Intisari-Online.com - SVLK, sistem verifikasi legalitas kayu, merupakan sistem yang pada intinya memberikan sertifikat legal kepada kayu yang akan diolah. Sistem ini diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan pembalakan liar (illegal logging), selain untuk meningkatkan daya saing produk berbasiskan kayu di pasar global. Jangka panjang akan tercipta pengelolaan hutan lestari dan produk olahan kayu yang bersertifikat.
Saat memberikan sambutan pada acara uji pengapalan ekspor produk kayu bersertifikat ke Uni Eropa, Bayu Krishnamurthi, wakil menteri perdagangan, mengingatkan bahwa kayu-kayu yang ada di hutan itu adalah milik kita. "Kita marah kalau kayu itu dicuri," katanya berapi-api merujuk ke maraknya pembalakan liar yang artinya pencurian kayu. Oleh sebab itu, Bayu menegaskan bahwa SVLK ini bukan karena tekanan dari Uni Eropa.
"Nilai ekspor kayu Indonesia setiap tahun berkisar di angka 10 miliar dolar Amerika. Eropa hanya menyumbang sekitar 10 persen saja," kata Bayu sambil menambahkan bahwa Jawa Tengah menyumbang sekitar AS$400 juta dari nilai ekspor tadi.
Kewajiban untuk melampirkan sertifikat legal itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 64/2012 yang baru ditandatangani pada tanggal 22 Oktober 2012. Peraturan itu menyebutkan bahwa dari sekitar 40 pos tarif produk berbasis kayu, 26 diantaranya wajib mendapatkan sertifikasi per 1 Januari 2013. Sisanya, sekitar 14 pos tarif wajib memiliki sertifikasi per 1 Januari 2014.
Mengapa dibedakan? Karena ke-14 pos tarif itu menyangkut ke industri rumahan, UKM, kerajinan rakyat. "Misalnya kerajinan pembuatan gantungan kunci. Itu kami lihat belum mampu untuk segera menerapkan SVLK ini. Jadi kami beri waktu setahun untuk mengurus sertifikasi. Sedangkan yang 26 itu adalah produk-produk dari perusahaan besar seperti PT Kayu Lapis ini yang tentu mampu mengurus sertifikat," kata Bayu.
Uji coba pengapalan dilakukan di pabrik PT Kayu Lapis Indonesia (PT KLI) yang berada di Desa Mororejo, Kaliwungu Kendal. PT KLI merupakan satu dari 17 perusahaan perintis yang mengapalkan produk berbasis kayu yang sudah menerapkan SVLK. Uji coba pengapalan dilakukan di empat pelabuhan utama Indonesia, yakni Pelabuhan Belawan (Medan, Sumatra Utara)), Tanjung Priok (DKI Jakarta), Tanjung Mas (Semarang, Jawa Tengah), dan Tanjung Perak (Surabaya, Jawa Timur).
Kayu ilegal tak boleh dijual
SVLK bermula dari pembahasan multi-pihak sejak tahun 2003 yang kemudian melahirkan Permenhut No. P 38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestaru dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan inilah yang kemudian dikenal luas sebagai sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Peraturan ini kemudian disempurnakan melalui Peraturan Menteri Kehutanan P 68/Menhut-II/2011.
SVLK merupakan bentuk tanggung jawab Indonesia dalam menjawab tantangan perdagangan kayu internasional yang memerlukan bukti legalitas seperti Amerika Serikat dengan Amendment Lacey Act, Uni Eropa dengan EU Timber Regulation, Australia dengan Prohibition Bill, dan Jepang dengan Green Konyuhu atau Goho Wood.
Dengan aturan baru ini, Bayu menyatakan bahwa ke depan tidak boleh ada lagi kayu yang dijual di pasaran adalah kayu ilegal. Bagi Indonesia sendiri ini merupakan sebuah prestasi sebab menjadi negara pertama di dunia yang memberlakukan SVLK. "Negara-negara tetangga pada gelisah," katanya tersenyum. Sekadar gambaran, beberapa tahun silam Uni Eropa menolak produk kerajinan berbasis kayu dari Indonesia karena legalitasnya diragukan. Mereka lebih melirik produk dari negara tetangga seperti Malaysia.
Upaya ini memperoleh apresiasi yang tinggi dari Duta Besar Uni Eropa, Julian Wilson. "Indonesia melakukan rebranding dalam perdagangan kayu. Jika program SVLK ini sukses, Uni Eropa berkomitmen untuk membeli produk berbasis kayu dari Indonesia."
Sambil berseloroh Bupati Kendal Widya Kandi Susanti berujar, "From Kendal to global!"