Intisari-online.com - Pada tanggal 8 Januari 1996, sebelas orang peneliti dari berbagai negara yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz 95 disandera oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di kampung Mapenduma, distrik Tiom, Jayawijaya, Papua.
Sandera-sandera tersebut adalah Adinda Arimbi Saraswati, Navy W. Th. Panekenan, Matheis Yosias Lasembu, dan Delly Priatna dari Indonesia, Hans van der Ploeg dan Mark van der Wal dari Belanda, René Robert, Jean-Michel Martin, dan Stéphane Malbos dari Prancis, Maxime Jouan dari Swiss, dan Dave Bean dari Amerika Serikat.
Penyanderaan ini menimbulkan krisis diplomatik dan kemanusiaan, serta menantang otoritas pemerintah Indonesia di Papua.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menugaskan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) untuk melakukan operasi pembebasan sandera.
Operasi ini dipimpin oleh Komandan Jenderal Kopassus Brigjen TNI Prabowo Subianto, yang saat itu merupakan menantu dari Presiden Soeharto.
Prabowo mengusulkan untuk melakukan operasi militer secara rahasia dan cepat, tanpa melibatkan pihak asing atau media.
Ia juga menolak untuk bernegosiasi dengan OPM, yang menuntut kemerdekaan Papua, pembebasan tahanan politik, dan penghentian operasi militer di Papua sebagai syarat pembebasan sandera.
Prabowo menganggap OPM sebagai kelompok separatis yang harus diberantas, dan tidak mau memberi kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan publisitas atau legitimasi.
Prabowo mempersiapkan operasi ini dengan sangat hati-hati dan detail.
Ia mengerahkan sekitar 400 prajurit Kopassus, yang sebagian besar bersenjatakan AK dan SSI, untuk menyusup ke daerah Mapenduma.
Ia juga menggunakan pesawat-pesawat terbang dan helikopter-helikopter untuk mengangkut pasukan dan peralatan, serta untuk melakukan pengintaian udara.
Baca Juga: Ini Alasan Ketua KPU Melanggar Kode Etik Hingga Gibran Berpeluang Didiskualifikasi
Selain itu, ia memanfaatkan informasi dari mata-mata, pembelot, dan penduduk setempat untuk mengetahui lokasi dan gerak-gerik OPM.
Operasi ini berlangsung selama lima hari, dari tanggal 5 hingga 9 Mei 1996.
Dalam menjalankan misi ini, Prabowo memutuskan untuk menyerang di enam titik sesuai hasil kajian tim intelijen.
Hasilnya, Operasi Mapenduma berhasil membebaskan para sandera.
Namun dari total 26 sandera, ada 2 orang yang meninggal dunia.
Operasi Mapenduma merupakan operasi pembebasan sandera terbesar dan terberhasil yang pernah dilakukan oleh Kopassus.
Operasi ini mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali, negara-negara asal sandera, dan masyarakat internasional.
Operasi ini juga meningkatkan reputasi dan popularitas Prabowo sebagai komandan pasukan elite Indonesia, yang dianggap memiliki keberanian, keterampilan, dan profesionalisme yang tinggi.
Namun, operasi ini juga menuai kritik dan kontroversi dari beberapa pihak, terutama dari kelompok hak asasi manusia, aktivis Papua, dan media.
Mereka juga menyoroti insiden penembakan oleh seorang prajurit Kopassus yang frustasi terhadap rekan-rekannya pada tanggal 15 April 1996, yang menewaskan Letkol Inf. Adel Gustimego, Komandan Detasemen 81 Kopassus, dan sembilan orang lainnya.
Selain itu, mereka mempertanyakan motif dan agenda Prabowo dalam operasi ini, yang diduga berkaitan dengan ambisinya untuk naik pangkat dan mendekatkan diri dengan Soeharto.
Operasi Mapenduma adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Papua dan Indonesia, yang menunjukkan kompleksitas dan dinamika konflik di tanah Papua.
Operasi ini juga menjadi salah satu momen terbaik dan terburuk dalam karier militer Prabowo, yang kemudian menjadi salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Indonesia.