Makam alias pesarean Gunung Kawi, tempat bersemayamnya keturunan Raja Mataram Islam di lereng Kawi. Benarkah ia digunakan sebagai tempat ngalap berkah?
Intisari-Online.com -Bagi yang hobi ngalap berkah tentu tak asing dengan Gunung Kawi yang ada di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Terlepas dari desas-desus soal tempat ngalap berkah itu, di sana memang bersemayam Makam Gunung Kawi.
Kesohorannya sudah sampai mana-mana, bahkan konon katanya hingga Jazirah Arabiya.
Majalah Intisari pernah sengaja langsung datang ke sana untuk melihat seperti apa tempat peristirahatan terakhir keturunan Raja Mataram Islam itu.
Kala senja tiba, siratan nuansa cahya mentari yang berangkat ke peraduan membayang elok di ufuk barat. Kicau burung-burung berebut tempat bertengger berpadu dengan eretan suara belalang, menggores kalbu.
Dan sisi barat kompleks makam terdengar alunan merdu suaraazanmaghrib....Lambaian dedaunan yang diterpa angin seakan berucap selamat tinggal senja, danselamat datangrembulan dan bintang ....
Sungguh, sebuah harmoni indah kehidupan alam yang sulit diukur dengan kata-kata ....
Sungguh mati, ini bukan kecap untuk mengundang wisman (wisatawan mancanegara). Apalagi upaya untuk mengatrol jumlah wisman dalam rangka Visit Indonesia Year 1991, yang diduga terpengaruh gara-gara meletusnya Perang Teluk.
Kalimat-kalimat rada puitis itu cumalah upaya pelukisan suasana sebuah tempat peziarahan terpencil, tapi kondang, nun di lereng Gunung Kawi (2.651 m), sekitar 40 km sebelah barat Kota Malang, Jawa Timur.
Makam Gunung Kawi. Begitulah merek dagang tempat itu dikenal. Suasana alam yang dilukiskan R. Soelardi Soerjowidagdo, dalam buku petunjuk "resmi" tentang tata cara ziarah dan riwayat Makam Gunung Kawi yang ditulisnya itu, memang tidak terlalu dibesar-besarkan.
Malah masih bisa ditambah lagi dengan unsur lain: hawa sejuk, udara bersih komplet dengan sejumlah penginapan dan hotel yang representatif, warung makan, restoran, dan fasilitas lain yang memadai. Pokoknya, soal itu rasanya tak perlu ditanya lagi. Semua beres.
Mau piknik atau berziarah? Itu terserah. Yang jelas, sejak puluhan tahun lalu Makam Gunung Kawi begitu kondang dan banyak dikunjungi para petualang ziarah yang inginngalop berkahdi sana.
Konon, berkah apa saja boleh diminta. Keselamatan, enteng jodoh, lancar rezeki, ingin dapat anak atau harapan diwangsiti nomor kode buntut.
Markas lelembut
Sejak dari kapan-kapan yang namanya kuburan, makam,pesareanatau entah apa namanya, umumnya berkonotasi angker, seram dan Iain-lain yang bisa bikin badan meriang.
Konon, menurut yang diyakini sementara orang, kuburan itu merupakan markas segala macam margalelembutatau roh halus, bahkan pos hantu berkumpul.
Tapi, yang ini rada lain. Berkesan mewah, berhiaskan lampu-lampu kristal megah, berlantai karpet merah, dengan bangunan berbentuk nisan raksasa, daya angker yang melekat pada sosok Makam Gunung Kawi seperti cair.
Padahal seperti umumnya areal sebuah kuburan Jawa, makam itu pun dikepung pohon-pohon beringin dan entah pohon apa lagi yang besar-besar dan rimbun. Meski begitu, suasana khas sebuah kuburan suma sekali bukannya tak ada.
Suasana itu akan tercium tatkala orang memasuki ruangan tempat batu nisan berada. Aroma asap kemenyan yang berbaur dengan wangi asap hio dan harum bunga mawar, mau tak mau akan membawa pikiran orang ke alam magis dan sakral.
Namun, ruangan seluas 300 m2 yang mampu menampung hampir seribu manusia duduk bersila itu berubah pengap, manakala tiba saatnya peziarah memasuki pendopo makam untuknyekardan menyampaikan maksudnya lewat Mbah Asim Nitiredjo, sang juru kunci.
Waktu untuk berziarah memang diatur. Entah apa maksudnya. Pagi dimulai pukul 09.00, siang 14.00 dan malamnya 19.00. Sedangkan khusus bagi mereka yang mau berziarah keliling pendopo makam, dijatah mulai pukul 24.00 - 01.00.
Jumlah pengunjung atau peziarah memang agak mencolok. Pada hari-hari biasa saja, makam yang kondangnya sebagai tempat berburu hoki itu didatangi ratusan orang.
Apalagi ketika tiba malam Jumat Legi atau Senin Pahing, yang diyakini oleh yang percaya sebagai malam-malam paling afdol buatngalap berkah,jumlah pengunjung melejit. Sejak pagi hingga petang hari arus anak manusia seperti tak putus-putus.
Tak heran jika malam-malam seperti itu, sekitar 5,000 orangtumplek blekdi sana. Jumlah itu bakal mencapai klimaksnya pada tanggal 12 Suro (Muharam) setiap tahunnya, ketika berlangsung tahlil akbar, upacara khusus memperingati wafatnya salah seorang yang dimakamkan di sana.
Ketika itu jumlah pengunjung bisa menembus angka belasan ribu. "Kompleks makam seluas 1 ha itu seperti tak mampu menampung membludaknya pengunjung," kata seorang penduduk setempat.
Pengunjung Makam Gunung Kawi yang berada pada ketinggian sekitar 800 m dari permukaan laut itu, datang dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak sampai orang tua, pria atau wanita. Ada pegawai, pengusaha, pejabat, tokoh atau pemimpin masyarakat dan juga rakyat kecil.
Mereka bukan hanya berasal dari Kota Malang, Surabaya atau daerah-daerah lain yang berdekatan dengan lokasi makam, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air. Malah dari catatan buku tamu, bisa dijumpai pengunjung asal mancanegara.
Dari Singapura, Malaysia, RRC, Taiwan, Hong Kong, Jepang, India, Kangda, AS, Suriname, Inggris, Belanda, Jerman Barat, Australia, bahkan dari berbagai daerah di Timur Tengah. Sulit dilacak apa maksud kedatangan para wisnian ini.
Keturunan raja-raja
Dari sisi luasnya pengunjung paling tidak gampang diduga sampai di mana gaung popularitas Makam Gunung Kawi itu bergema.
Makam Gunung Kawi sebenarnya tak beda dengan tempat-tempat peziarahan lain yang bertaburan di Jawa. Seperti di Gunung Jati, Gunung Muria, Gunung Kemukus atau sejenisnya, aktivitas di sana juga berpusat pada makam orang yang dianggap punyadoyo linuwihatau “kesaktian”.
Yang jadi bintang pujaan spiritual di sana ada dua, Mbah Djoego dan Mbah Imam Soedjono. Konon kabarnya kedua eyang itu dimakamkan dalam satu liang lahat.
Menurut pakem “resmi” seperti dikemukakan oleh R. Soelardi Soerjowidagdo (50), putra juru kunci makam yang masih ada hubungan darah dengan R.M. Imam Soedjono keduanya tokoh kharismatik asal Kerajaan Mataram abad ke-19.
Djoego hanyalah nama samaran. Aslinya Kanjeng Kiai Zakaria II, keturunan penguasa Mataram Surakarta yang memerintah pada abad ke-18.
Sedangkan Raden Mas Iman Soedjono, keturunan penguasa Keraton Mataram Yogyakarta yang berkuasa pada abad yang sama.
Semasa hidup, keduanya dikenal sebagai tokoh keagamaan, pendakwah (dai), dan juga sebagai pemimpin dan panutan masyarakat yang dekat dengan rakyat kecil, terutama di Jawa Timur.
Mereka pun disegani karena sifat-sifat patriotiknya. Keduanya, konon, adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro di zaman perang melawan Belanda (1825 - 1830).
Kiai Zakaria II sendiri adalah cicit dari Sunan Paku Buwono I, penguasa Keraton Mataram tahun 1705 - 1719. Sedangkan R.M. Iman Soedjono adalah cucu Bendoro Pangeran Haryo Balitar, dan cicit Sri Sultan Hamengku Buwono I yang bertahta di Keraton Yogyakarta tahun 1755 - 1792.
Setelah Diponegoro tertangkap Kompeni di Magelang, anggota laskarnya kocar-kacir dan pecah. Dalam pengembaraannya ke arah timur, Kiai Zakaria II sampai di Desa Sanan, Kesamben, Blitar (Jatim).
la menyandang nama samaran Sadjoego, yang arti harfiahnya sendirian, agar tidak diketahui musuh (Belanda). Di sanalah ia menetap, hingga meninggal pada tanggal 22 Januari 1871.
Jenazahnya baru dikebumikan empat hari kemudian, Kamis Kliwon 25 Januari 1871, mengingat perjalanan dari Blitar ke Gunung Kawi bukan perjalanan yang mudah.
Iring-iringan pembawa jenazah harus melalui jalan setapak, menembus hutan lebat, lereng-lereng terjal dan tebing-tebing curam. Sebelum meninggal, ia berpesan kepada Iman Soedjono agar jazadnya nanti dikuburkan di lereng Gunung Kawi.
Sepeninggal sesepuhnya, R.M. Iman Soedjono memutuskan untuk menetap di Desa Wonosari, tempat Mbah Djoego dimakamkan itu. Dialah yang kemudian merawat pusaranya, di samping sehari-harinya bertani padi gaga dan palawija.
Sementara itu, Iman Soedjono tetap melakukan dakwah kepada para pengikutnya maupun tamu yang datang ke rumahnya, sekaligus berziarah ke makam Mbah Djoego.
Enam tahun setelah Mbah Djoego meninggal, yakni tanggal 12 Suro 1805 yang bertepatan dengan tanggal 8 Februari 1876, R.M. Iman Soedjono pun berpulang dan dimakamkan dalam satu liang lahat bersama almarhum Mbah Djoego, sesuai dengan wasiat pendahulunya itu.
(Seperti pernah dimuat di MajalahIntsiariedisi Maret 1991)