Mengungkap Fakta di Balik Pamflet Hawthorn, Propaganda Belanda Untuk Melucuti Senjata Jepang di Indonesia

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Kedatangan NICA ke Indonesia usai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kedatangan NICA ke Indonesia usai proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Intisari-online.com - Sebuah pesawat militer dari Jakarta terbang di langit Surabaya dan menebarkan ribuan lembar pamflet yang berisi perintah keras dari Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn, Panglima Pasukan Inggris Divisi 23.

Pamflet tersebut memerintahkan para pejuang Surabaya untuk menyerahkan senjata mereka kepada pasukan Sekutu dalam waktu 24 jam atau menghadapi hukuman mati.

Pamflet tersebut juga mengklaim bahwa pasukan Sekutu adalah sahabat dan pelindung rakyat Indonesia, dan bahwa mereka tidak akan mengganggu kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta pada 17 Agustus 1945.

Pamflet Hawthorn, demikian pamflet tersebut disebut, merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya pertempuran sengit antara pasukan Sekutu dan para pejuang Surabaya pada 10 November 1945, yang dikenal sebagai Peristiwa 10 November atau Pertempuran Surabaya.

Pertempuran ini merupakan pertempuran terbesar dan terheroik dalam sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia, yang menunjukkan kepada dunia bahwa rakyat Indonesia tidak akan menyerah begitu saja kepada penjajah.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik pamflet Hawthorn?

Pamflet Hawthorn ditebar oleh pasukan Sekutu yang berada di bawah komando AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), sebuah organisasi militer yang dibentuk oleh Sekutu untuk mengurus urusan di Indonesia setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945.

AFNEI terdiri dari tiga divisi militer, yaitu Divisi 5 pimpinan Mayor Jenderal E.C. Mansergh, Divisi 23 pimpinan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, dan Divisi 26 pimpinan Mayor Jenderal C.E.N. Lomax.

Salah satu tugas utama dari AFNEI adalah melucuti senjata tentara Jepang yang masih berada di Indonesia, dan mengembalikan kekuasaan sipil kepada pemerintah Belanda, yang merupakan sekutu dari Inggris.

Namun, tugas ini tidak mudah dilakukan, karena rakyat Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan mereka pada 17 Agustus 1945, dan menolak untuk kembali dijajah oleh Belanda.

Rakyat Indonesia juga telah membentuk pemerintahan sendiri, yaitu Republik Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta.

Baca Juga: Surabaya Membara, Kisah Para Pejuang yang Siap Menghadapi Pasukan Sekutu

Pasukan Sekutu yang datang ke Indonesia pun mendapat perlawanan keras dari para pejuang Indonesia, yang tidak mau menyerahkan senjata mereka kepada pasukan Sekutu.

Para pejuang Indonesia juga tidak percaya bahwa pasukan Sekutu adalah sahabat dan pelindung mereka, karena mereka melihat bahwa pasukan Sekutu bersekongkol dengan Belanda dan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration), sebuah badan sipil yang dibentuk oleh Belanda untuk mengurus urusan di Indonesia.

Pasukan Sekutu juga sering kali menghina dan menganiaya rakyat Indonesia, baik secara fisik maupun verbal.

Salah satu kota yang menjadi pusat perlawanan rakyat Indonesia adalah Surabaya, yang dijuluki sebagai kota pahlawan.

Surabaya memiliki jumlah pejuang dan senjata yang besar, dan memiliki semangat juang yang tinggi.

Surabaya juga menjadi tempat berlangsungnya beberapa insiden penting, seperti perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945, dan pembunuhan Brigadir Mallaby pada 30 Oktober 1945.

Pasukan Sekutu yang berada di Surabaya adalah Brigade India Inggris ke-49, yang dipimpin oleh Brigadir A.W.S. Mallaby.

Brigade ini merupakan bagian dari Divisi 23 pimpinan Mayor Jenderal Hawthorn.

Brigade ini mendarat di Tanjung Perak, Surabaya, pada 25 Oktober 1945, dengan membawa sekitar 4.000 tentara dan banyak perangkat perang.

Brigade ini kemudian membangun pos pertahanan di Benteng Miring, dan merangsek jauh hingga Wonokromo, di mana mereka mendirikan sarang senapan mesin.

Pada 26 Oktober 1945, Brigadir Mallaby sempat berunding dengan Gubernur Soerjo dan beberapa pemuda Surabaya, dan mencapai kesepakatan bahwa pasukan Sekutu hanya akan melucuti senjata Jepang dan setelah itu segera keluar dari Surabaya lewat laut.

Baca Juga: Sejarah Singkat Hari Pahlawan 10 November, Kisah Peristiwa Heroik

Namun, kesepakatan ini tidak berlangsung lama, karena pada 27 Oktober 1945, pamflet Hawthorn ditebar oleh pesawat militer dari Jakarta.

Pamflet Hawthorn memiliki tujuan dan motif yang jelas, yaitu untuk mengintimidasi, mengadu domba, dan memecah belah rakyat Indonesia, khususnya para pejuang Surabaya.

Pamflet ini juga merupakan bagian dari strategi pasukan Sekutu untuk menguasai Surabaya, yang dianggap sebagai kota yang strategis dan penting bagi kemerdekaan Indonesia.

Pamflet ini mengandung beberapa kebohongan dan manipulasi, seperti:

- Mengklaim bahwa pasukan Sekutu adalah sahabat dan pelindung rakyat Indonesia, padahal mereka bersekutu dengan Belanda dan NICA, yang ingin menjajah kembali Indonesia.

- Mengklaim bahwa pasukan Sekutu tidak akan mengganggu kemerdekaan Indonesia, padahal mereka tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan berusaha mengembalikan kekuasaan sipil kepada pemerintah Belanda.

- Mengklaim bahwa pasukan Sekutu hanya ingin melucuti senjata Jepang, padahal mereka juga ingin melucuti senjata para pejuang Indonesia, dan mengambil alih kota Surabaya.

- Mengklaim bahwa pasukan Sekutu akan memberikan perlindungan dan bantuan kepada rakyat Indonesia, padahal mereka sering kali menghina dan menganiaya rakyat Indonesia, baik secara fisik maupun verbal.

- Mengklaim bahwa pasukan Sekutu akan menghormati agama dan adat istiadat rakyat Indonesia, padahal mereka tidak menghormati bendera merah putih, yang merupakan simbol kemerdekaan dan kebanggaan rakyat Indonesia.

- Mengklaim bahwa pasukan Sekutu akan menghukum mati siapa saja yang menyerang atau membunuh pasukan Sekutu, padahal mereka sendiri sering kali menyerang dan membunuh para pejuang Indonesia, tanpa menghiraukan hak asasi manusia.

Pamflet Hawthorn tidak berhasil mencapai tujuan dan motifnya, yaitu untuk mengintimidasi, mengadu domba, dan memecah belah rakyat Indonesia, khususnya para pejuang Surabaya.

Justru sebaliknya, pamflet ini menimbulkan dampak dan reaksi yang berlawanan, yaitu:

- Meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan para pejuang Surabaya, yang tidak mau menyerahkan senjata mereka kepada pasukan Sekutu.

Para pejuang Surabaya juga tidak percaya dengan isi pamflet tersebut, dan menganggapnya sebagai propaganda dan provokasi dari pasukan Sekutu.

- Meningkatkan semangat juang dan solidaritas para pejuang Surabaya, yang bersatu padu untuk mempertahankan kota mereka dari serangan pasukan Sekutu.

Para pejuang Surabaya juga mendapat dukungan dari rakyat Surabaya, yang membantu mereka dengan memberikan informasi, makanan, minuman, obat-obatan.

Artikel Terkait