Apa Itu Tradisi Popokan Di Mana Peserta Saling Lempar Lumpur Satu Sama Lain?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Saat masyarakat saling lempar lumpur dalam tradisi popokan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Saat masyarakat saling lempar lumpur dalam tradisi popokan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Saat masyarakat saling lempar lumpur dalam tradisi popokan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Intisari-Online.com -Masyarakat di Kabupaten Semarang harusnya tidak asing dengan tradisi satu ini.

Tapi tidak bagi masyarakat di luar Kabupaten Semarang.

Benar, itu adalah tradisi popokan.

Tradisi popokan merupakantradisi di Desa Sendang, Kelurahan Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Tradisi Popokan atau perang lumpur merupakan wujud rasa syukur khususnya petani Desa Sendang kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang diperoleh.

Tujuan tradisi Popokan adalah memohon keberkahan dan keselamatan bagi masyarakat setempat khususnya pada petani.

Prosesi tradisi popokan terdiri dari bersih sendang, tumpengan, kirab budaya sedekah desa, dan popokan (perang lumpur).

Keberadaan tradisi Popokan terkait dengan mata pencaharian mayorita masyarakat Desa Sendang adalah pertanian, khususnya padi dan palawija.

Di sekitar desa dikelilingi persawahan dan tegalan.

Selain popokan, ada tradisi lain yang ada di Kabupaten Semarang.

Tradisi dugderan

Dugderan adalah tradisi yang dilakukan setiap menjelang datangnya bulan suci Ramadan di Kota Semarang.

Acara Dugderan berlangsung meriah yang dilakukan masyarakat Semarang yang didukung pemerintah setempat.

Tradisi Dugderan merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis masyarakat Semarang, yaitu Jawa, Tionghoa, dan Arab.

Dugderan berasal dari kata dug, yakni bunyi bedug yang ditabuh, dan der yang merupakan bunyi tembakan meriam. Pelaksaan tradisi dilakukan sehari menjelang Ramadan.

Bedug Masjid Besar Kauman dipukul dan disusul dengan penyulutan meriam di halaman pendapa kabupaten di Kanjengan, Semarang.

Dalam tradisi Dugderan terdapat ikon yang berupa "Warak Ngendog" sebagai wujud hewan berkaki empat (kambing) dan kepala mirip naga.

Warak Ngendhog tersebut memperlihatkan perpaduan budaya Arab, Jawa, dan Tionghoa.

Diperkirakan, tradisi Dugderan telah berlangsung sejak 1881 sejak Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat.

Tujuan Dugderan adalah penentuan awal puasa, karena adanya perbedaan pendapat penentuan awal puasa saat itu.

Prosesi Dugderan adalah pasar malam dugderan, ritual pengumuman awal puasa, dan kirab budaya Warak Ngendog.

Rute kirab dari Balai Kota Semarang, Masjid Agung Kota Semarang, dan Masjid Agung Jawa Tengah.

Sesaji Rewanda

Sesaji Rewanda berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yakni sesaji yang berarti persembahan yang berhubungan dengan agama, dan rewanda yang berarti kera.

Untuk itu, Sesaji Rewanda berarti pemberian makanan sebagai persembahan atau penghormatan kepada kera yang menghuni hutan di sekeliling Goa Kreo di Kota Semarang.

Ritual Sesaji Rewanda dilakukan pada 1 Syawal atau hari ketiga hari raya Idul Fitri.

Tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Proses tradisi Sesaji Rewanda dilakukan dengan arak-arakan mengusung empat gunungan buah-buahan dan hasil bumi.

Rute arak-arakan dari Kampung Kandri ke Goa Kreo.

Dalam barisan arak-arak tersebut terdapat empat orang dengan riasan kostum monyet dengan warna merah, putih, kuning, dan hijau.

Barisan kedua berupa replika batang kayu yang konon diambil oleh Sunan Kalijaga.

Tujuan Sesaji Rewanda adalah melestarikan tradisi, wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan keselamatan.

Artikel Terkait