Bagaimana Perlakuan Para Penerjemah buku Di Masa Dinasti Bani Abbasiyah?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Lalu bagaimana kedudukan para penerjemah buku di masa Dinasti Bani Abbasiyah?
Lalu bagaimana kedudukan para penerjemah buku di masa Dinasti Bani Abbasiyah?

Intisari-Online.com -Salah satu profesi yang merasakan sejahteranya kehidupan di masa kekhalifahan Dinasti Bani Abbasiyah adalah para penerjemah buku.

Mereka bahkan mempunyai posisi yang sangat istimewa.

Lalu bagaimana perlakuan para penerjemah buku di masa Dinasti Bani Abbasiyah?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada sedikit trivia:

Pada masa Abbasiyah para penerjemah buku memiliki tempat yang istimewa di mata para penguasa.

Mereka mendapatkan fasilitas yang sangat memadai sebagai imbalan atas pekerjan mereka dalam menerjemahkan buku dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Berikut ini yang bukan perlakuan para penguasa terhadap mereka adalah...

A. Mendapat upah menerjemahkan buku berupa uang dinar seberat buku yang diterjemahkan

B. Mendapatkan gaji pokok dalam profesinya sebagai penerjemah

C. Mendapatkan fasilitas pengembangan diri di Bayt al-Ḥikmah (Baitul Hikmah)

D. Diangkat sebagai pejabat di istana khalifah

Salah satu catatan sejarah yang fenomenal pada masa keemasan Daulah Abbasiyah adalah tentang Baitul Hikmah.

Pada awalnyaBaitul Hikmah didirikan oleh Khalifah Harus al-Rasyid pada awal masa pemerintahannya.

Saat ituBaitul Hikmah difungsikan sebagai perpustakaan pribadi.

Pada masa Khalifah al-Makmun,Baitul Hikmah diformalkan menjadi lembaga pendidikan tinggi Islam.

Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi pertama Islam.

Selain sebagai lembaga pendidikan tinggi,Baitul Hikmahjuga berfungsi sebagai biro penerjemahan dan perpustakaan.

Al-Makmun juga mengembangkanBaitul Hikmah menjadi observatorium sebagai tempat pengajaran astronomi dan rumah sakit sebagai pusat studi kedokteran.

Baitul Hikmah dikembangkan menjadi lembaga pendidikan formal dalam rangka mewadahi perkembangan ilmu pengetahuan di Baghdad pada saat itu.

Sebelumnya ilmu pengetahuan sudah mulai berkembang sejak era Khalifah al-Mansur.

Perkembangan ilmu pengetahuan diawali dari kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa Yunani.

Pada awalnya kegiatan penerjemahan itu bersifat perorangan.

Kegiatan penerjemahan banyak dilakukan di suatu daerah yang bernama Harran (sekarang masuk wilayah Turki).

Di tempat ini berkumpul para ahli bahasa Yunani dari Syria.

Mereka menerjemahkan buku-buku tentang aritmatika, geografi, filsafat, dan lain-lain dari bahasa Yunani ke bahasa Syria.

Baru setelah itu diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Arab.

Berkembangnya kegiatan penerjemahan pada masa itu juga ditopang oleh tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah.

Kebutuhan dasar mereka sudah terpenuhi dengan baik.

Karenanya mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang beragam, salah satunya adalah penerjemahan buku.

Oleh karena itu pada saat itu membaca buku merupakan aktivitas yang biasa di temukan di sudut-sudut wilayah Abbasiyah.

Bahkan banyak perpustakaan pribadi yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap buku dan ilmu pengetahuan.

Kesejahteraan penduduk Abbasiyah merata di semua kelas masyarakat.

Termasuk masyarakat yang beragama non-muslim, baik dari kalangan ahli kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun kaum Sabiin (penyembah matahari) yang masih eksis pada masa itu.

Bahkan para penerjemah ulung Daulah Abbasiyah pada awalnya berasal dari golongan mereka.

Di antaranya adalah Hunain bin Ishaq, yang beragama Kristen Nestorian, dan Tsabit bin Qurrah dari kalangan Sabiin.

Mereka adalah penerjemah-penerjemah produktif yang di kemudian hari diberi kepercayaan oleh para khalifah untuk bekerja diBaitul Hikmah.

PengembanganBaitul Hikmah oleh Khalifah al-Makmun menunjukkan perhatian yang besar dari penguasa terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Baitul Hikmah dibangun sebagai fasilitas bagi para ilmuwan agar mereka bisa berkembang dengan lebih baik.

Para ilmuwan ternama kemudian dipanggil untuk bekerja di tempat ini, di antaranya adalah Hunain bin Ishaqdan Tsabit ibn Qurrah.

Bahkan mereka mendapatkan fasilitas eksklusif dari penguasa.

Misalnya Hunain bin Ishaq yang mendapatkan gaji 500 dinar sebulan.

Selain itu dia juga mendapatkan emas untuk setiap buku yang diterjemahkan seberat buku yang diterjemahkan itu.

Sejak menjadi lembaga formal,Baitul Hikmah berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Baitul Hikmah, bukan lagi sekedar berfungsi sebagai biro penerjemahan, tetapi berkembang sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan.

Penerjemahan pun tidak hanya terbatas dari karya-karya berbahasa Yunani, tapi juga meluas ke buku-buku berbahasa Persia dan India.

Banyak ilmu pengetahuan dan ilmuan yang terlahir dan berkembang dari lembaga ini.

Seperti ahli kedokteran Ibnu Sina, ahli astronomi al-Battani, ahli matematika al-Khawarizmi.

Di samping ituBaitul Hikmah juga melahirkan para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, hingga al-Ghazali.

SelainBaitul Hikmah tradisi keilmuan juga berkembang secara luas.

Tradisi keilmuan itu berkembang melalui berbagai perpustakaan pribadi yang banyak dimiliki dan dikembangkan secara mandiri.

Bersumber dari tradisi literasi inilah berkembang beragam ilmu pengetahuan, baik ilmu umum seperti kedokteran, matematika, astronomi, kimia, seni, dan lain-lain, maupun ilmu agama, seperti ilmu kalam, ilmu fikih, ilmu tafsir, maupun ilmu hadis.

KeberadaanBaitul Hikmah sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia terus berkembang sampai beberapa penguasa berikutnya, yakni al-Muktasim (833 - 842 M) dan al-Watsiq (842-847 M).

Namun kejayaanBaitul Hikmahmulai meredup pada masa al-Mutawakil (847-861 M).

Berbeda dengan para pendahulunya yang memberikan perhatian besar terhadap penerjemahan buku dari Yunani, Khalifah al-Mutawakil mulai melakukan pembatasan-pembatasan.

Meskipun demikianBaitul Hikmah tetap bertahan sebagai pusat ilmu pengetahuan.

Sampai akhirnyaBaitul Hikmah dihancurkan oleh tentara Mongol yang menaklukkan dan menguasai Baghdad pada tahun 1258 M.

Saat itu tentara Mongol hanya peduli dengan emas.

Semua hal selain emas mereka bumi hanguskan, termasukBaitul Hikmah dan perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di seantero Baghdad.

Begitulah perlakuanpara penerjemah buku di masa Dinasti Bani Abbasiyah, semoga bermanfaat.

Artikel Terkait