Intisari-Online.com -Prancis telah mendapat banyak manfaat dari kehadiran para imigran, terutama di bidang olahraga.
Tim sepak bola nasional Prancis, Les Bleus, terkenal sebagai tim yang beragam dan multikultural, dan sering diisi oleh pemain-pemain keturunan imigran.
Pada 1998, saat Prancis meraih gelar Piala Dunia pertamanya, bintang timnya adalah Zinedine Zidane yang memiliki darah Algeria.
Sementara pada 2018, saat Prancis kembali menjadi juara Piala Dunia, separuh dari skuadnya adalah anak-anak imigran.
Namun, sebesar apa pun jasa mereka, para imigran ini dianggap masih terus mendapatkan perlakuan diskriminatif dari para penduduk Prancis lainnya.
Terbaru, seorang remajaberusia 17 tahun, Nahel M, ditembak mati oleh anggota kepolisian Prancis.
Peristiwa ini lantas memicu aksi demonstrasi yang mengarah pada kekerasan di salah satu kantung imigran di Prancis.
Namun, sebenarnya seperti apakah sejarah kehadiran para imigran di Prancis? Mengapa pula mereka masih mendapatkan diskriminasi?
Kronologi KasusNahel M
Kekerasan meletus di Nanterre, sebuah kota pinggiran di sebelah barat ibu kota Perancis, Paris, setelah seorang remaja berusia 17 tahun, Nahel M, tewas tertembak oleh polisi pada Selasa (27/6/2023).
Baca Juga: Dibalik Peristiwa Rasisme Pelatih PSG, Ini Sederet Kejadian Rasis di Dunia Sepak Bola
Massa yang marah atas kematian Nahel melakukan aksi pembakaran kendaraan, penutupan jalan, dan pelemparan benda-benda ke arah polisi setelah unjuk rasa damai.
Di beberapa tempat, mereka menuliskan "Vengeance for Nahel" di dinding-dinding dan halte-halte bus, dan saat malam hari, sebuah bank menjadi sasaran pembakaran sebelum api dipadamkan oleh pemadam kebakaran.
Menurut Reuters, Nahel ditembak saat mengemudikan Mercedes AMG di jalur bus pada jam sibuk pagi hari Selasa (27/6/2023).
Dia tidak menghiraukan perintah berhenti dari polisi dan mencoba melarikan diri.
Dua polisi mengejarnya di tengah kemacetan dan salah satu dari mereka menembak dari jarak dekat melalui kaca mobil.
Nahel meninggal akibat luka tembak di lengan kiri dan dada, kata Pascal Prache, jaksa penuntut umum Nanterre.
Polisi yang menembak mengaku telah melakukan tindakan fatal itu, kata jaksa.
Dia memberi alasan bahwa dia ingin menghentikan mobil Nahel karena khawatir akan membahayakan orang lain setelah remaja itu diduga melanggar beberapa aturan lalu lintas.
Sejarah Imigran di Prancis
Arus imigrasi besar-besaran ke Perancis bermula sekitar tahun 1830 dan relatif stabil sejak 1850, menurut Britannica.
Perancis dikenal sebagai negara Eropa yang paling ramah bagi imigran, termasuk mereka yang melarikan diri dari tekanan politik, pada awal abad ke-20.
Namun, sikap ini berubah pada akhir abad ke-20 ketika muncul penolakan untuk menerima imigran dari Afrika.
Dalam kurun waktu 1850-1914, sekitar 4,3 juta orang asing datang ke Perancis, dan hampir tiga juta lagi--enam persen dari jumlah penduduk--tiba sebagai imigran antara Perang Dunia I dan II.
Mereka dibutuhkan karena ada kekurangan tenaga kerja akibat perang.
Pada awal abad ke-21, jumlah orang asing yang tinggal di Perancis hampir mencapai empat juta, sekitar 6 persen dari populasi. Angka ini tidak berubah sejak 1975.
Sejalan dengan meningkatnya imigrasi, terjadi pula peningkatan diskriminasi rasial di bidang perumahan dan pekerjaan, serta gerakan sosial di kalangan imigran.
Kebanyakan imigran dari Afrika dan Amerika adalah laki-laki, tinggal di tempat-tempat yang tidak layak dan memiliki keterampilan rendah.
Mereka terus bekerja dalam pekerjaan yang tidak diminati oleh orang Prancis ketika keluarga mereka mulai berkembang.
Namun, ketika krisis ekonomi terjadi pada 1974, para pekerja Perancis mulai merebut kembali beberapa pekerjaan yang diisi oleh para imigran. Pemerintah juga mulai membatasi imigrasi.
Persaingan kerja semakin ketat dengan kedatangan sekitar satu juta orang yang memiliki kewarganegaraan Perancis yang dipulangkan dari wilayah-wilayah di Afrika Utara yang merdeka pada 1962-1964. Mereka dikenal sebagai pied-noirs (kaki hitam).
Hal inilah yang pada akhirnya dianggap sebagai salah satu pemicu aksi diskriminatif terhadap para imigran Prancis.
Sementara beberapa pihak yang lain meyakini hal tersebut terjadi karena sebagian masyarakat Prancis masih menganggap diri mereka memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan para imigran.