Intisari-online.com - Soekarno dan Kartosoewirjo adalah dua tokoh yang memiliki andil besar dalam sejarah Indonesia.
Keduanya sama-sama berjuang melawan penjajah asing menuju Indonesia merdeka.
Keduanya juga sama-sama berguru kepada HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam yang menjadi guru bangsa.
Namun, di tengah perjalanan, keduanya berpisah jalan dan menjadi lawan mati yang saling bermusuhan.
Persahabatan di Rumah Peneleh
Hubungan persahabatan antara Soekarno dan Kartosoewirjo terjalin sejak tahun 1918, ketika keduanya tinggal bersama di rumah Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No. 29–31 Surabaya.
Di rumah itu, keduanya belajar banyak hal dari Tjokroaminoto, termasuk membaca kitab-kitab marxisme.
Di rumah itu juga, keduanya sering berdiskusi tentang masalah-masalah bangsa dan ideologi perjuangan.
Salah satu kisah yang menunjukkan keakraban keduanya adalah ketika Soekarno selalu belajar berpidato setiap malam di depan kaca.
Suaranya yang lantang sering mengganggu kawan-kawannya yang lain, termasuk Kartosoewirjo.
Namun, Kartosoewirjo tidak pernah marah, melainkan sering menggoda Soekarno dengan ejekan-ejekan lucu. Keduanya pun sering tertawa bersama.
Baca Juga: 20 Ucapan Hari Anti Narkotika Internasional, Bentuk Keprihatinan Kepada Sosok-sosok Pecandu
Perpecahan karena Ideologi
Persahabatan Soekarno dan Kartosoewirjo mulai retak ketika keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang ideologi perjuangan.
Soekarno memilih nasionalisme sebagai landasan gerakannya, sementara Kartosoewirjo memilih Islam sebagai dasar perjuangannya.
Perbedaan ini semakin tajam ketika Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927, yang bercorak sekuler dan anti-feodal.
Kartosoewirjo tidak setuju dengan arah PNI yang dianggapnya menyimpang dari cita-cita Sarekat Islam.
Ia pun tetap setia kepada Tjokroaminoto dan terus memperjuangkan Islam sebagai ideologi tunggal bagi bangsa Indonesia.
Bahkan menjadi salah satu pendiri Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929, yang merupakan pecahan dari Sarekat Islam.
Pertentangan di Masa Revolusi
Ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo tidak ikut serta dalam peristiwa bersejarah itu.
Ia malah menolak untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno.
Lalu menganggap bahwa Republik Indonesia adalah negara sekuler yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Baca Juga: Tips Sukses Menjadi Sang Pemimpin dari 4 Weton dengan Pasaran Pon, Ini Rahasianya
Pada tahun 1948, Kartosoewirjo mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat, yang kemudian dikenal sebagai gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Ia menuntut agar Republik Indonesia mengubah konstitusinya menjadi berdasarkan Islam dan mengakui NII sebagai bagian dari wilayahnya.
Tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat yang dipimpin oleh Soekarno.
Sejak saat itu, terjadi konflik bersenjata antara pasukan DI/TII dengan pasukan Republik Indonesia.
Konflik ini berlangsung selama lebih dari satu dekade, hingga akhirnya Kartosoewirjo ditangkap pada pertengahan tahun 1962.
Ia diadili oleh Mahkamah Militer karena telah makar dan dihukum mati. Ia dieksekusi pada 5 September 1962 di Cimahi, Jawa Barat.
Soekarno dan Kartosoewirjo adalah dua tokoh yang pernah bersahabat, tetapi kemudian menjadi lawan mati karena perbedaan ideologi.
Keduanya sama-sama berjuang melawan penjajah asing menuju Indonesia merdeka, tetapi dengan cara dan tujuan yang berbeda.
Soekarno memimpin Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila, sementara Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia yang berlandaskan syariat Islam.
Keduanya pun saling bermusuhan hingga akhir hayat mereka.