Intisari-Online.com -Selain Perang Jawa, ada satu lagi perang di mana Belanda harus menguras segala upaya untuk mengatasinya.
Mulai dari moral, material, sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Dalam banyak hal, Perang Aceh punya skala yang lebih besar dibanding Perang Jawa.
Itulah Perang Aceh, perang besar terakhir yang dihadapi Belanda dalam rangka menguasai seluruh Hindia Belanda.
Perang Aceh merupakan pertempuran yang terjadi pada abad ke-19 antara Belanda dan Kesultanan Aceh.
Perang ini dimulai ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh pada 26 Maret 1873.
Perang Aceh berlangsung hampir tiga dekade yang menjadikannya salah satu konflik kolonial terlama dalam sejarah perang di Indonesia.
Perang Aceh ditandai oleh pertempuran sengit dan berdarah dengan korban jiwa yang besar di kedua belah pihak.
Penyebab utama perang ini adalah persaingan atas wilayah Aceh yang kaya akan rempah-rempah.
Konflik berlangsung antara Belanda dan Kesultanan Aceh yang ingin mempertahankan kemerdekaan.
Perang Aceh adalah konflik yang terjadi selama 31 tahun, sejak 1873 hingga 8 Februari 1904.
Perang ini dipicu oleh upaya Belanda untuk menguasai wilayah Kesultanan Aceh.
Salah satu faktor utama perang ini adalah pentingnya Kesultanan Aceh dalam perdagangan internasional setelah Terusan Suez dibuka.
Hal tersebut meningkatkan keinginan Belanda untuk menguasai wilayah Kesultanan Aceh.
SebelumnyaBelanda telah berhasil menguasai sebagian wilayah Kesultanan Deli yang mencakup Serdang, Asahan, dan Langkat berdasarkan Perjanjian Siak pada 1858.
Padahal, wilayah-wilayah tersebut awalnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh.
Perjanjian London tahun 1824 sebenarnya mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh atas wilayahnya.
Tapi dengan munculnya Perjanjian Siak dan intervensi Belanda, Kesultanan Aceh merasa bahwa Belanda telah melanggar perjanjian London.
Dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaannya dan melawan penjajahan Belanda, Kesultanan Aceh pun memulai pertempuran.
Selama perang ini, Kesultanan Aceh bahkan berhasil menenggelamkan kapal-kapal Belanda yang melewati perairan mereka.
Pada 1871, Belanda dan Inggris mencapai perjanjian.
Inggris pun menyerahkan kendali atas Aceh kepada Belanda. Hal ini mendorong Kesultanan Aceh untuk mengambil tindakan diplomatis untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Perang Aceh sendiri dibagi dalam empat babak karena saking panjanngya.
Masing-masing babak melibatkan beragam strategi baik dari pihak Kesultanan Aceh maupun pihak Belanda.
Perang Aceh periode pertama (1873-1874)
Pada periode awal Perang Aceh, yang berlangsung sejak 1873 hingga 1874, Belanda menerapkan strategi perang semesta atau perang total.
Ketika itu pasukan Belanda dipimpin oleh Köhler.
Mereka berusaha untuk menguasai wilayah Aceh secara penuh dengan menggelar serangan militer besar-besaran dan pendudukan wilayah secara intensif.
Ini mencakup upaya untuk menyerang pusat-pusat kekuasaan Kesultanan Aceh dan mengontrol wilayah-wilayah strategis.
Sementara itu, masyarakat Aceh berperang dengan melibatkan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah sebagai pemimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Berkat strategi perang yang baik, pasukan Köhler dengan diperkuat 3.000 tentara berhasil dihadapi dan dikalahkan oleh masyarakat Aceh.
Köhler pun tewas pada 14 April 1873.
Hanya 10 hari setelahnya, pertempuran meletus di berbagai wilayah, termasuk upaya merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, dengan dukungan dari beberapa kelompok pasukan.
Selain itu, pertempuran juga terjadi di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, hingga Lambada, dan Krueng Raya.
Ribuan penduduk dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan berbagai wilayah lainnya juga bergabung dalam perjuangan tersebut.
Perang Aceh periode kedua (1874-1880)
Pada periode kedua Perang Aceh yang berlangsung sejak 1874 hingga 1880, Kesultanan Aceh beralih ke strategi perang gerilya.
Pada periode ini, Teuku Umar memimpin gerakan perlawanan ini.
Teuku Umar menggunakan strategi perang gerilya melibatkan serangan cepat, taktik hit-and-run, dan pemanfaatan medan yang sulit untuk mempersulit upaya pengejaran oleh pasukan Belanda.
Namun pasukan Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten, berhasil menaklukkan Keraton Sultan pada 26 Januari 1874, yang kemudian dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.
Pada 31 Januari 1874, Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah meninggal pada 26 Januari 1874, Tuanku Muhammad Dawood diangkat menjadi sultan di Masjid Indrapuri.
Perang Aceh periode ketiga (1881–1896)
Selama Perang Aceh periode ketiga terjadi serangkaian peristiwa signifikan yang mencakup serangan besar-besaran oleh Belanda terhadap Aceh.
Juga penggunaan taktik militer keras, dan pertempuran sengit antara pasukan kolonial Belanda dan pemberontak Aceh dengan dipimpin oleh Teuku Umar.
Pembakaran desa, penggunaan senjata api, serta isolasi ekonomi terhadap Aceh oleh Belanda menjadi ciri khas perang ini.
Selama perang gerilya tersebut, pasukan Aceh dipimpin oleh Teuku Umar, bersama dengan Panglima Polim dan Sultan.
Pada 1899, terjadi serangan mendadak oleh Van der Dussen di Meulaboh yang mengakibatkan gugurnya Teuku Umar.
Tapi Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, kemudian mengambil peran sebagai komandan perang gerilya.
Perang ini berakhir dengan Perjanjian Boven-Digoel pada 1896 yang memberikan pengakuan terbatas terhadap kedaulatan Sultan Aceh.
Perang Aceh periode keempat (1896-1910)
Perang Aceh periode keempat pada 1896 hingga 1910 menggunakan strategi sporadis tanpa adanya komando dari pemerintah Aceh.
Sebagian besar perang dilakukan dalam bentuk gerilya yang melibatkan kelompok dan individu yang melakukan perlawanan, serangan, pengadangan, dan pembunuhan tanpa ada komando sentral dari pemerintahan Kesultanan.
Demi mencapai kemenangan dalam Perang Aceh, Belanda menerapkan strategi yang licik dengan mengirim Snouck Hurgronje ke pedalaman Aceh untuk mengungkap titik lemahnya pasukan Aceh.
Hasilnya, Dr. Snouck Hurgronje menyarankan kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz agar mengesampingkan terlebih dahulu golongan Keumala (Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya, serta terus menyerang dan fokus pada kaum ulama.
Dia juga menyarankan untuk tidak melakukan negosiasi dengan pemimpin gerilya dan mendirikan pangkalan permanen di Aceh Raya.
Alih-alih,Snouck Hurgronje mengusulkan agar Belanda menunjukkan niat baik kepada rakyat Aceh dengan mendirikan langgar, masjid, memperbaiki infrastruktur seperti jalan dan irigasi, serta memberikan bantuan dalam pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Strategi dari Dr. Snouck Hurgronje ini diterima oleh Van Heutz, yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Militer dan Sipil di Aceh pada periode 1898-1904.
Dr. Snouck Hurgronje kemudian diangkat sebagai penasihatnya dalam melaksanakan strategi tersebut.
Dengan menggunakan strategi tersebut, Belanda berhasil mengalahkan Aceh dan perang diakhiri dengan penandatanganan Traktat Pendek atau perjanjian penyerahan.
Selanjutnya, pada 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem menyerah setelah mengalami tekanan yang berat.
Oleh karena itu, hasil akhir Perang Aceh adalah pembubaran Kesultanan Aceh dan wilayahnya jatuh ke tangan Belanda.