Intisari-Online.com – Bukan hal yang mudah bagi kita, apalagi yang sudah berkeluarga untuk lepas dari status karyawan kantoran dan memilih bekerja dari rumah.Empatpersiapan bekerja dari rumahdari buku Kerja Di Rumah Emang 'Napa (2009) karangan Anang Y. B. inibisa menjadi panduan bagi sepasang suami-istri yang ingin meninggalkan pekerjaan kantoran.
1. Tanya, siapa yang lebih siap?
Jika kita bersama pasangan sudah bertahun-tahun terbiasa dengan lingkungan kerja di kantor, lalu mendadak jadi orang yang setiap harinya harus di rumah, bersiaplah untuk mengalami “gegar budaya”. Jenuh, uring-uringan, bosan, bahkan frustasi sudah pasti. Secara mental, siapa di antara kita dan pasangan kita yang lebih siap menghadapinya?
2. Tanyalah, gaji siapa yang saat ini mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga?
Saat salah satu dari kita lepas dari status karyawan kantor, otomatis satu keran nafkah menjadi mampet. Pertimbangkan kondisi terburuk, di mana bisa jadi usaha yang bakal kita tekuni di rumah tidak segera menghasilkan uang. Dalam kondisi demikian, cukupkah penghasilan satu orang menopang kebutuhan sehari-hari? Jadi, gaji bulanan siapa yang cukup untuk hidup (ngirit) bersama seluruh anggota keluarga? Cukup untuk membayar kredit rumah, uang sekolah, uang transport, gaji pembantu? Gaji kita-kah, atau gaji pasangan?
3. Tanyalah, tempat kerja siapa yang di masa depan lebih langgeng?
Jika kita bersama pasangan saat ini masih berstatus karyawan, pandai-pandailah mengambil keputusan. Telitilah, dalam situasi dunia yang tidak menentu ini. Tanyakah hal ini, tempat kerja siapa yang bakal lebih langgeng dan memberikan jaminan hidup yang lebih cerah? Kita boleh saja mempertimbangkan posisi jabatan yang saat ini kita pegang.
4. Tanyalah siapa yang lebih memiliki skill untuk bekerja secara mandiri?
Ini adalahpersiapan bekerja dari rumah.Orang yang bekerja di rumah, selain dituntut memiliki jaringan pertemanan yang luas, juga mutlak punya kemampuan bekerja secara mandiri. Tidak mengandalkan tuntutan atasan, karena kita adalah bawahan sekaligus pimpinan. Tidak mengandalkan kenaikan gaji karena tebal-tipisnya dompet kita tergantung dari kemampuan kita mengatur ritme pekerjaan. Tidak peduli apa profesi kita, kemampuan mengurusi urusan pekerjaan dari alfa sampai omega yang seabrek, mesti dimiliki. Siapa yang sudah terbiasa dengan keadaan semacam ini? Kita-kah? Atau pasangan kita?