Intisari-online.com - Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tahun 1949 adalah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
Namun, sebagai imbalannya, Indonesia harus membayar sejumlah uang yang disebut sebagai "uang kedaulatan" atau "klaim residual" kepada Belanda.
Uang tersebut awalnya ditetapkan sebesar 4,5 miliar gulden, namun kemudian dinegosiasikan menjadi 600 juta gulden.
Lalu, dari mana asal uang tersebut dan mengapa Indonesia harus membayarnya?
Uang kedaulatan tersebut sebenarnya berasal dari utang-utang yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Utang-utang ini meliputi biaya perang yang dikeluarkan oleh Belanda untuk melawan gerakan kemerdekaan Indonesia.
Seperti biaya pemeliharaan tentara dan pegawai negeri sipil Belanda di Indonesia, serta biaya pengembalian modal dan investasi swasta Belanda di Indonesia.
Selain itu, uang kedaulatan juga mencakup biaya pemindahan penduduk Eropa dan Indo-Eropa dari Indonesia ke Belanda.
Belanda mengklaim bahwa uang kedaulatan tersebut merupakan haknya sebagai mantan penguasa kolonial.
Karena telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia.
Belanda juga berpendapat bahwa uang tersebut merupakan syarat untuk menjaga hubungan baik antara kedua negara dalam kerangka Uni Indonesia-Belanda yang disepakati dalam KMB.
Baca Juga: Bagaimana Nasib Kantor VOC di Indonesia setelah Keruntuhan Perusahaan Dagang Belanda?
Uni ini dimaksudkan sebagai bentuk kerjasama antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Ratu Belanda sebagai kepala simbolisnya.
Namun, Indonesia menolak klaim Belanda tersebut dengan berbagai alasan.
Pertama, Indonesia menilai bahwa uang kedaulatan tersebut tidak adil karena tidak sesuai dengan prinsip hukum internasional yang mengatur tentang pengakuan kedaulatan suatu negara.
Menurut prinsip ini, pengakuan kedaulatan tidak boleh dibebani dengan syarat apapun.
Kedua, Indonesia menyangkal bahwa uang kedaulatan tersebut merupakan utang yang sah karena tidak ada akad atau perjanjian yang mengikat antara pihak Indonesia dan Belanda.
Ketiga, Indonesia mengecam bahwa uang kedaulatan tersebut merupakan bentuk eksploitasi ekonomi dan politik oleh Belanda yang telah merampas kekayaan alam dan sumber daya manusia Indonesia selama masa penjajahan.
Meskipun demikian, Indonesia akhirnya setuju untuk membayar uang kedaulatan tersebut sebagai bagian dari kompromi politik untuk mengakhiri konflik dengan Belanda dan memperoleh pengakuan internasional atas kemerdekaannya.
Namun, pembayaran uang tersebut tidak berjalan lancar karena adanya berbagai kendala dan masalah.
Misalnya, nilai tukar gulden terhadap rupiah yang tidak stabil, perselisihan mengenai cara pembayaran dan penggunaan uang tersebut, serta ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda yang berujung pada pembatalan Uni Indonesia-Belanda pada tahun 1956.
Pada tahun 1966, setelah terjadinya pergantian rezim di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah Indonesia dan Belanda menandatangani perjanjian baru yang mengakhiri sengketa mengenai uang kedaulatan.
Dalam perjanjian ini, Indonesia menyatakan telah melunasi seluruh kewajibannya kepada Belanda sebesar 600 juta gulden plus bunga.
Baca Juga: Serangan Udara Pertama TNI AU 27 Juli 1947 Jadi Tanda Kebangkitan Indonesia Melawan Agresi Belanda
Sementara itu, Belanda menyatakan telah melepaskan semua hak dan klaimnya atas aset-asetnya di Indonesia yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia.