Masa Tuanya Terlunta-lunta, Wanita Keturunan Tionghoa Ini Ternyata Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

The Sin Nio (dalam foto) adalah wanita keturunan Tionghoa yang menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia. Masa tuanya terlunta-lunta.
The Sin Nio (dalam foto) adalah wanita keturunan Tionghoa yang menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia. Masa tuanya terlunta-lunta.

The Sin Nio (dalam foto) adalah wanita keturunan Tionghoa yang menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia. Masa tuanya terlunta-lunta.

Intisari-Online.com -Masa tua Mochammad Moeksin alias The Sin Nio begitu getir.

Padahal, tak banyak yang tahu bila wanita keturunan Tionghoa asal Wonosobo, Jawa Tengah, itu adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Saat Belanda datang kembali, Sin Nio ikut bergerilya bersenjatakan parang dan bambu runjing.

Salah satu kisah masa tua Sin Nio paling getir adalah dia pernah menjadi gelandangan di Jakarta.

Bisa dibilang, dia tak punya tempat tinggal yang jelas, sebelum akhirnyamenempati gubuk liar di bantaran rel kereta.

Belakangan ini, Komnas Perempuan mewacanakan Sin Nio menjadi seorang pahlawan nasional.

Keturunan Sin Nio menyebutnya "nenek sangat mencintai negara ini" dan status pahlawan atau pejuang kemerdekaan Indonesia "sudah tidak penting lagi".

Menurut pemerhati budaya Tionghoa, kisah-kisah seperti ini perlu terus diangkat kembali ke permukaan sebagai upaya "memuliakan semua orang dengan etnis apapun yang berjuang, berkontribusi untuk kemerdekaan Indonesia".

Kisah tentang Sin Nio diceritakan oleh Rosalia Sulistiawati, sang cucu.

Dia pertama kali bertemu Sin Nio pada 1983.

Ketika itu, perasaan Rosalia saat itu campur aduk.

"Ada takut, heran dan aneh," tulis Kompas.com.

Sampai ketika perempuan tua kurus yang ia panggil "Oma Sin Nio" mendekap erat, perasaannya menjadi lebih tenang.

"Ya, senang karena saya boleh dibilang tidak pernah bertemu," kenang Rosalia yang tahun ini berusia 49 tahun.

Sin Nio tinggal di bedeng berukuran 2x3 meter "seperti kontrakan, tapi tidak selayaknya rumah".

Di ruangan itu terdapat tempat tidur sekaligus dapur. Bagian atas ruangan ini juga ditempati oleh orang lain yang ketika berbisik bisa terdengar sampai bawah.

Menginap beberapa malam di bedeng ini Rosalia tidak pernah bisa tidur nyenyak, karena setiap kali kereta api lewat seluruh bangunan bergetar seperti mau runtuh.

Jika ingin mandi cuci kakus, semua penghuni gubuk liar di sepanjang bantaran rel kereta ini harus keluar menuju kamar mandi umum.

Rosalia mengatakan masih punya ingatan samar tentang Sin Nio: Wajah penuh kerutan, rambut pendek, bertubuh kecil, dan berkulit hitam.

"Untuk ukuran orang Tionghoa, Oma [berkulit] hitam. Mungkin karena memperjuangkan pensiunan itu, Oma jadi lebih banyak di jalan, kepanasan," kata Rosalia.

Sementara itu, Rosy, kakak Rosalia, masih ingat betul dengan keseharian Sin Nio yang lebih sering menggunakan kain sarung.

"Tapi kalau lagi keluar dari rumah, baru pakai celana panjang," katanya, sambil menambahkan.

"Kita waktu kecil nggak terlalu banyak keinginan tahunya itu. Kalau kami dulu, boleh dibilang rasa penasaran, tapi nggak berani bertanya. Paling yang saya ingat, cuma tanya kok tinggalnya di tempat begini?" kata cucu tertua Sin Nio itu.

Sin Nio memutuskan pergi ke Jakarta pada 1973, meninggalkan keluarganya yang ada di Wonosobo.

Bertahun-tahun, ia berjibaku dengan birokrasi untuk memperoleh status veteran perang sekaligus uang tunjangan.

"Oma ini awalnya ikut membantu di bagian logistik, membantu menyediakan makan untuk prajurit-prajurit," kata Rosialia.

"Jadi coba berbaur dengan orang-orang pribumi untuk membantu perbekalannya."

Tapi, nampaknya Sin Nio tidak puas hanya mengambil peran di dapur, sementara pejuang lainnya menyabung nyawa melawan Belanda.

"Yang saya dengar, setelah ikut angkat senjata itu, Oma menjadi laki-laki. Penampilan selayaknya prajurit laki-laki."

"Rambutnya pendek. Namanya jadi sudah bukan jadi Oma Sin lagi, tapi jadi Mochamad Moeksin," kata Rosalia yang mendengar cerita dari ayahnya.

Disadur dari artikel Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Sin Nio menjadi satu-satunya tentara perempuan di Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18.

Soal nyali, jangan ditanya.

Sin Nio hanya bermodal golok, tombak atau bambu runcing untuk melancarkan serangan gerilya.

Dia baru memiliki senjata api jenis Lee-Enfield (LE) setelah berhasil merampasnya dari pasukan Belanda.

Sin Nio juga pernah ditempatkan di bagian medis untuk merawat tentara-tentara yang terluka.

"Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik," kata Azmi yang mengumpulkan dokumen tentang Sin Nio termasuk dari Majalah Sarinah edisi Agustus 1984.

Pada 1976, Sin Nio akhirnya memperoleh pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Surat pengakuan itu dikeluarkan Mahkamah Militer Yogyakarta.

Namun, SK sebagai veteran perang tidak diiringi dengan hak pensiun.

Bertahun-tahun, Sin Nio hidup menggelandang karena perbekalan sudah habis.

Saat Upacara di Istana Uang pensiun sebesar Rp28.000/bulan baru cair beberapa tahun kemudian.

Sin Nio memilih untuk hidup di gubuk liar, dan sebagian uang pensiunannya dikirim ke keluarga, menurut Azmi.

Sin Nio juga pernah mendapat janji dari pemerintah untuk memperoleh tunjangan perumahan, tapi belum sempat terealisasi sampai akhirnya ia tutup usia pada 1985.

"Mak Sin sedang memperjuangkan hak-hak dia supaya dapat rumah. Paling kadang cerita, belum ada progres, masih diajukan, masih belum dapat info. Cuma itu saja," kata Rosy.

Artikel Terkait