Intisari-Online.com -Bukan hanya namanya yang berubah beberapa kali, Jakarta atau yang dulu masih bernama Batavia juga pernah mendapat julukan 'Kota Tahi'.
Julukan tersebut diberikan oleh prajurit Mataram pada Kota Batavia usai perang habis-habisan melawan pasukan Belanda pada tahun 1628.
Terdesak dan kehabisan mesiu, pasukan Belanda menggunakan peluru paling jorok untuk memukul mundur pasukan Mataram.
Ada beberapa catatan sejarah yang mendeskripsikan peristiwa tersebut.
Johan Neuhof telah menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC.
Buku itu berjudul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham yang terbit pada 1669.
Dalam terjemahan itu disebutkan, prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoute Hollandia (sebuah benteng dengan bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara) di Batavia pada 1628.
Prajurit Mataram melancarkan serangan hebat pada kubu Belanda di paruh kedua September 1628.
Sersan Hans Madelijn bersama 24 serdadunya—yang kabarnya hanya didukung dua artileri tempur—mencoba bertahan dari serangan pengepung.
Garnisun (kelompok pasukan) Kota Batavia telah dikepung selama sebulan penuh, sejak Agustus, sehingga komandan Mataram merasa yakin dapat merebut kubu ini.
Pada malam 21 dan 22 September 1628, pertempuran hebat terjadi.
Sengitnya perlawanan membuat garnisun VOC pun kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.
Hal ini juga dapat dilihat dalam catatan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen dalam laporannya kepada Dewan Hindia pada 3 November 1628.
"Sebanyak 24 orang kami yang berada di kubu itu memberikan perlawanan yang gigih, sehingga sepanjang malam itu semua musuh berhasil dipukul mundur sampai semua mesiu habis."
Menghadapi kondisi terpojok, Sersan Hans Madelijn, punya sebuah gagasan 'gila' untuk mengusir pasukan Mataram.
Dia menyelinap ke ruang serdadu kemudian menyuruh anak buahnya untuk membawa sekeranjang penuh tinja.
Putus asa dan terdesak, kubu ini melemparkan tinja mereka ke tubuh-tubuh serdadu musuh.
Paskuan Mataram pun lari tunggang-langgang karena serangan peluru jorok itu.
Tampaknya, hasil dari gagasan Madelijn itu cukup manjur.
“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!” (O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi) demikian pekik prajurit Mataram, yang dikisahkan ulang oleh Neuhof.
Prajurit Mataram dibuat jengkel karena terkena serangan rpeluru yang sangat bau itu.
Hari berikutnya, prajurit Mataram memilih mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia.
Serangan Mataram pun gagal.
Lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”.
Kelak, orang Jawa mencatat ada dua kota di Batavia, Kota Intan dan Kota Tahi.
Sementara itu, atas keberhasilan mengusir serangan Mataram, Sersan Madelijn mendapat kenaikan pangkat.
Namun karena ia merupakan warga Jerman, pangkat barunya tak terlalu tinggi, yakni hanya menjadi letnan.
Thomas Stamford Raffles juga menceritakan perihal sebutan 'Kota Tahi' dalam bukunya yang bertajuk History of Java Volume II halaman 168, terbit di London pada 1817.
"...Pada waktu itu, karena orang-orang Belanda dapat dipukul oleh keganasan orang-orang Jawa, mereka terpaksa menggunakan batu-batuan sebagai ganti bola-bola besi untuk amunisi meriam. Namun usaha tersebut menemui kegagalan," tulis Raffles.
"Sebagai usaha terakhir, mereka melemparkan kantong-kantong berisi kotoran yang berbau busuk sekali ke arah orang-orang Jawa, dan sejak saat itulah benteng itu dijuluki dengan nama Kota tahi."
(*)