Hubertus Van Mook, Sosok Di Balik Konferensi Malino Yang Menjadi Biang Munculnya Negara Indonesia Timur

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Pada Juli 1946, Van Mook mengumpulkan tokoh-tokoh dari Kalimantan dan Timur Besar di Malino, menggagas Konferensi Malino. Cikal bakal Negara Indonesia Timur.
Pada Juli 1946, Van Mook mengumpulkan tokoh-tokoh dari Kalimantan dan Timur Besar di Malino, menggagas Konferensi Malino. Cikal bakal Negara Indonesia Timur.

Pada Juli 1946, Van Mook mengumpulkan tokoh-tokoh dari Kalimantan dan Timur Besar di Malino, menggagas Konferensi Malino. Cikal bakal Negara Indonesia Timur.

Intisari-Online.com -Belanda benar-benar tidak mau melepaskan Indonesia begitu saja meskipun proklamasi kemerdekaan sudah dibacakan pada 17 Agustus 1945.

Setelah Jepang kalah dari Sekutu, Gubernur Hindia Belanda Hubertus Van Mook melakukan konsolidasi untuk kembali menguasai Indonesia.

Salah satunya mencetuskan Konferensi Malino, yang menjadi cikla munculnya Negara Indonesia Timur.

Konferensi Malino berlangsung di Malino, Sulawesi Selatan, sejak 15 Juli hingga 25 Juli 1946.

Tujuan Konferensi Malino adalah untuk membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia.

Juga untuk pembentukan negara yang meliputi darerah Indonesia bagian Timur.

Konferensi ini dihadiri oleh 39 orang dari 15 daerah dari Kalimantan dan Timur Besar.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, perang kemerdekaan antara Indonesia dan Belanda pecah.

Belanda masih berupaya untuk mendapatkan kembali kendali atas koloni mereka.

Ketika itu, bagian timur Indonesia diduduki oleh Australia.

Pada15 Juli 1946, Australia menyerahkan wilayah Indonesia Timur kepada Belanda.

Dengan demikian, pemerintah Belanda mendapat kembali wilayah Indonesia Timur secara de jure dan de facto.

Setelah penyerahan ini berlangsung, pemerintah Belanda, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus van Mook menyimpulkan bahwa tidak mungkin untuk kembali ke status quo.

Van Mook pun mengusulkan pembentukan persemakmuran Indonesia yang terkait dengan mahkota Belanda.

Usulannya ini disetujui oleh Menteri Urusan Kolonial Belanda Johann Logemann dan diumumkan pada 10 Februari.

Pada Maret di tahun yang sama,terjadi negosiasi antara van Mook dengan Perdana Menteri Indonesia Sutan Sjahrir yang menghasilkan pengakuan kontrol de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera, serta kedaulatan Belanda atas seluruh Indonesia.

Van Mook kemudian menjalin hubungan dengan para pemimpin Indonesia di luar Jawa, khususnya di Jawa Barat dan Indonesia Timur.

Setelah itu, dia memutuskan untuk melanjutkan upaya mendirikan Indonesia federal dengan mengadakan konferensi di Malino yang kemudian disebut Konferensi Malino.

Pada April 1946, van Mook mulai mendekati beberapa calon delegasi.

Mereka diminta untuk turut hadir dan berpartisipasi dalam konferensi guna membahas struktur pemerintahan di Indonesia bagian Timur.

Total ada 53 delegasi dan penasehat dari seluruh Indonesia bagian Timur, termasuk Kalimantan dan Papua Barat, serta Bangka Belitung.

Dalam konferensi yang dipimpin Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook dibentuk Komisariat Umum Pemerintah untuk Kalimantan dan Timur Besar.

Selain itu, diangkat pula Dewan Kepala-Kepala Departemen untuk urusan kenegaraan.

Dewan tersebut adalah:

1. Sukawati (Bali)

2. Najamuddin (Sulawesi Selatan)

3. Dengah (Minahasa)

4. Tahya (Maluku Selatan)

5. Liem Tjae Le (Bangka, Belitung, Riau)

6. Ibrahim Sedar (Kalimantan Selatan)

7. Oeray Saleh (Kalimantan Barat)

Konferensi Malino dilaksanakan tanggal 15 Juli - 25 Juli 1946 dengan dihadiri 39 orang dari 15 daerah dari Kalimantan dan Timur Besar.

Mereka membahas mengenai rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia.

Mereka juga berdiskusi soal niat pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur.

Selama 10 hari konferensi dilaksanakan, para peserta konferensi terpecah menjadi dua kubu, kubu pro-Republik dan pro-Federal.

Tanggal 16 Juli 1946, van Mook menyampaikan pidatonya yang berisikan bahwa penting jika negara-negara dalam federasi Indonesia ditempatkan dalam posisi untuk memerintah wilayahnya sendiri.

Awalnya, para delegasi setuju bahwa kolonialisme tidak boleh kembali ke Indonesia.

Akan tetapi, seiring konferensi berjalan, rasa ragu atas usulan pembentukan Negara Indonesia Timur muncul.

Gagasan ini tidak boleh diteruskan sebelum mendengar pendapat dari rakyat di Jawa dan Sumatera.

Tiga bulan setelah konferensi, delegasi dari kelompok minoritas bertemu di sebuah konferensi di Pangkal Pinang, Bangka.

Dalam konferensi tersebut, mereka menyatakan dukungan atas usulan di Malino.

Karena ketidakstabilan politik di Kalimantan, diputuskan untuk fokus mendirikan negara federal di wilayah Timur Besar.

Bulan November, Belanda mencapai kesepakatan pertama dengan pihak republik dan mengakui otoritas republik atas Jawa, Madura, dan Sumatera.

Sementara itu, peraturan mengenai pembentukan pemerintahan diputuskan dalam konferensi berikutnya di Denpasar, Bali, bulan Desember 1946.

Artikel Terkait