Intisari-Online.com -Apakah Anda pernah mendengar nama Kampung Pecah Kulit?
Tahukah Anda mengapa tempat itu dinamakan demikian?
Jawabannya berkaitan dengan peristiwa Pieter Erberveld, sebuah kisah makar dan hukuman mati yang terjadi pada masa kolonial Belanda.
Siapa sebenarnya Pieter Erberveld dan apa yang dia lakukan?
agaimana cara Belanda menghukumnya dan apa dampaknya bagi sejarah Indonesia?
Simak ulasan kami tentang peristiwa Pieter Erberveld, yang menjadi asal-usul Kampung Pecah Kulit.
Peristiwa Pieter Erberveld
Pada masa kolonialisme, kota tua Jakarta merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Di tempat yang dulu dikenal sebagai Batavia Lama, tersimpan sebuah kisah tragis tentang tuduhan makar dan hukuman mati yang sangat kejam yang dilakukan oleh penguasa kolonial.
Korban dari kisah ini adalah Pieter Erberveld, seorang keturunan Jerman yang tinggal di Indonesia.
Baca Juga: Contoh Peristiwa Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Kejayaan
Menurut catatan sejarah, seperti dilansir dariKompas.TV, antara tahun 1790-1808, ada sekitar 2.000 tentara Jerman yang bertugas di Indonesia sebagai Resimen Wuttemburg, yang disewa oleh VOC untuk melawan Inggris.
Pieter dituduh merencanakan pemberontakan terhadap Belanda pada tanggal 1 Januari 1722.
Dia bermaksud membunuh orang-orang Belanda dalam sebuah pesta tahun baru. Namun, tuduhan ini tidak pernah dibuktikan di pengadilan.
Belanda mengklaim bahwa Pieter telah menghasut sejumlah warga pribumi untuk bergabung dengan pemberontakannya.
Di antara mereka, ada tiga orang Jawa dan seorang dari Sumbawa. Salah satu orang Jawa itu adalah Kartadriya, yang memiliki gelar Raden.
Pieter sempat sulit ditangkap, namun akhirnya Belanda berhasil menangkapnya bersama dengan warga pribumi yang lain.
Mereka kemudian dijatuhi hukuman mati yang mengerikan.
Cara yang digunakan untuk menghukum Pieter adalah dengan menarik tubuhnya oleh empat ekor kuda ke arah yang berbeda, sesuai dengan posisi kaki dan tangannya. Tubuhnya pun langsung hancur.
Belum puas dengan itu, Belanda juga memenggal kepalanya dan memasangnya di sebuah monumen di Kampung Pecah Kulit, dekat dengan Stasiun Jakarta Kota saat ini.
Di monumen itu, tertulis sebuah kalimat berbahasa Belanda yang berarti:
"Sebagai kenang-kenang yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat: Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapa pun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakkan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya: Batavia, 14 April 1722."
Baca Juga: Penjelasan Peristiwa Rengasdengklok Secara Singkat, Dipicu Perbedaan
Monumen Dipindah
Sayangnya, monumen asli itu dihancurkan oleh penguasa Jepang saat mereka menduduki Indonesia pada tahun 1942-1945.
Melansir Kompas.com, beberapa batu aslinya kemudian dipindahkan ke halaman belakang Museum Sejarah Jakarta.
Pada tahun 1970, di tempat yang sama dibangun sebuah replika monumen.
Namun, replika ini juga tidak bertahan lama karena pada tahun 1985 diganti dengan showroom mobil.
Monumen yang sebelumnya ada di sana kemudian dipindahkan lagi oleh Pemprov DKI Jakarta ke Museum Taman Prasasti di kawasan Tanahabang.
Hingga kini, masih diperdebatkan apakah Pieter benar-benar bersalah atau hanya menjadi korban dari pengadilan yang penuh kebohongan.
Bahkan, ada yang aneh dari monumen itu, yaitu tanggalnya yang tidak sesuai dengan tanggal kematian Pieter.
Di monumen tertulis ’14 April 1722’ tetapi dia dihukum mati pada ’22 April 1722’.
Di Jalan Pangeran Jayakarta, setelah jalan kereta api dari arah Gereja Sion ke Gunung Sahari, terdapat sebuah bangunan yang mirip dengan langgar.
Tempat ini diduga adalah makam dari Raden Kartadria.
Demikian penjelasan tentang peristiwa Pieter Erberveld, salah satu contoh dari kekejaman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Baca Juga: Mengapa Tidak Semua Peristiwa Masa Lalu dapat Disebut Sebagai Peristiwa Sejarah?