, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo keluar menemui para tokoh yang telah menanti di serambi muka.
Di hadapan mereka, Soekarno membacakan rumusan teks proklamasi, mengantarkan Indonesia menuju gerbang kemerdekaan.
Sebelum fajar menyingsing, seluruh tokoh yang hadir menyepakati konsep naskah proklamasi.
Awalnya, Soekarno mengusulkan agar semua yang hadir turut menandatanganinya. Namun, usulan ini ditolak oleh golongan muda.
Kekhawatiran akan konsekuensi penandatanganan menjadi alasan utama penolakan tersebut.
Sejarawan UNS, Susanto, menjelaskan bahwa para pemuda saat itu tidak berani mengambil risiko.
Perundingan terus berlanjut hingga Sukarni mengusulkan solusi: teks proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Usulan ini diterima dan naskah proklamasi pun diketik ulang dengan beberapa perubahan.
Tepat pada pukul 10.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan dengan lantang oleh Soekarno.
Sebuah momen yang menggema dalam sejarah bangsa, mengantarkan Indonesia ke era kemerdekaan yang penuh harapan.
Momen penandatanganan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi bukti nyata persatuan dan keberanian para tokoh bangsa.
Di balik momen sakral ini, terdapat perdebatan sengit yang nyaris menghambat proklamasi, seperti yang dijelaskan dalam artikel ini.
Perdebatan mengenai tokoh yang seharusnya menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan menjadi pengingat bahwa kemerdekaan diraih dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa.
KOMENTAR