Mengenal Tradisi Pela Gandong Di Maluku Dan Perdamaian Konflik Ambon

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tradisi pela gandong khas Maluku berhasil menyatukan masyarakat dari Konflik Ambon yang berdarah-darah tahun 1999.
Tradisi pela gandong khas Maluku berhasil menyatukan masyarakat dari Konflik Ambon yang berdarah-darah tahun 1999.

Intisari-Online.com -Pada masanya, Ambon adalah wilayah yang berdarah dan penuh konflik.

Tapi konflik itu akhirnya berujung damai, alhamdulillah, dan salah satu media yang menyatukan warga Ambon adalah tradisi pela gandong.

Memangnya apa itu tradisi pela gandong?

Tradisi pela gandong adalah tradisi khas Maluku, khususnya Maluku Tengah.

Pela, menurut masyarakat Ambon, diartikan sebagai suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain di pulau lain dan terkadang agama yang berbeda.

Sementara gandong adalah adik.

Bisa dibilang, pela gandong adalah semacam nota kesepakatan damai antardua entitas.

Saat upacara, campuran soppidan darah dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pemimpin setelah senjata dan alat-alat tajam lain dicelupkan.

Seperti disebut di awal, pela gandong telah mendamaikan Ambon yang berdarah-darah di pengujung 1990-an.

Pada 19 Januari 1999, konflik Ambon meletus.

Bagi siapa pun, konflik itu menyisakan luka yang mendalam berikut pelajaran berharga juga pendidikan perdamaian.

Praktisi pendidikan keragaman, Muhammad Mukhlisin, dilansir Kompas.TV menilai, sebagai bangsa majemuk, masyarakat perlu belajar dari konflik Ambon.

Menurut Mukhlisin, konflik dan perdamaian seperti dua keping mata uang.

Perlu belajar dari konflik agar tidak terulang dan perlunya belajar konsep tentang perdamaian.

Hal itu diungkapan Mukhlisin dalam diskusi Guru Bacarita: Narasi Damai dari Maluku untuk Indonesia yang digelar Rabu (19/1/2022).

"Sejak 2017-2018 kami mengumpulkan narasi para guru. Banyak praktik baik pendidikan perdamaian dan resolusi konflik yang kami temukan, seperti kearifan lokal pela gandong yang diimplementasikan di sekolah-sekolah menjadi pela Pendidikan,” paparan Mukhlisin dalam rilis yang diterima KOMPAS TV pada Januari 2022 lalu.

Pela pendidikan adalah kearifkan lokal masyarakat Ambon terkait Pendidikan.

Menurut manajer Yayasan Cahaya Guru tersebut, pela gandong menganggap antara satu sekolah dan sekolah yang lain sebagai saudara.

“Meski konflik selesai, tapi ada segregasi dalam masyarakat, yang Kristen ya Kristen begitu halnya muslim. Begitupun sekalohan. Ada 100 persen kristen, ada juga muslim,” papar dia.

Pela pendidikan ini, menurut Mukhlisin, ada di sekolah muslim dan kristen, mereka jadi satu saudara.

“Contoh tradisi ini adalah SMP Negeri 4 dengan SMP negeri 9 Ambon, keduanya basudara.”

Tradisi Lokal sebagai Persaudaraan Warga Ambon

Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon, Ferdinand Tasso menyatakan, pentingnya menggali dan menerapkan kearifan lokal dalam kurikulum pembelajaran.

Dia juga menekankan lembaga pendidikan menjadi garda terdepan menanamkan nilai adil, tidak diskriminatif dan tidak eksklusif.

“Hal ini sudah diimplementasikan dengan pelatihan penyusunan kurikulum sejak 17-23 Desember 2021 lalu bagi kepala sekolah dan guru pengampu muatan lokal” tegas Ferdinand Tasso.

Ia juga berharap, nilai harmonis dan penghargaan nilai kemanusiaan ini terus terjaga, terawat sepanjang masa.

Inspektur Jenderal Kemendikbudristek RI, Chatarina M Girsang menyatakan buku seperti ini menjadi penyejuk didunia pendidikan. Menyatukan prinsip keragaman, kearifan lokal dan dunia pendidikan.

“Saya mengapresiasi para guru yang telah menerapkan kurikulum orang basudara dan kearifan lokal untuk memastikan isu-isu perdamaian ini bisa masuk pelajaran,” tambahnya.

Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu menegaskan cerita para guru maluku ini merupakan catatan sejarah pendidikan perdamaian di Indonesia yang harus kita ceritakan terus menerus.

“Setiap daerah memiliki kearifan lokal sendiri, dan keragaman menjadi bagian dari kearifan lokal itu. Tugas kita bukan hanya mewartakan cerita damai dari Maluku tapi juga mewartakan keragaman dalam kearifan lokal sendiri dan menggunakannya untuk pendidikan perdamaian di lingkungan masing-masing,” paparnya.

Artikel Terkait