Intisari-Online.com -Bali dikenal sebagai pulau dewata yang memiliki keindahan alam dan kekayaan budaya.
Namun, tahukah Anda bahwa ada suku di Bali yang memiliki kebudayaan yang berbeda dalam merawat jenazah?
Suku ini adalah Suku Bali Aga, yang hidup terisolasi di daerah pegunungan.
Mereka tidak melakukan ritual ngaben atau kubur api seperti kebanyakan orang Bali, melainkan kubur angin.
Apa itu kubur angin? Bagaimana prosesnya? Dan mengapa mereka memilih cara ini? Mari kita jelajahi bersama dalam artikel ini.
Agama dan Keyakinan Suku Bali
Agama Hindu merupakan ajaran yang melekat pada suku Bali. Sebagian besar orang Bali memeluk agama Hindu.
Menurut "Bali Aga dalam Perubahan Sosial Budaya" karya I Ketut Tanu, seperti dilansir dariKompas.com, penyebaran Agama Hindu di Bali berlangsung tidak merata.
Hal ini menyebabkan adanya kategorisasi masyarakat berdasarkan tingkat pengaruh Hindu yang diperoleh.
"Kelompok masyarakat ada yang sangat terpengaruh oleh Hindu, ada juga yang hanya sedikit terpengaruh oleh Hindu," ungkap Tanu dalam jurnalnya.
Kerajaan Majapahit turut andil dalam keanekaragaman di Bali. Majapahit membawa pengaruh Hindu Jawa ke Bali.
Baca Juga: Dua Contoh Konflik Peran yang Mungkin Dapat Terjadi di Sekitar Kita
Pemakaman Desa Trunyan
Desa Trunyan yang terletak di Kecamatan Kintamani sudah terkenal di kalangan wisatawan.
Cara pemakaman yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Trunyan menarik perhatian banyak orang, khususnya peneliti budaya.
Dikutip dari "Analisis Tradisi Pemakaman Trunyan Berdasarkan Perspektif Sosial Budaya dan Hukum Terkain Hak Asasi Manusia pada Masa COVID-19" karya Putri (dkk), pemakaman adat Desa Trunyan tidak sama dengan pemakaman di Bali pada umumnya.
Kebanyakan orang Bali melakukan ritual ngaben atau kubur api sesuai dengan pengaruh ajaran Hindu.
Ritual ini dinamakan kubur api karena melibatkan pembakaran jenazah.
"Berlainan dengan kubur api, pemakaman mepasah di Desa Trunyan juga dikenal dengan kubur angin," tulis Putri (dkk).
Proses pemakaman mepasah dimulai dengan membersihkan jenazah menggunakan air hujan.
Kemudian jenazah dibalut dengan kain putih.
Jasad itu lalu dimasukkan ke dalam anyaman bambu dan diletakkan begitu saja di bawah pohon Taru Menyan.
Walaupun diletakkan tanpa dikubur, bau tidak enak yang biasanya keluar dari jenazah tidak pernah tercium.
Baca Juga: Penjelasan Faktor yang Memengaruhi Produksi, Lengkap dengan Dampaknya
Bau busuk dari jenazah dikabarkan dapat dinetralisir oleh pohon taru menyan.
Pemakaman mepasah ini diyakini sudah menjadi tradisi sejak zaman kerajaan.
Konon, raja yang memerintah Desa Trunyan dulu menyuruh warganya untuk menutupi bau harum pohon Taru Menyan dengan jenazah-jenazah.
Bau tidak enak dari jenazah yang membusuk membuat keharuman Taru Menyan berhasil ditutupi.
Namun bau busuk pun tidak tercium karena terserap ke dalam pohon.
Perbedaan Kebudayaan Suku Bali Aga
Kebudayaan Suku Bali Aga diketahui sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat Bali pada umumnya.
Melansir Bobo.ID, hal ini disebabkan oleh pengaruh Jawa Hindu yang sangat minim pada Suku Bali Aga karena invasi kerajaan Majapahit ke Bali.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah isolasi geografis. Pasalnya, Suku Bali Aga ini lebih suka hidup di daerah pegunungan.
Suku Bali Aga yang bermukim di Desa Trunyan dan di Desa Tenganan bahkan memiliki bahasa Bali yang tidak sama.
Hidup di tempat yang terisolasi ini membuat Suku Bali Aga dapat mempertahankan budaya mereka dan tidak terpengaruh budaya asing.
Untuk melestarikan budaya mereka, masyarakat Suku Bali Aga melarang adanya perkawinan dengan orang luar desa.
Demikianlah ulasan tentang suku di Bali yang memiliki kebudayaan yang berbeda dalam merawat jenazah.
Semoga artikel ini dapat memberikan Anda wawasan dan pengetahuan baru tentang budaya Indonesia.
Baca Juga: Di Antara Metode Penyebaran Islam di Nusantara, Manakah yang Paling Memengaruhi Penyebaran Islam?