Intisari-Online.com - Di balik momen bersejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, terdapat perdebatan mengenai tokoh yang seharusnya menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan.
Momen sakral ini nyaris terhambat oleh pertanyaan krusial: siapakah yang berani mengambil tanggung jawab besar atas kemerdekaan bangsa?
Artikel ini akan mengupas perdebatan menegangkan ini, menjelaskan argumen di balik setiap sudut pandang, dan mengantarkan pembaca pada momen penandatanganan bersejarah yang mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Perumusan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Tokoh-tokoh yang Teribat
Pada dini hari tanggal 17 Agustus 1945, sejarah mencatat sebuah momen monumental: perumusan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Melansir Kompas.com, proses ini berlangsung di ruang makan kediaman Laksamana Tadashi Maeda, seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang.
Tiga tokoh sentral, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebarjo, bahu-membahu menuangkan gagasan kemerdekaan dalam sebuah naskah.
Di ruangan yang sama, sejumlah tokoh lain turut menyaksikan momen bersejarah ini, di antaranya Sukarni, B.M. Diah Sudiro, Sayuti Melik, dan Miyoshi, orang kepercayaan Somobuco.
Sementara itu, di serambi muka, para tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun muda, menanti dengan penuh harap.
Laksamana Maeda sendiri memilih untuk tidak terlibat dalam perumusan teks dan menghabiskan waktu di kamarnya.
Soekarno dengan penuh semangat menuliskan konsep proklamasi pada selembar kertas blocknote putih. Tepat menjelang subuh, konsep teks proklamasi pun rampung.
Baca Juga: Kronologi Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan, Dimulai dari Jatuhnya Bom
Sayuti Melik, dengan cekatan, menyalin dan mengetik naskah proklamasi pada mesin ketik milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Sebuah mesin ketik yang dipinjam dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman.
Perdebatan Seputar Penandatanganan Teks Proklamasi
Sekitar pukul 04.00 WIB, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo keluar menemui para tokoh yang telah menanti di serambi muka.
Di hadapan mereka, Soekarno membacakan rumusan teks proklamasi, mengantarkan Indonesia menuju gerbang kemerdekaan.
Sebelum fajar menyingsing, seluruh tokoh yang hadir menyepakati konsep naskah proklamasi.
Awalnya, Soekarno mengusulkan agar semua yang hadir turut menandatanganinya. Namun, usulan ini ditolak oleh golongan muda.
Kekhawatiran akan konsekuensi penandatanganan menjadi alasan utama penolakan tersebut.
Sejarawan UNS, Susanto, menjelaskan bahwa para pemuda saat itu tidak berani mengambil risiko.
Perundingan terus berlanjut hingga Sukarni mengusulkan solusi: teks proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Usulan ini diterima dan naskah proklamasi pun diketik ulang dengan beberapa perubahan.
Tepat pada pukul 10.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan dengan lantang oleh Soekarno.
Sebuah momen yang menggema dalam sejarah bangsa, mengantarkan Indonesia ke era kemerdekaan yang penuh harapan.
Momen penandatanganan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi bukti nyata persatuan dan keberanian para tokoh bangsa.
Di balik momen sakral ini, terdapat perdebatan sengit yang nyaris menghambat proklamasi, seperti yang dijelaskan dalam artikel ini.
Perdebatan mengenai tokoh yang seharusnya menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan menjadi pengingat bahwa kemerdekaan diraih dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa.