Tradisi bakar batu berasal dari Papua Pegunungan. Tak melulu babi, sekarang sudah divariasikan dengan daging lain tergantung kebutuhan.
Intisari-Online.com -Pernahkah kalian mendengar tradisi bakar batu?
Sebagai informasi, tradisi yang mengusung semangat kebersamaan ini ternyata merupakan tradisi yang cukup penting bagi masyarakat Papua Pegunungan.
Ini adalah ritual memasak bersama-sama warga sekampung dengan tujuan bersyukur, silaturahmi, dan lain sebagainya.
Dulu, tradisi ini digunakan untuk mengumpulkan prajurit sebelum berperang.
Tradisi bakar batu umumnya dilakukan oleh suku pegunungan seperti di Lembah Baliem, Lanny Jaya, Nduga, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Tolikara, Yahukimo, dll.
Disebut bakar batu karena proses memasaknya adalah batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak.
Tradisi bakar batu punya penyebutan yang berbeda-beda di tiap-tiap suku: orang Wamena menyebutnya kit oba isogoa, orang Jayawijaya menyebutnya barapen, lalu orang Paniai menyebutnya gapiia, dan lain sebagainya.
Proesinya sebagai berikut:
1. Batu ditumpuk di atas perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis terbakar dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara).
2. Bersamaan dengan itu, warga yang lain menggali lubang yang cukup dalam.
3. Batu panas tadi dimasukkan ke dasar lubang yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang.
4. Di atas batu panas itu ditumpuk daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging babi (belakangan ada yang menggantinya dengan ayam) yang sudah diiris-iris.
5. Di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan batu panas lagi dan ditutup daun.
6. Di atas daun, ditaruh ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayuran lainnya dan ditutup daun lagi.
7. Di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan terakhir ditutup daun pisang dan alang-alang.
Babi yang akan dimasak tidak langsung disembelih, tapi dipanah terlebih dahulu.
Bila babi langsung mati, maka pertanda acara akan sukses, tapi bila tidak langsung mati, maka pertanda acara tidak bakalan sukses.
Setelah matang, biasanya setelah dimasak selama satu jam, semua anggota suku berkumpul dan membagi makanan untuk dimakan bersama di lapangan tengah kampung, sehingga bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat Papua.
Tradisi bakar batu masih terus dilakukan hingga sekarang, tapi seiring waktu, tradisi ini juga disesuaikan dengan kebutuhan.
Misalnya ketika harus menyambut tamu yang tidak makan babi, dagingnya bisa diganti dengan daging ayam atau yang lain.