Peristiwa 10 Muharram Karbala, Awal Mula Perpecahan Sunni dan Syiah

Ade S

Editor

Gambaran Perang Karbala atau peristiwa 10 Muharram Karbala menggunakan AI.
Gambaran Perang Karbala atau peristiwa 10 Muharram Karbala menggunakan AI.

Intisari-Online.com -Perang Karbala adalah salah satu peristiwa paling berpengaruh dalam sejarah Islam.

Perang ini terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriyah atau 10 Oktober 680 Masehi di dekat Sungai Efrat (sekarang Irak).

Perang ini juga dikenal sebagai peristiwa 10 Muharram Karbala, yang menjadi awal mula perpecahan antara Islam Sunni dan Syiah.

Bagaimana latar belakang, jalannya, dan dampak dari perang ini? Berikut penjelasannya.

Latar belakang

Perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat telah ada sejak lama.

Mayoritas umat Islam menerima Abu Bakar sebagai khalifah pertama, yang kemudian digantikan oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab.

Namun, ada juga sebagian umat Islam yang menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, adalah pilihan yang lebih tepat.

Setelah khalifah ketiga, Utsman bin Affan, tewas dibunuh oleh kelompok oposisi yang tidak senang dengan kebijakannya, Ali bin Abi Thalib naik menjadi khalifah keempat.

Namun, Ali bin Abi Thalib juga tewas dibunuh dan kekuasaan berhasil direbut oleh musuhnya, Muawiyah I.

Sementara itu, kaum Muslim di Kufah segera mengakui Hasan bin Ali sebagai khalifah kelima.

Baca Juga: Adakah Peristiwa Pengulangan Terkait Berhentinya Trem Sebagai Salah Satu Moda Transportasi Umum?

Untuk mencegah terjadinya perang saudara antara Muawiyah I dan Hasan, kedua pihak membuat Perjanjian Hasan-Muawiyah.

Isi perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa apabila Muawiyah meninggal lebih dulu, maka Hasan akan menjadi khalifah selanjutnya.

Namun, nasib berkata lain. Hasan yang lebih muda ternyata meninggal lebih dulu karena diracun. Oleh karena itu, pihak Muawiyah menganggap perjanjian tersebut tidak berlaku lagi.

Muawiyah kemudian berusaha memastikan bahwa putranya, Yazid, akan diakui sebagai khalifah berikutnya.

Berbeda dengan cara pemilihan khalifah sebelumnya, Muawiyah memaksa semua pendukungnya untuk bersumpah setia kepada Yazid.

Setelah menjadi khalifah, Yazid mengirim surat kepada gubernur Madinah untuk menuntut kesetiaan dari Husain bin Ali, adik Hasan.

Namun, banyak masyarakat yang tidak puas dengan pemerintahan Yazid. Husain pun memanfaatkan kesempatan ini untuk merebut kembali kekuasaan dari Yazid.

Apalagi, ia yakin akan mendapat dukungan dari Muslim di Kufah (Irak). Inilah yang menjadi latar belakang terjadinya Perang Karbala.

Pasukan Husain terkepung

Yazid mengetahui rencana Husain dan segera menyiapkan pasukannya, yang diperkirakan berjumlah antara 3.000 hingga 5.000 orang.

Yazid tidak ikut serta dalam perang dan menyerahkan tanggung jawab komando kepada sepupunya, Ubaidullah bin Ziyad.

Baca Juga: Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Semuanya Serba 'Gelap'

Pada 9 September 680 M, Husain meninggalkan Mekah bersama sekitar 100 pengikutnya, yang terdiri dari anggota keluarga dekat Nabi Muhammad, termasuk wanita dan anak-anak.

Di tengah perjalanan, mereka mendapat kabar buruk bahwa Kufah telah dikuasai oleh Yazid.

Meskipun demikian, Husain dan pengikutnya tidak mundur dan tetap melanjutkan perjalanan mereka ke Kufah.

Ketika Husain dan pengikutnya sampai di dataran Karbala, pasukan Umayyah telah menunggu dan kemudian mengepung mereka.

Pada hari kesembilan Muharram, pasukan Husain kehabisan air dan hanya memiliki dua pilihan, yaitu menyerah atau mati.

Karena tidak mau menyerah, mereka hampir dipastikan akan mati karena kalah jumlah.

Husain sebenarnya memberi kesempatan kepada pengikutnya untuk kabur, tetapi mereka tidak mau meninggalkannya.

Perang berkecamuk

Pada 10 Oktober, perang telah berkecamuk sejak subuh, di mana para pendukung Husain mulai maju menghadapi musuh.

Meski telah berjuang sekuat tenaga, kekuatan mereka tetap tidak sebanding dengan pasukan Umayyah.

Menjelang siang hari, pendukung Husain banyak yang telah tewas dibantai, termasuk anak-anak.

Baca Juga: Mengapa Peristiwa Sejarah Bersifat Unik?

Meski Husain juga telah terluka parah akibat tembakan panah, ia masih berusaha bangkit hingga akhirnya meninggal karena dipenggal.

Pertempuran pun diakhiri setelah sekitar 70 orang dari pihak Husain terbaring tidak bernyawa.

Sementara dari kubu Umayyah, hanya kehilangan sekitar 88 orang dari ribuan pasukannya.

Dampak Pertempuran Karbala

Tragedi tewasnya Husain bin Ali, yang merupakan cucu Nabi Muhammad, mengejutkan umat Muslim.

Citra Yazid pun semakin buruk, dan Pertempuran Karbala menjadi salah satu sebab Bani Umayyah dapat digulingkan sekitar tujuh dekade kemudian dalam peristiwa pemberontakan berdarah.

Sebelum meletus pertempuran, umat Muslim sebenarnya telah terbagi menjadi dua faksi politik. Akan tetapi, perbedaan syariat dan akidah belum berkembang.

Pasca Perang Karbala, perpecahan antara kaum Sunni dan Syiah di seluruh penjuru dunia Islam semakin kentara.

Pengaruh pertempuran ini terhadap Islam Sunni dan Syiah pun berbeda. Oleh Muslim Syiah, hari ke-10 pada bulan Muharram dalam Kalender Hijriyah kemudian diperingati sebagai Hari Asyura.

Pertempuran Karbala juga disebut sebagai peristiwa yang mengilhami Revolusi Islam Iran pada 1978.

Penutup

Perang Karbala telah meninggalkan bekas yang mendalam bagi umat Islam.

Peristiwa 10 Muharram Karbala tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap kezaliman, tetapi juga menjadi titik awal dari perbedaan antara Sunni dan Syiah.

Hingga kini, perbedaan tersebut masih terus berlanjut dan mempengaruhi dinamika politik, sosial, dan budaya di dunia Islam.

Baca Juga: 25 Ucapan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-78 Tahun 2023, Kenang Peristiwa Proklamasi

Artikel Terkait