Intisari-Online.com -Gorontalo adalah surga emas.
Itu terjadi dari dulu, dari zaman Belanda, hingga saat ini.
Puluhan perusahaan resmi dan ribuan penambang tradisional bergantung kepada emas di provinsi ini.
VOC--pun begitu dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda--melakukan cara apa pun demi mengamankan logam mulia di wilayah yang berada di leher Pulau Maluku itu.
Menurut Hasanuddin Anwar,peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Retno Sekarningrum dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII, Gorontalo memiliki peran strategis dalam dinamika perdagangan emas pada abad 18 hingga 19.
Merekamenjelaskan bagaimana perdagangan emas di Gorontalo beralih dari monopoli VOC ke kendali pemerintah Hindia Belanda.
“Monopoli tersebut kemudian berdampak pada aktivitas para pedagang lokal seperti Bugis dan Mandar di kawasan Teluk Tomini dan Laut Sulawesi,” kata Hasanuddin saat dihubungi, Jumat (22/9/2023).
Sejak dulu, emas adalah andalan utama perdagangan Gorontalo dengan daerah-daerah yang ada di timur Indonesia.
Begitu kata Hasanuddin.
Ha itu terjadi karena posisi Gorontalo dalam jalur pelayaran dan perniagaan cukup strategis.
Wilayah ini, kita tahu, berbatasan dengan Kalimantan di bagian barat, kepulauan Maluku khususnya Ternate di bagian timur, kepulauan Sulu (wilayah Filipina) di bagian utara, dan Makassar di bagian selatan.
Gorontalo juga diapit oleh wilayah perairan yang strategis untuk aktivitas pelayaran.
Di utara ada Laut Sulawesi, di selatan ada Teluk Tomini, dan di barat ada Selat Makassar.
“Tak heran jika pada masa lalu Gorontalo menjadi salah satu lokasi yang banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang, baik pedagang lokal maupun pedagang asing lainnya,” ucap Hasanuddin.
Bagaiman awal mula keterlibatan VOC dalam pertambangan emas di Gorontalo?
Pada pertengahan 1677,Gubernur VOC di Maluku Robertus Padtbrugge mendapat perintah dari Gubernur Jenderal VOC di Batavia Joan Maetsuyker untuk mengunjungi Gorontalo.
Sesaimpainya di sana, dia langsung mengikat perjanjian dengan Kerajaan Limboto dan Gorontalo.
Tak lama kemudi, persisnya pada 1683, VOC mulai mewajibkan raja-raja di dua wilayah itu untukmenyetorkan emas dalam bentuk batangan sebanyak dua kali dalam setahun.
"Penyetoran emas ini pertama kali dilakukan melalui seorang utusan bernama Mayuda," kata Hasanuddin.
"Dari penyetoran pertama tersebut, pejabat VOC langsung menyadari bahwa produksi emas dari Gorontalo mempunyai kadar karat tinggi."
Setelah itu, Mayuda diperintahkanberangkat ke Ternate menghadap Gubernur Maluku Jacobs Langs.
Langs kemudian menyuruh Mayuda menghadapJoan Maaetsuyker di Batavia.
VOC terus menekan Kerajaan Gorontalo dan Limboto untuk mengatur penyerahan emas.
Perusahaan dagang itu juga terus memperbarui dan membuat perjanjian dengan raja-raja Gorontalo demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
VOC bahkan memperluas loji di Gorontalo dengan menempatkan seorang wakilnya.
Tak lupa, mereka jugamendirikan kantor dagang (factorij), gudang penyimpanan barang (packhuis), dan membangun benteng-benteng di sana.
Seperti Benteng Nassau yang didirikan pada 1746 di muara Sungai Gorontalo dan Benteng Leiden didirikan pada 1765 di Kwandang.
Teknisnya, benteng-benteng itu digunakan untuk mengatasi dan mengantisipasimaraknya penyelundupan barang.
Juga untuk mengawasi aktivitasperompak Bugis dan Mandar di Kawasan Teluk Tomini dan Laut Sulawesi.
Sejak itulah emas menjadi komoditas ekspor penting Gorontalo.
Yang juga perlu digarisbawahi,emas Gorontalomerupakan logam mulia bernilai tinggi yang memiliki karakteristik langka, indah dan cenderung tahan terhadap korosi.
“Hal ini tak mengherankan karena kawasan Gorontalo mengandung sumber mineral emas yang tersebar hampir di seluruh wilayahnya,” ujar Hasanuddin.
Masih menurut Hasanuddin, bagian barat Gorontalo banyakmenghasilkan kandungan tembaga dan bismut.
Sementara beberapa pertambangan di sebelah timur laut Danau Limboto dan sebelah barat Gunung Kabila terdapat emas dalam bentuk campuran kuarsa.
Bahkan, di sepanjang Sungai Lonuo banyak ditemukan butiran emas yang ukurannya dapat sebesar telur burung merpati.
Selain itu di dataran Molombulahe dan Pohuwato ditemukan serbuk emas dalam bentuk butiran di dasar sungai dan bercampur dengan pasir.
Penambangan emas di daerah Gorontalo terdapat di daerah Balaya, Potanga, Batudulanga, Baginite, Nanasi, Lantia, Wongkaluhu, dan Lonuo.
Di Limboto penambangan emas terdapat di Patente, Sumalata, dan Lakea.
Untuk daerah Bone berada di Utadu dan Tinongkihia.
Lalu di daerah Boalemo terdapat di Dulupi.
Untuk daerah Katinggola penambangan dilakukan di Moawango, Binontu, Langki dan Langkian.
Menurut Retno Sekarningrum, sejarawan di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII, banyaknya penemuan lokasi tambang emas baru mendorong penambang dari luar daerah masuk ke Gorontalo.
“Pada Desember 1728, banyak orang Gorontalo pindah ke daerah perbatasan antara Gorontalo dan Kaidipang untuk melakukan penggalian emas di lereng pegunungan," katanya.
"Berita tentang penemuan emas di daerah tersebut diketahui dari pedagang Cina, Lin Tin Ko, yang kemudian menginformasikannya kepada Kapten Elias van Stade."
Setelah ditemukan emas berkualitas tinggi para penambang menjual emas tersebut pada pedagang Cina seharga tiga belas ringgit untuk dua keping real emas.
Oleh para pedagang Cina emas tersebut dijual kembali di Manado dengan harga yang lebih mahal.
Yaitu dua belas setengah ringgit untuk 1,5 keping real emas.
Melimpahnya sumber mineral emas kemudian menyebabkan banyak orang Gorontalo terlibat dalam pelayaran niaga sampai di Kepulauan Banggai.
Berita tentang penemuan sumber emas di Kaidipang itu ternyata tidak hanya menarik para pedagang Cina.
Tapi juga para pedagang Mandar dan Weda yang berada di wilayah Halmahera.
Mereka datang ke Kaidipang untuk membeli lokasi penambangan di sana.
Akan tetapi, hal tersebut ditolak oleh para penambang emas.
Pedagang Mandar dan Weda kecewa dan menghadap Raja Kaidipang.
Untuk menghindari konflik dengan Gorontalo, Raja Kaidipang melaporkan penemuan emas kepada Gubernur Maluku.
“Pada Desember 1728, Gubernur Maluku Pielat mengundang Raja Kaidipang ke Ternate untuk menyelesaikan konflik antara Kaidipang dengan Gorontalo tersebut,” kata Retno Sekarningrum.
Menurut Retno, setelah menerima laporan penemuan emas dan potensi tambang emas di Gorontalo, VOC tertarik untuk memonopolinya.
Pielat kemudian menghubungi Mattheus de Haan Gubernur Jenderal VOC di Batavia untuk memberi tahu penemuan emas tersebut.
De Haan menyetujui usulan Pielat terkait penjaminan pasokan sumber mineral emas dari Gorontalo.
Untuk melancarkan praktik monopoli emas tersebut pada 31 Januari 1729 Pielat memberlakukan larangan berlayar ke Gorontalo.
Khususnya ke wilayah wilayah penambangan emas bagi pedagang Cina.
VOC khawatir jika emas dari pedagang Cina dijual kepada penguasa Spanyol di Filipina.
Tindakan serupa juga dilakukan oleh Raja Atinggola dan Raja Bolango dengan mencegah penduduknya membuka permukiman di dekat daerah tambang emas.
“VOC diperkirakan menerapkan monopoli emas sekitar 1.000 real emas setiap tahunnya dari setoran penduduk Gorontalo dan Limboto. Upaya monopoli tersebut didukung dengan pendirian pos-pos untuk mengawasi penyelundupan dan perniagaan emas di Gorontalo,” tambah Retno.
Menurutnya emas yang dipasok VOC mengalami pasang surut selama abad XVIII.
Pada periode 1737-1749 pasokan emas sejumlah 47,9 kg dan mengalami peningkatan pada periode 1749-1755 sejumlah 61,2 kg.
Penurunan pasokan emas terjadi pada periode 1758-1766 sejumlah 54,7 kg, dan rentang 1771-1778 sejumlah 42,4 kg.
Pada periode 1784- 1789 VOC hanya mampu memasok emas sejumlah 12,7 kg, dan pada 1780 terjadi penurunan ekspor emas.
“Pasang surut pasokan emas dari Gorontalo kepada VOC kemungkinan juga dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan gelap atau penyelundupan yang dilakukan oleh golongan bangsawan atau raja dengan bajak laut di wilayah tersebut,” kata Retno.
Para bangsawan atau raja Gorontalo bertransaksi dengan emas untuk membayar barang dagangan yang dibeli dari para bajak laut sehingga pasokan emas kepada VOC semakin menipis.
Di dalam faktur barang Residen Gorontalo pada 1800 tercatat aktivitas pemasukan emas dan perak yang diangkut ke Manado dengan kapal kora-kora.
Pada awal abad 19 hubungan Gorontalo dengan Pemerintah Hindia Belanda memasuki babak baru.
Pemerintah kolonial Belanda akhirnya mampu mengeksploitasi dan memonopoli tanpa mendapat rintangan yang berarti dari gerakan perlawanan daerah.
Pada 31 Desember 1819 pemerintah kolonial Hindia Belanda menekan Raja Gorontalo Muhijuddin Muhammad Jair Iskandar Monoarfa dalam perjanjian yang mewajibkan penyerahan emas dan kopi.
Retno mengungkapkan setelah itu perjanjian baru dengan Raja Mohammad Iskandar Pui Monoarfa kembali diajukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 9 Januari 1828.
Dalam salah satu perjanjian tersebut pendudukan dan raja Gorontalo diwajibkan menyerahkan 700 real emas.
Pemerintah Belanda juga melakukan pendataan lokasi penambangan emas di Gorontalo antara lain di Atinggola, Boalemo, Bone, Bolango, Limboto, dan Sumalata, dan mulai melakukan aktivitas penambangan emas pada 1831.
“Banyaknya aturan penambangan dan perdagangan emas mendorong munculnya penyelundupan komoditas ini ke Singapura terjadi pada 1846. Jumlah emas yang diselundupkan tersebut ditaksir sebanyak empat kali lipat lebih besar dari emas yang dikirim ke Belanda,” kata Retno.
Dia juga bilang, orang-orang Bugis dari Bone juga banyak membuka tambang emas di Gorontalo secara berkelompok.
Mereka harus mendapat izin penambangan terlebih dahulu dari Raja Gorontalo dan kemudian diwajibkan membayar biaya izin sebesar 30-35 Gulden setiap kali melakukan penambangan.
Hasil pajak tambang harus disetor kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Ditemukannya daerah-daerah pertambangan baru juga menyebabkan meningkatnya jumlah perusahaan tambang yang ingin menanamkan investasinya di Gorontalo.
Selama April hingga September 1897 tercatat ada 39 perusahaan yang tersebar di Kota Gorontalo, Batudaa, Kabila, Bone, Boalemo, Paguat, Tibawa, Paguyaman, dan Kwandang.
Produksi pertambangan di Sumalata pada 1907 sebelum dibuka izin penambangannya sudah mencapai hampir 3 ton perak dan 0,5 ton emas.
Begitulah sejarah pertambangan emas di Gorontalo.