Kecewa dengan Perjanjian Renville, Kartosoewirjo kemudian menggelorakan gerakan Darul Islam untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.
Intisari-Online.com -Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo tak hanya teman satu indekos dengan Soekarno alias Bung Karno.
Lebih dari itu, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, itu adalah lawan politik supertanggung bagi Sang Proklamator.
Dialah pendiri Darul Islam yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia.
Beberapa kali Pancasila sebagai dasar negara mendapat ancaman.
Salah satu upaya mengganti Pancasila dengan ideologi lain pada awal kemerdekaan adalah pendirian Negara Islam Indonesia (NII).
NII adalah kelompok Islam di Indonesia yang berkeinginan untuk membentuk negara Islam.
Sosok yang berada di balik gerakan ini adalahSM Kartosoewirjo.
Kartosoewirjo mendirikan NII karena kecewa terhadap pemerintah Indonesia.
Terutama setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.
Menurut Kartosuwiryo, perjanjian Renville dianggap tidak melindungi warga Jawa Barat.
Selain itu, perjanjian Renville juga dianggap hanya menjadi alat untuk mengelabui para tokoh penting Indonesia agar tunduk pada pemerintah Hindia Belanda.
Didorong dengan kejadian ini, Kartosuwiryo kemudian mengumumkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949.
Rupanya, aksi yang dilakukan Kartosuwiryo juga diikuti oleh beberapa daerah lain, seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan Selatan.
Aksi yang mereka lakukan dikenal dengan nama pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Dalam proklamasi Darul Islam disebutkan bahwa hukum yang berlaku dalam NII adalah hukum syariat Islam.
Selain itu, proklamasi NII juga menegaskan bahwa negara berkewajiban untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat Islam serta penolakan ideologi lain selain Al-Qran dan hadis.
Untuk mengatasi peristiwa ini, pemerintah menerjunkan pasukan militernya.
Pada akhirnya, setiap pemberontakan DI/TII dapat diselesaikan.
Riwayat Kartosuwiryo
SM Soewirjo lahir di Cepu, 7 Januari 1905.
Dia merupakan putra dari seorang lurah di Cepu bernama Ronodikromo, yang masih keturunan Arya Penangsang, adipati Jipang pada abad ke-16.
Saat berusia 8 tahun, Kartosoewirjo bersekolah di Inlandsche School der tweede Klasse (ISTK), sekolah bagi kalangan bumiputera.
Empat tahun kemudian, ia lanjut bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah untuk orang Eropa di Bojonegoro.
Tidak semua orang dapat masuk ke ELS, khususnya orang Indonesia.
Orang Indonesia yang berhasil masuk ke ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan tinggi, salah satunya Kartosoewirjo.
Setelah lulus dari ELS tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Kedokteran.
Sewaktu bersekolah di sana, ia bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto.
Dia bahkan sempat tinggal dan menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi HOS Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto telah sangat mempengaruhi pemikiran Kartosoewirjo agar lebih tergerak dalam aksi politik.
Sayangnya,antusiasme Kartosoewirjo dalam dunia politik membuatnya dikeluarkan dari sekolah tahun 1927.
Dia dianggap sebagai aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
Setelah tidak lagi bersekolah, Kartosoewirjo bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran Harian Fadjar Asia.
Di sana, dia aktif menulis tentang pertentangan terhadap bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda.
Kartosuwiryojuga menyerukan agar kaum buruh segera bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka.
Puncak kariernya pun melejit setelah ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada September 1927.
Tahun 1937, ia memutuskan keluar dari PSII untuk mendirikan gerakan politiknya sendiri yang mengadvokasi Negara Islam Indonesia di masa depan berdasarkan hukum syariah.
Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, tahun 1945 hingga 1949, Kartosoewirjo turut terlibat aktif.
Namun, sikap kerasnya membuat Kartosoewirjo kerap bertolak belakang dengan pemerintah.
Dia sempat menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah.
Perintah long march tersebut merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville.
Perjanjian Renville ini dibentuk hanya untuk mengelabui orang-orang penting agar bersedia patuh terhadap Hindia Belanda.
Oleh sebab itu, Kartosoewirjo menolak dengan tegas semua perjanjian yang diadakan dengan Belanda.
Karena rasa kecewanya terhadap pemerintah pusat, Kartosoewirjo bertekad untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII).
Kartosoewirjo kemudian mengumumkan terbentuknya NII pada 7 Agustus 1949.
Beberapa daerah yang menyatakan menjadi bagian dari NII adalah Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terbentuknya NII kemudian memancing reaksi dari pemerintah Indonesia dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo.
Tidak ingin tinggal diam, Kartosoewirjo mengerahkan pasukannya dengan melakukan perang gerilya melawan pemerintah.
Kartosoewirjo memimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Selama tahun 1950-an, karena lemahnya pemerintah pusat dan koordinasi militer yang kurang baik memungkinkan Darul Islam untuk berkembang.
Mereka menguasai sepertiga Jawa Barat, bahkan melancarkan serangan sampai ke pinggiran Jakarta.
Tahun 1959, Soekarno membentuk pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang kemudian menjadi titik balik nasib Darul Islam.
Militer memperkenalkan metode pagar kaki yang efektif untuk mengepung semua pangkalan gunung gerilyawan dan memotong jalur pasukan dan pelarian mereka.
Militer memaksa para pemberontak untuk memilih antara menyerah atau tewas di tempat.
Menanggapi perlawanan tersebut, Kartosoewirjo menyatakan Perang Total tahun 1961, di mana gerilyawan DI menggunakan taktik terror dan bandit terhadap warga sipil.
Dia juga mengirimkan salah seorang anggotanya pada Mei 1962 untuk melakukan upaya pembunuhan terhadap Soekarno saat ia sedang salat Idul Adha.
Namun, rencananya tersebut gagal.
Juni 1962, Kartosoewirjo berhasil ditangkap di tempat persembunyiannya di Gunung Geber dekat Garut.
Dia pun mengeluarkan perintah kepada para pengikutnya untuk menyerah.
Akhirnya, pada Agustus 1962, pasukan DI di Jawa Barat yang beroperasi di Gunung Ciremai menarik mundur pasukannya.
Kartosoewirjo diadili oleh pengadilan militer dan dinyatakan bersalah atas pemberontakan dan percobaan pembunuhan Presiden Soekarno.
Dia dijatuhi hukuman mati dengan ditembak pada 5 September 1962.