Kerajaan Banten, Dari Pecahan Kerajaan Sunda Hingga Jatuh ke Tangan Belanda

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Temukan 8 peninggalan Kerajaan Banten yang masih bisa dikunjungi hingga sekarang. Salah satunya adalah benteng yang menjadi simbol pengkhianatan.
Temukan 8 peninggalan Kerajaan Banten yang masih bisa dikunjungi hingga sekarang. Salah satunya adalah benteng yang menjadi simbol pengkhianatan.

Intisari-online.com - Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang berdiri di wilayah barat Pulau Jawa sejak abad ke-16 hingga abad ke-19.

Kerajaan ini merupakan pecahan dari Kerajaan Sunda yang menganut agama Hindu-Buddha.

Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, yang berhasil memperluas wilayah, meningkatkan perdagangan, dan melawan penjajahan Belanda.

Namun, kerajaan ini juga mengalami kemunduran dan kehancuran akibat konflik internal dan serangan-serangan Belanda yang terus menerus.

Sejarah berdirinya Kerajaan Banten tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kerajaan Sunda.

Kerajaan Sunda adalah kerajaan Hindu-Buddha yang berpusat di Pakuan Pajajaran (sekarang Bogor).

Kerajaan ini memiliki hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan Asia Tenggara, serta dengan negara-negara Eropa, seperti Portugis dan Spanyol.

Kerajaan ini juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) dan Banten.

Pada tahun 1526, Kerajaan Sunda diserang oleh Kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa.

Kerajaan Demak dipimpin oleh Sultan Trenggana, yang ingin menyebarluaskan agama Islam di Jawa.

Kerajaan Sunda kalah dalam pertempuran dan terpaksa menyerahkan Sunda Kelapa kepada Kerajaan Demak.

Namun, Kerajaan Sunda masih bisa mempertahankan Banten, yang kemudian menjadi basis untuk melawan Kerajaan Demak.

Pada tahun 1527, Kerajaan Sunda mendapat bantuan dari Portugis, yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara.

Baca Juga: Ini Alasan Sriwijaya Disebut Sebagai Kedatuan Bukan Kerajaan

Portugis membantu Kerajaan Sunda merebut kembali Sunda Kelapa dari Kerajaan Demak.

Namun, Portugis juga memiliki niat jahat untuk menjajah Kerajaan Sunda.

Mereka membangun benteng dan gereja di Sunda Kelapa, serta mencoba mengkristenkan penduduk setempat.

Hal ini membuat Kerajaan Sunda marah dan bersekutu dengan Kerajaan Cirebon, yang juga merupakan kerajaan Islam yang berasal dari Kerajaan Demak.

Kerajaan Sunda dan Kerajaan Cirebon bersama-sama menyerang Portugis di Sunda Kelapa pada tahun 1529.

Pertempuran ini dimenangkan oleh Kerajaan Sunda dan Kerajaan Cirebon, yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.

Namun, dalam pertempuran ini, raja Kerajaan Sunda, Prabu Surawisesa, tewas.

Setelah kematian Prabu Surawisesa, Kerajaan Sunda mengalami krisis kepemimpinan.

Putra mahkota Kerajaan Sunda, Prabu Jayadewata, tidak diakui oleh para bangsawan dan rakyat.

Hal ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Cirebon, yang ingin mengambil alih wilayah Kerajaan Sunda.

Kerajaan Cirebon mengirimkan utusannya, Fatahillah, untuk menaklukkan Banten.

Baca Juga: Kesultanan Kotawaringin, Kerajaan Islam yang Berawal dari Pemberontakan

Fatahillah berhasil menaklukkan Banten pada tahun 1532. Ia kemudian mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kota kemenangan.

Fatahillah juga membangun masjid dan menetapkan syariat Islam di Banten dan Jayakarta.

Fatahillah kemudian menikahi putri Prabu Jayadewata, Ratu Ayu, yang juga menganut agama Islam.

Dari pernikahan ini, lahir seorang putra yang bernama Hasanuddin.

Hasanuddin kemudian menjadi raja pertama Kerajaan Banten pada tahun 1552, dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin. Ia juga mendirikan ibu kota kerajaan di Banten.

Masa Kejayaan Kerajaan Banten

Kerajaan Banten berkembang pesat di bawah pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin.

Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan hingga ke Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Ia juga menjalin hubungan dagang dengan berbagai negara, seperti Inggris, Perancis, Turki, Arab, Cina, dan Jepang. Ia juga membangun infrastruktur, seperti pelabuhan, jalan, irigasi, dan benteng.

Sultan Maulana Hasanuddin meninggal pada tahun 1570, dan digantikan oleh putranya, Sultan Maulana Yusuf.

Sultan Maulana Yusuf melanjutkan kebijakan ayahnya dalam memperkuat kerajaan.

Ia juga menghadapi ancaman dari Kerajaan Mataram, yang dipimpin oleh Sultan Agung. Kerajaan Mataram ingin menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaannya.

Baca Juga: Mengenal Kerajaan Selimbau, Kerajaan Hindu Tertua di Kalimantan Barat yang Berubah Menjadi Kerajaan Islam

Sultan Maulana Yusuf berhasil menahan serangan-serangan Kerajaan Mataram, dengan bantuan dari sekutu-sekutunya, seperti Kerajaan Cirebon, Kerajaan Sumedang, dan Kerajaan Galuh.

Sultan Maulana Yusuf meninggal pada tahun 1580, dan digantikan oleh putranya, Sultan Maulana Muhammad.

Sultan Maulana Muhammad meneruskan perjuangan ayahnya dalam melawan Kerajaan Mataram.

Ia juga mengembangkan perdagangan dan budaya kerajaan. Ia membangun masjid-masjid, sekolah-sekolah, dan perpustakaan-perpustakaan.

Kemudian juga mengundang ulama-ulama dan sastrawan-sastrawan dari berbagai daerah untuk berkarya di kerajaan. Ia juga dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana.

Sultan Maulana Muhammad meninggal pada tahun 1596, dan digantikan oleh putranya, Sultan Abulmafakhir.

Sultan Abulmafakhir adalah raja yang lemah dan tidak berwibawa. Ia sering berselisih dengan para bangsawan dan rakyat.

Ia juga tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi kerajaan, seperti kemiskinan, kelaparan, dan wabah penyakit. Ia juga tidak peduli dengan ancaman dari luar, seperti Belanda, yang mulai masuk ke Nusantara.

Belanda adalah negara Eropa yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara.

Belanda mendirikan perusahaan dagang yang bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1602.

VOC memiliki hak monopoli untuk berdagang di Nusantara, dan juga memiliki kekuatan militer yang besar.

VOC ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya, seperti Portugis, Inggris, dan Perancis, serta menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis, seperti Banten dan Jayakarta.

Pada tahun 1619, VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kerajaan Banten, dengan bantuan dari Kerajaan Mataram.

VOC kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia, yang menjadi pusat kekuasaan VOC di Nusantara.

VOC juga membangun benteng-benteng dan kantor-kantor di Batavia, serta mengusir penduduk asli yang tidak mau tunduk kepada VOC.

Sultan Abulmafakhir meninggal pada tahun 1623, dan digantikan oleh putranya, Sultan Ageng Tirtayasa.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah raja yang berani dan visioner. Ia ingin membebaskan kerajaan dari pengaruh VOC, dan mengembalikan kejayaan kerajaan.

Kemudian juga ingin menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara untuk melawan VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa melakukan berbagai upaya untuk mencapai tujuannya.

Ia memindahkan ibu kota kerajaan dari Banten ke Old Banten, yang lebih jauh dari Batavia.

Beliau juga memperkuat pertahanan kerajaan, dengan membangun benteng-benteng, meriam-meriam, dan kapal-kapal perang.

Artikel Terkait