Intisari-online.com -Pangeran Puger adalah salah satu sosok penting dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam.
Ia adalah anak dari Amangkurat I dan cucu dari Sultan Agung.
Ia juga merupakan pamannya Amangkurat III dan pendiri dinasti Pakubuwana yang berkuasa di Surakarta.
Namun, sebelum menjadi raja, ia pernah mengalami konflik dan pemberontakan melawan saudara-saudaranya karena merasa pantas atas singgasana Mataram.
Pangeran Puger terlahir dengan nama Raden Mas Darajat pada tahun 1648 di Plered, ibu kota Mataram saat itu.
Ia adalah anak dari Ratu Wetan, permaisuri kedua Amangkurat I yang berasal dari keluarga Kajoran, keturunan Pajang.
Ia memiliki saudara tiri dari Ratu Kulon, permaisuri pertama Amangkurat I, yaitu Raden Mas Rahmat yang kemudian bergelar Amangkurat II.
Pada tahun 1674, terjadi pemberontakan Trunajaya yang dipimpin oleh seorang pangeran dari Madura.
Pemberontakan ini didukung oleh beberapa adipati dan bangsawan Mataram, termasuk keluarga Kajoran.
Amangkurat I merasa kecewa dan mencabut gelar putra mahkota (adipati anom) dari Raden Mas Darajat yang sebelumnya telah ia berikan sebagai pengganti Raden Mas Rahmat yang ia anggap tidak setia.
Pada tahun 1677, pemberontakan Trunajaya mencapai puncaknya dengan menyerang Keraton Plered.
Baca Juga: Pengkhianat Mataram yang Diinjak-injak di Kompleks Makam Sultan Agung Hingga Saat Ini
Amangkurat I melarikan diri ke arah barat dan menugaskan Raden Mas Rahmat untuk mempertahankan istana.
Namun, Raden Mas Rahmat menolak dan ikut mengungsi.
Pangeran Puger pun tampil menggantikan kakak tirinya untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa ia tidak terlibat dalam pemberontakan Trunajaya.
Namun, pasukan Trunajaya terlalu kuat dan Pangeran Puger terpaksa mundur ke desa Jenar (sekarang di Purwodadi, Purworejo).
Di sana ia mendirikan istana baru bernama Purwakanda dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Susuhunan Ingalaga.
Ia juga mengirim utusan ke VOC untuk meminta bantuan melawan Trunajaya.
Sementara itu, Amangkurat I meninggal di Tegal pada tahun 1677 dan digantikan oleh Raden Mas Rahmat sebagai Amangkurat II.
Amangkurat II berhasil mengalahkan Trunajaya dengan bantuan VOC pada tahun 1681 dan memindahkan ibu kota Mataram ke Kartasura.
Namun, hubungan antara Amangkurat II dan Pangeran Puger tidak harmonis.
Pangeran Puger merasa lebih berhak menjadi raja Mataram karena ia lebih tua dan lebih setia daripada Raden Mas Rahmat.
Baca Juga: Inilah Sosok Raja Mataram Kolektor Mobil Pertama di Indonesia
Ia juga tidak senang dengan ketergantungan Amangkurat II terhadap VOC yang dianggapnya sebagai penjajah.
Pada tahun 1703, Amangkurat II meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Amangkurat III.
Namun, tak lama kemudian terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Blitar (putra Amangkurat II dari selir) yang didukung oleh beberapa adipati dan bangsawan Mataram lainnya.
Pangeran Blitar bersekutu dengan Pangeran Purbaya, adiknya yang lain, dan beberapa pangeran lainnya untuk melawan Amangkurat IV.
Pangeran Blitar tidak puas dengan kebijakan kakaknya yang mendukung VOC dan merasa dirinya dirugikan oleh penurunan jabatan dan pengurangan wilayah kekuasaannya.
Pada Juni 1719, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya menyerang Keraton Kartasura, ibu kota Mataram saat itu.
Mereka didukung oleh seluruh pemimpin Islam di istana dan mendapat dukungan dari ibu mereka, Ratu Pakubuwana, yang memiliki pengaruh kuat di istana.
Namun, serangan mereka gagal karena Amangkurat IV berhasil melarikan diri dengan bantuan VOC.
Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya terus mengobarkan perlawanan di berbagai daerah.
Mereka juga mendapat bantuan dari putra-putra Untung Suropati, pahlawan perlawanan terhadap VOC.
Pada tahun 1720, Pangeran Blitar mendirikan kerajaan baru di Karta, bekas ibu kota Mataram zaman Sultan Agung.
Baca Juga: Kisah Tragis Pangeran Blitar, Pemberontak yang Nyaris Jadi Raja Mataram Islam
Ia mengangkat diri sebagai raja dengan gelar Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana, dan kerajaannya disebut Mataram Kartasekar.
Ia juga mengklaim sebagai pewaris sah dari Sultan Agung.
Namun, keberadaan kerajaan baru ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1721, pasukan gabungan Amangkurat IV dan VOC menyerbu Karta dan menghancurkannya.
Pangeran Blitar terpaksa melarikan diri ke arah timur. Ia berusaha mencari perlindungan dari Sunan Giri, tetapi ditolak.
Akhirnya, ia ditangkap oleh pasukan VOC di daerah Tuban pada tahun 1722. Ia dibawa ke Batavia dan dipenjara di Kasteel Batavia.
Ia meninggal di sana pada tahun 1723 karena sakit.
Pangeran Blitar adalah salah satu tokoh yang nyaris menjadi raja Mataram jika berhasil mengalahkan Amangkurat IV dan VOC.
Ia adalah salah satu pemberontak yang berani melawan penjajahan VOC dan membela kehormatan Mataram.