Intisari-Online.com -Hotel Yamato, yang kini bernama Hotel Majapahit, adalah saksi bisu dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Di hotel ini, terjadi insiden yang memicu pertempuran sengit antara pejuang Indonesia dan pasukan sekutu.
Insiden itu adalah perobekan bendera Belanda oleh dua pemuda pada peristiwa 19 September 1945.
Bagaimana kronologi dan latar belakang peristiwa tersebut? Siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat? Dan apa dampaknya bagi Pertempuran Surabaya 10 November 1945?
Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang peristiwa 19 September 1945 di Hotel Yamato.
Latar BelakangPeristiwa 19 September 1945
Hotel Yamato menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah yang dipicu oleh aksi Belanda yang dianggap menghina dengan mengibarkan bendera triwarna (merah, putih, biru) di hotel itu.
Hal ini juga berkaitan dengan kegagalan perundingan antara Soedirman (residen Surabaya) dan WVC Ploegman untuk meniadakan bendera Belanda tersebut.
Massa yang berada di sekitar hotel dan merasa kecewa dengan hasil perundingan langsung menerobos masuk ke Hotel Yamato.
Beberapa pemuda berlomba-lomba untuk mencapai atap hotel dan mencopot bendera Belanda.
Baca Juga: Latar Belakang Pertempuran Surabaya, Insiden Hotel Yamato hingga Tewasnya Jenderal Mallaby
Lalu, siapa yang mengoyak bendera Belanda di Hotel Yamato?
Menurut Kompas.com (31/7/2021), Hariyono yang sebelumnya bersama Soedirman, masuk lagi ke dalam hotel dan bersama-sama dengan Kusno Wibowo mendaki tiang bendera.
Mereka kemudian berhasil mencopot bendera Belanda, mengoyak bagian warna birunya, dan mengangkatnya lagi ke atas tiang sehingga menjadi bendera merah putih.
Kronologi Peristiwa 19 September 1945
Setelah Indonesia merdeka, Soekarno mengumumkan maklumat pada 31 Agustus 1945.
Maklumat itu menegaskan bahwa sejak 1 September 1945, bendera nasional Sang Merah Putih harus dikibarkan secara terus-menerus di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, pada 18 September 1945, muncullah di Surabaya para opsir Sekutu dan Belanda dari Allief Forces Netherlands East Indies (AFNEI) bersama-sama Palang Merah Jakarta.
Mereka kemudian menginap di Hotel Yamato, Jalan Tunjungan 65, Surabaya.
Hotel Yamato pun menjadi markas Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran.
Lalu, tanggal 19 September 1945, pukul 21.00, segerombolan orang Belanda yang dipimpin oleh WVC Ploegman mengibarkan bendera Belanda (merah, putih, dan biru).
Tindakan ini dilakukan tanpa izin dari pemerintah daerah Surabaya.
Esok harinya, para pemuda Surabaya menyaksikan bendera itu. Mereka merasa tersinggung, karena mengira Belanda telah menodai kedaulatan Indonesia.
Belanda juga dituduh menghina gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang tengah berlangsung di Surabaya.
Setelah massa berdatangan, Soedirman, Wakil Residen Surabaya, menembus kerumunan massa untuk masuk ke Hotel Yamato.
Sebagai wakil Republik Indonesia, ia berunding dengan Ploegman. Soedirman menuntut agar bendera Belanda secepatnya diturunkan dari Hotel Yamato.
Akan tetapi, tuntutan Soedirman ditolak. Perundingan pun berlangsung dengan alot. Ploegman mengacungkan pistol dan terjadi perkelahian antara mereka.
Ploegman meninggal akibat dicekik oleh Sidik, pengawal Soedirman, yang kemudian juga meninggal oleh tentara Belanda.
Karena situasi di dalam ruang perundingan semakin kacau balau, Soedirman dan Hariyono, pengawal keduanya, melarikan diri ke luar Hotel Yamato.
Massa di luar hotel yang mengetahui situasi perundingan buntu segera mendobrak masuk ke Hotel Yamato.
Sebagian pemuda bersaing naik ke atas hotel untuk mencopot bendera Belanda.
Hariyono yang sebelumnya bersama Soedirman, masuk lagi ke dalam hotel dan bersama-sama dengan Kusno Wibowo memanjat tiang bendera.
Mereka berhasil mencopot bendera Belanda, mengoyak bagian birunya, dan mengangkatnya lagi ke atas tiang.
Baca Juga: Sejarah Peristiwa 10 November Secara Singkat, dari Latar Belakang hingga Dampak
Sesaat setelah bendera kembali terkibar, massa di bawah hotel dengan serempak dan nyaring meneriakkan "Merdeka!" berulang kali.
Picu Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Setelah kejadian di Hotel Yamato itu, pada tanggal 27 Oktober 1945 terjadilah pertempuran pertama Indonesia melawan tentara AFNEI.
Serangan-serangan kecil itu lama-kelamaan berubah menjadi agresi besar yang menelan banyak korban, baik warga sipil dan militer di pihak Indonesia dan Inggris.
Akhirnya, Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk menenangkan situasi dan mengadakan gencatan senjata.
Gencatan senjata itu gagal dan diperparah dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, yang kemudian berakibat pada dikeluarkannya ultimatum 10 November oleh pihak Inggris.
Dengan tewasnya Mallaby, pasukan sekutu menyerang Kota Surabaya dan pejuang Undinesua tidak mundur.
Hal itu menjadi klimaks pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Pejuang Indonesia tidak hanya senjata tajam, tetapi juga bambu runcing.
Dari peristiwa itu, banyak pejuang Indonesia yang gugur mencapai 20.000 orang. Sementara pihak sekutu 1.500 orang.
Pertempuran itu berlangsung selama tiga minggu, dan berakhir pada 28 November 1945. Korban meninggal mencapai ribuan dan banyak penduduk yang mengungsi.
Untuk mengenang perjuangan para pahlawan, Presiden Sukarno, melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Peristiwa 19 September 1945 di Hotel Yamato adalah salah satu babak penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini menunjukkan semangat juang dan patriotisme para pemuda yang rela berkorban demi bendera merah putih.
Baca Juga: Mengapa dan Bagaimana Pertempuran 10 November 1945 Berlangsung?