Kisah Pangeran Mangkubumi dan Perjanjian Giyanti, Dari Peperangan hingga Pembagian Wilayah Mataram

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Pangeran Mangkubumi dan Paku Buwono III
Ilustrasi - Pangeran Mangkubumi dan Paku Buwono III

Intisari-online.com - Perjanjian Giyanti adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah kerajaan Jawa.

Perjanjian ini merupakan hasil dari perang saudara yang terjadi antara Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Sambernyawa.

Mereka masing-masing mengklaim sebagai pewaris takhta Mataram. Perang saudara ini juga melibatkan campur tangan VOC, yang berusaha memecah belah Mataram demi kepentingan ekonomi dan politiknya.

Perjanjian Giyanti ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Perjanjian ini menetapkan pembagian wilayah Mataram menjadi dua bagian.

Bagian timur, yang meliputi Surakarta, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Blora, dan sebagian Demak, tetap dikuasai oleh Pakubuwana III dengan gelar Susuhunan.

Bagian barat, yang meliputi Yogyakarta, Magelang, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, dan sebagian Demak, diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.

Daerah pesisir utara Jawa atau Pasisir tetap menjadi wilayah VOC.

Perjanjian Giyanti dipicu adanya suksesi Kerajaan Mataram yang mendapat campur tangan licik VOC.

Pertikaian itu melibatkan tiga calon pewaris Kerajaan Mataram yakni Pangeran Prabusuyasa (Pakubuwana II), Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.

Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak-beradik, sama-sama putra dari Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726.

Baca Juga: Nyai Roro Kidul, Benarkah Cuma Sosok Rekaan Panembahan Senopati Dalam Babad Tanah Jawi?

Sementara Raden Mas Said adalah putra Pangeran Arya Mangkunegara, sementara Mangkunegara adalah putra sulung Amangkurat IV.

Arya Mangkunegara yang seharusnya meneruskan tahta Amangkurat IV justru diasingkan ke Sri Lanka.

Raden Mas Said juga mengklaim berhak dengan tahta Mataram sebagai salah satu cucu Amangkurat IV, atau keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.

Namun dalam perjalanannya VOC justru menaikkan Pangeran Prabasuyasa atau Pakubuwana II sebagai raja.

Susuhunan Pakubuwana II (1745-1749) kemudian memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta dan berdirilah Kasunanan Surakarta.

Pemberontakan Pangeran Mangkubumi

Naiknya Pakubuwono II yang didukung VOC mendapat perlawanan dari Pangeran Mangkubumi yang berkoalisi dengan Pangeran Sambernyawa.

Sebagai memperkuat jalinan kerjasama itu, Mangkubumi menikahkan putrinya dengan Pangeran Sambernyawa.

Perlawanan Mangkubumi dan Sambernyawa melalu perang gerilya di sejumlah wilayah Jawa merepotkan Pakubuwono II dan VOC.

Wafatnya Pakubuwono II

Pada tanggal 20 Desember 1749, Pakubuwono II menginggal dunia.

Baca Juga: Kakek Raja Pertama Mataram Ternyata Tokoh Penyebar Islam Di Solo, Berutang Jasa Kepada Tokoh Hindu Setempat

Situasi ini dimanfaatkan Pangeran Mangkubumi untuk mengklaim tahta Mataram Islam.

Namun klaim Pangeran Mangkubumi tidak diakui oleh VOC yang justru menunjuk Putra Pakubuwono II bernama Raden Mas Soejadi menjadi Pakubuwono III.

Perundingan Giyanti

Perundingan Giyanti dimulai pada tahun 1754 dengan perantara Nicolas Hartingh, Gubernur VOC di Jawa Timur.

Hartingh berusaha menyelesaikan konflik antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi dengan cara damai.

Setelah melalui beberapa kali pertemuan, akhirnya dicapai kesepakatan untuk membagi wilayah Mataram menjadi dua.

Pakubuwono III tetap menjadi Susuhunan di Surakarta, sementara Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan di Yogyakarta.

Perjanjian Giyanti ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Perjanjian ini juga mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung selama enam tahun.

Artikel Terkait