Tempat Ribuan Penambang Tradisonal Bergantung, Gorontalo Memang Sudah Jadi Surga Emas Sejak Zaman Belanda

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sejak zaman Belanda, Gorontalo adalah surga pertambangan emas. Saat ini ada puluhan perusahaan dan ribuan penambangang emas tradisional di sana.
Sejak zaman Belanda, Gorontalo adalah surga pertambangan emas. Saat ini ada puluhan perusahaan dan ribuan penambangang emas tradisional di sana.

Intisari-Online.com -Puluhan perusahaan pertambangan dan ribuan penambang tradisional bergantung kepadanya.

Ternyata, Gorontalo sudah menjadi surga emas sejak zaman Kolonial Hindia Belanda.

Bahkan, menurut Kompas.com, Gorontalo adalah penghasil emas terbaik di nusantaraan pada zaman prakolonial.

Gorontalo juga memiliki sejumlah pelabuhan penting.

Antara lain pelabuhan Kwandang di wilayah perairan utara di laut Sulawesi, Paguat dan Gorontalo di wilayah selatan yang berada di Teluk Tomini.

Ketiga pelabuhan ini memiliki peran penting dalam distribusi hasil tambang emas, hasil hutan, dan perdagangan umum pada masa lalu.

“Paguat sering disebut sebagai pusat penghasil tambang emas," kata Hasanuddin Anwar, peneliti dari Balai Pelestari Nilai Budaya Manado, dilansir Kompas.com pada 2016 lalu.

"Makanya daerah Paguat yang berada di bagian barat Provinsi Gorontalo pernah dikuasai oleh dua kerajaan, yaitu Gorontalo dan Limboto."

Hasanuddin menjelaskan, produk emas di Gorontalo pada masa pemerintah kolonial Belanda jumlahnya sangat tinggi.

Bahkan dia mengungkapkan melalui catatan Johann Friedrich Riedel, seorang misionaris Jerman yang dididik di Belanda, hampir seluruh daratan di Gorontalo mengandung mineral emas.

Johann Friedrich Riedel diutus Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), untuk mengabarkan Injil kepada masyarakat Minahasa pada tahun 1831.

Posisi Goronatalo semakin penting setelah ditemukannya emas di perbatasan antara Gorontalo dan Kaidipang dengan kadar cukup tinggi pada tahun 1721.

“Monopoli perdagangan dikuasai oleh VOC dengan mendirikan pos-pos penjagaan untuk meminimalisir adanya penyelundupam emas yang dikuasai bangsawan Gorontalo dengan para pedagang Bugis dan Mandar,” jelas Hasanuddin.

Setelah VOC bangkrut dan bubar,monopoli emas dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Bahkan dalam setiap kontrak yang dipaksakan Belanda kepada lima kerajaan di Gorontalo, setiap kerajaan diwajibkan menyetor emas setiap tahunnya, tergantung dari jumlah produksi kerajaan-kerajaan tersebut.

“Ada 52 perusahaan yang melakukan ekplorasi dan eksplotasi tambang emas pada masa kolonial. Ini menunjukkan bahwa tanah Gorontalo kaya tambang emas, belum lagi mineral lainnya,” ungkap Hasanuddin Anwar.

Belum lama ini terjadi konflik pertambangan emas di Gunung Pani Pohuwato yang terletak di ujung barang Provinsi Gorontalo.

Konflik itu menegaskan bahwa memang Gorontalo adalah surganya tambang emas.

Mengutip pemberitaan Kompas.com, masyarakat lokal sudah lama memiliki keterampilan untuk menambang emas.

Karena itulah mereka sangat familiar dengan urat bijih emas yang menempel di batuan, dan mampu membedakan dengan logam lainnya.

Seperti disebut di awal, sejak dulu emas di Gorontalo selalu menjadi incaran, termasuk VOC.

Kongsi dagang Belanda ini bahkan melakukan penguasaan terhadap kekuasaan raja-raja di Gorontalo.

Hasilnya, berton-ton emas dari Gorontalo dibawa keluar, bahkan saat VOC sudah bubar dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Kisah penambangan emas berkualitas dari Gorontalo ini tidak berhenti saat bangsa Belanda hengkang dari Nusantara.

Perubahan zaman terus bergulir, menghadirkan pemain baru untuk menambang logam mulia ini.

Sementara aktivitas masyarakat penambang terus berjalan, termasuk menggunakan alat berat.

Hasanuddin Anwar, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Retno Sekarningrum dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII yang melakukan riset sejarah menjelaskan Gorontalo memiliki peran strategis dalam dinamika perdagangan emas pada abad 18 hingga 19.

Tulisan mereka dimuat dalam jurnal Handep yang berjudul dinamika perdagangan emas dan budak di Gorontalo abad XVIII-XIX.

Melalui wawancara dengan periset sejarah ini, kedua peneliti menjelaskan dinamika perdagangan emas di Gorontalo terjadi melalui monopoli yang dijalankan oleh VOC dan kemudian beralih ke pemerintah Hindia Belanda.

“Monopoli tersebut kemudian berdampak pada aktivitas para pedagang lokal seperti Bugis dan Mandar di kawasan Teluk Tomini dan Laut Sulawesi,” kata Hasanuddin saat dihubungi, Jumat (22/9/2023).

Menurut Hasanuddin, emas merupakan andalan utama perdagangan Gorontalo dengan daerah-daerah lainnya di wilayah timur Indonesia.

Hal ini karena posisi Gorontalo dalam jalur pelayaran dan perniagaan cukup strategis, karena berbatasan dengan Kalimantan di bagian barat, kepulauan Maluku khususnya Ternate di bagian timur, kepulauan Sulu (wilayah Filipina) di bagian utara, dan Makassar di bagian selatan.

Gorontalo juga diapit oleh wilayah perairan yang strategis untuk aktivitas pelayaran, yakni Laut Sulawesi di utara, Teluk Tomini di selatan, dan Selat Makassar di barat.

“Tak heran jika pada masa lalu Gorontalo menjadi salah satu lokasi yang banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang, baik pedagang lokal maupun pedagang asing lainnya,” ucap Hasanuddin.

Gubernur VOC di Maluku Robertus Padtbrugge mendapat perintah dari Gubernur Jenderal VOC di Batavia Joan Maetsuyker untuk mengunjungi Gorontalo.

Padtbrugge tiba di Kwandang pada 25 September 1677 yang setelah itu mengikat kerajaan Limboto dan Gorontalo.

Di sinilah awal campur tangan VOC dala mengatur ekonomi dan politik kerajaan di Gorontalo.

“Pada tahun 1683, VOC mewajibkan Raja untuk menyetorkan emas dalam bentuk batangan sebanyak dua kati setiap tahunnya. Penyetoran emas ini pertama kali dilakukan melalui seorang utusan bernama Mayuda. Dari penyetoran pertama tersebut, pejabat VOC langsung menyadari bahwa produksi emas dari Gorontalo mempunyai kadar karat tinggi,” tutur Hasanuddin.

Mengetahui kualitas emas Gorontalo, Mayuda diperintahkan berangkat ke Ternate menghadap Gubernur Maluku Jacobs Langs.

Mayuda juga diperintahkan Langs menghadap Joan Maaetsuyker Gubernur Jenderal VOC di Batavia.

VOC terus menekan Kerajaan Gorontalo dan Limboto untuk mengatur penyerahan emas, juga terus membarui dan membuat perjanjian dengan raja-raja Gorontalo demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

VOC bahkan memperluas loji di Gorontalo dengan menempatkan seorang wakilnya, mendirikan kantor dagang (factorij), gudang penyimpanan barang (packhuis), dan membangun benteng-benteng, Benteng Nassau didirikan pada 1746 di muara Sungai Gorontalo dan Benteng Leiden didirikan pada 1765 di Kwandang.

Pendirian benteng di Gorontalo dilakukan sebagai upaya mengatasi maraknya penyelundupan barang serta aktivitas perompak Bugis dan Mandar di Kawasan Teluk Tomini dan Laut Sulawesi.

Perdagangan emas Emas sebagai logam mulia menjadi salah satu komoditas ekspor penting di Gorontalo sejak abad XVII.

Hal ini karena emas merupakan salah satu logam mulia bernilai tinggi yang memiliki karakteristik langka, indah dan cenderung tahan terhadap korosi.

“Hal ini tak mengherankan karena kawasan Gorontalo mengandung sumber mineral emas yang tersebar hampir di seluruh wilayahnya,” ujar Hasanuddin.

Menurut Hasanuddin dataran di sebelah barat Gorontalo menghasilkan kandungan tembaga dan bismut.

Sementara itu, beberapa tambang di sebelah timur laut Danau Limboto dan sebelah barat Gunung Kabila terdapat emas dalam bentuk campuran kuarsa.

Bahkan, di sepanjang Sungai Lonuo ukurannya dapat sebesar telur burung merpati.

Selain itu di dataran Molombulahe dan Pohuwato ditemukan serbuk emas dalam bentuk butiran di dasar sungai dan bercampur dengan pasir.

Penambangan emas di daerah Gorontalo terdapat di daerah Balaya, Potanga, Batudulanga, Baginite, Nanasi, Lantia, Wongkaluhu, dan Lonuo.

Di Limboto penambangan emas terdapat di Patente, Sumalata, dan Lakea. Untuk daerah Bone adalah di Utadu dan Tinongkihia.

Di daerah Boalemo terdapat di Dulupi. Untuk daerah Katinggola penambangan dilakukan di Moawango, Binontu, Langki dan Langkian.

Penambang dari luar daerah Retno Sekarningrum sejarawan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII menyebut banyak penemuan lokasi tambang emas baru mendorong penambang dari luar daerah masuk ke Gorontalo.

“Pada Desember 1728, banyak orang Gorontalo pindah ke daerah perbatasan antara Gorontalo dan Kaidipang untuk melakukan penggalian emas di lereng pegunungan. Berita tentang penemuan emas di daerah tersebut diketahui dari pedagang Cina, Lin Tin Ko, yang kemudian menginformasikannya kepada Kapten Elias van Stade,” ujar Retno Sekarningrum.

Setelah ditemukan emas berkualitas tinggi para penambang menjual emas tersebut pada pedagang Cina seharga tiga belas ringgit untuk 2 keping real emas.

Oleh para pedagang Cina emas tersebut dijual lagi di Manado dengan harga yang lebih mahal, yakni dua belas setengah ringgit untuk 1,5 keping real emas.

Melimpahnya sumber mineral emas kemudian menyebabkan banyak orang Gorontalo juga terlibat dalam pelayaran niaga sampai di Kepulauan Banggai.

Berita tentang penemuan sumber emas di Kaidipang itu ternyata tidak hanya menarik para pedagang Cina, namun juga para pedagang Mandar dan Weda (Halmahera), mereka datang ke Kaidipang untuk membeli lokasi penambangan di sana.

Akan tetapi, hal tersebut ditolak oleh para penambang emas.

Pedagang Mandar dan Weda kecewa dan menghadap Raja Kaidipang. Untuk menghindari konflik dengan Gorontalo, Raja Kaidipang melaporkan penemuan emas kepada Gubernur Maluku.

“Pada Desember 1728, Gubernur Maluku Pielat mengundang Raja Kaidipang ke Ternate untuk menyelesaikan konflik antara Kaidipang dengan Gorontalo tersebut,” kata Retno Sekarningrum.

Retno Sekarningrum menjelaskan setelah menerima laporan penemuan emas dan potensi tambang emas di Gorontalo, VOC tertarik untuk memonopolinya.

Pielat kemudian menghubungi Mattheus de Haan Gubernur Jenderal VOC di Batavia untuk memberi tahu penemuan emas tersebut.

De Haan menyetujui usulan Pielat terkait penjaminan pasokan sumber mineral emas dari Gorontalo.

Untuk melancarkan praktik monopoli emas tersebut pada 31 Januari 1729 Pielat memberlakukan larangan berlayar ke Gorontalo, khususnya ke wilayah wilayah penambangan emas bagi pedagang Cina.

VOC khawatir jika emas dari pedagang Cina dijual kepada penguasa Spanyol di Filipina.

Tindakan serupa juga dilakukan oleh Raja Atinggola dan Raja Bolango dengan mencegah penduduknya membuka permukiman di dekat daerah tambang emas.

“VOC diperkirakan menerapkan monopoli emas sekitar 1.000 real emas setiap tahunnya dari setoran penduduk Gorontalo dan Limboto. Upaya monopoli tersebut didukung dengan pendirian pos-pos untuk mengawasi penyelundupan dan perniagaan emas di Gorontalo,” tutur Retno Sekarningrum.

Menurutnya emas yang dipasok VOC mengalami pasang surut selama abad XVIII.

Pada periode 1737-1749 pasokan emas sejumlah 47,9 kg dan mengalami peningkatan pada periode 1749-1755 sejumlah 61,2 kg.

Penurunan pasokan emas terjadi pada periode 1758-1766 sejumlah 54,7 kg, dan rentang 1771-1778 sejumlah 42,4 kg.

Pada periode 1784- 1789 VOC hanya mampu memasok emas sejumlah 12,7 kg, dan pada 1780 terjadi penurunan ekspor emas.

“Pasang surut pasokan emas dari Gorontalo kepada VOC kemungkinan juga dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan gelap atau penyelundupan yang dilakukan oleh golongan bangsawan atau raja dengan bajak laut di wilayah tersebut,” kata Retno Sekarningrum.

Para bangsawan atau raja Gorontalo bertransaksi dengan emas untuk membayar barang dagangan yang dibeli dari para bajak laut sehingga pasokan emas kepada VOC semakin menipis.

Di dalam faktur barang Residen Gorontalo pada 1800 tercatat aktivitas pemasukan emas dan perak yang diangkut ke Manado dengan kapal kora-kora.

Pada awal abad 19 hubungan Gorontalo dengan Pemerintah Hindia Belanda memasuki babak baru.

Pemerintah kolonial Belanda akhirnya mampu mengeksploitasi dan memonopoli tanpa mendapat rintangan yang berarti dari gerakan perlawanan daerah.

Pada 31 Desember 1819 pemerintah kolonial Hindia Belanda menekan Raja Gorontalo Muhijuddin Muhammad Jair Iskandar Monoarfa dalam perjanjian yang mewajibkan penyerahan emas dan kopi.

Emas diselundupkan ke Singapura Retno Sekarningrum mengungkapkan setelah itu perjanjian baru dengan Raja Mohammad Iskandar Pui Monoarfa kembali diajukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 9 Januari 1828.

Dalam salah satu perjanjian tersebut pendudukan dan raja Gorontalo diwajibkan menyerahkan 700 real emas.

Pemerintah Belanda juga melakukan pendataan lokasi penambangan emas di Gorontalo antara lain di Atinggola, Boalemo, Bone, Bolango, Limboto, dan Sumalata yang mulai melakukan aktivitas penambangan emas pada 1831.

“Banyaknya aturan penambangan dan perdagangan emas mendorong munculnya penyelundupan komoditas ini ke Singapura terjadi pada 1846. Jumlah emas yang diselundupkan tersebut ditaksir sebanyak empat kali lipat lebih besar dari emas yang dikirim ke Belanda,” kata Retno Sekarningrum.

Dia juga menjelaskan orang-orang Bugis dari Bone juga banyak membuka tambang emas di Gorontalo secara berkelompok.

Mereka harus mendapat izin penambangan terlebih dahulu dari Raja Gorontalo dan kemudian diwajibkan membayar biaya izin sebesar 30-35 Gulden setiap kali melakukan penambangan.

Hasil pajak tambang harus disetor kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Ditemukannya daerah-daerah pertambangan baru juga menyebabkan meningkatnya jumlah perusahaan tambang yang ingin menanamkan investasinya di Gorontalo.

Selama April hingga September 1897 tercatat ada 39 perusahaan yang tersebar di Kota Gorontalo, Batudaa, Kabila, Bone, Boalemo, Paguat, Tibawa, Paguyaman, dan Kwandang.

Produksi pertambangan di Sumalata pada 1907 sebelum dibuka izin penambangannya sudah mencapai hampir 3 ton perak dan 0,5 ton emas.

Begitulah pesona emas yang ada di Gorontalo yang sudah jadi incarana sejak Belanda datang ke Indonesia.

Artikel Terkait