Intisari-online.com -Pakubuwono II adalah raja Kesultanan Mataram kesembilan yang memerintah tahun 1726-1742 dan menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah tahun 1745-1749.
Ia merupakan kakak dari Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Hamengkubuwana I) dan paman dari Pangeran Sambernyawa (kemudian bergelar Mangkunagara I).
Kemudian dikenal sebagai raja yang mendirikan Keraton Surakarta setelah terusir dari Kartasura akibat pemberontakan Amangkurat V.
Pakubuwono II lahir dengan nama Raden Mas Prabasuyasa pada tanggal 8 Desember 1711.
Ia adalah putra Amangkurat IV dan Ratu Amangkurat (GKR. Kencana), seorang permaisuri keturunan Sunan Kudus.
Beliau naik takhta pada usia 15 tahun, menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1726.
Karena masih sangat muda, ia mudah dipengaruhi oleh para pejabat keraton yang terbagi menjadi dua kubu, yaitu golongan yang bersahabat dengan VOC dan golongan yang anti-VOC.
Pada masa pemerintahannya, Pakubuwono II menghadapi berbagai pergolakan besar yang mengancam keutuhan Kesultanan Mataram.
Salah satunya adalah pemberontakan etnis Tionghoa dari Batavia terhadap Belanda yang dikenal sebagai Geger Pacinan.
Pemberontakan ini berbuntut panjang hingga tahun 1743 dan berpengaruh terhadap Kerajaan Mataram yang masih berpusat di Kartasura.
Pada awalnya, Pakubuwono II berpihak kepada kaum pemberontak Tionghoa karena hubungannya dengan Belanda tidak lagi baik.
Namun, setelah gagal menaklukkan Semarang pada awal tahun 1742, ia berubah sikap dan bersekutu kembali dengan Belanda. Hal ini membuat etnis Tionghoa dan masyarakat Mataram merasa kecewa.
Mereka kemudian mengangkat Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning (cucu Amangkurat III) sebagai raja Mataram pengganti Pakubuwono II.
Raden Mas Garendi, yang bergelar Amangkurat V, kemudian menyerbu Keraton Kartasura dan berhasil menguasainya pada tanggal 30 Juni 1742.
Akibatnya, Pakubuwono II bersama keluarganya terpaksa melarikan diri ke Ponorogo, didampingi oleh Kapten Johan Andries van Hogendorff, seorang perwakilan VOC.
Setelah Amangkurat V dilengserkan dan pemberontakan dapat dikendalikan oleh Belanda, Pakubuwono II kembali ke Kartasura pada November 1742.
Namun, ia mendapati istana Mataram di Kartasura telah rusak parah akibat pemberontakan.
Ia kemudian memutuskan untuk memindahkan istananya ke Desa Sala, yang kemudian dikenal sebagai Keraton Surakarta.
Istana baru Pakubuwono II dibangun pada tahun 1744 dan mulai ditempati pada tahun 1746.
Kemudian juga mengubah nama kerajaannya menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Dengan demikian, ia menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah hingga tahun 1749.
Namun, Pakubuwono II tidak bisa menikmati kedamaian di istana barunya.
Baca Juga: Kisah Selokan Mataram Menjadi Bukti Kepedulian Raja Yogyakarta terhadap Nasib Rakyatnya
Ia masih harus menghadapi pemberontakan dari saudara dan keponakannya sendiri, yaitu Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa, yang tidak puas dengan kebijakan Pakubuwono II yang tunduk kepada Belanda.
Pemberontakan ini dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa III, yang berlangsung dari tahun 1746 hingga 1755.
Pakubuwono II sendiri menderita sakit parah di akhir hayatnya. Ia merasa tidak percaya kepada siapa pun di antara elite Jawa.
Ia hanya menaruh kepercayaan pada van Hogendorff, yang kini menjabat sebagai gubernur pesisir Jawa bagian timur.
Pada tanggal 11 Desember 1749, Pakubuwono II menandatangani sebuah kontrak yang menyerahkan seluruh kerajaan Surakarta kepada VOC tanpa syarat.
Kontrak ini kemudian dijadikan dasar legal oleh Belanda untuk menguasai Surakarta.
Sembilan hari kemudian, Pakubuwono II meninggal dunia pada tanggal 20 Desember 1749.
Ia dimakamkan di Astana Pakubuwanan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Ia digantikan oleh putra mahkotanya, yang kemudian bergelar Pakubuwono III.
Pakubuwono II adalah raja yang kontroversial dalam sejarah Jawa.
Di satu sisi, ia dikenang sebagai pendiri Keraton Surakarta yang masih berdiri hingga kini.
Iajuga dianggap sebagai raja yang menyerahkan kedaulatan kerajaannya kepada Belanda di ambang kematian.