Nomo Koeswoyo Wafat: Kisah Musik Ngak-Ngik-Ngok dan Foto Ikonis Bung Karno

Ade S

Editor

Ilustrasi musik Ngak-Ngik-Ngok. Kolase Koes Bersaudara (band yang kemudian ditinggalkan Nomo Koeswoyo) dan Bung Karno
Ilustrasi musik Ngak-Ngik-Ngok. Kolase Koes Bersaudara (band yang kemudian ditinggalkan Nomo Koeswoyo) dan Bung Karno

Intisari-Online.com -Wafatnya Nomo Koeswoyo pada Rabu (15/3/2023) di Magelang, Jawa Tengah, mengingatkan kembali pada grup band Koes Bersaudara.

Sebuah grup band yang kelak berganti nama menjadi Koes Plus tersebut tidak hanya terkenal karena karyanya, namun juga karena sikap Presiden Indonesia kala itu, Bung Karno, yang membencinya.

Bung Karno kala itu menyebut jenis-jenis musik yang dibawakan oleh Koes Bersaudara atau Koes Plus sebagai musik ngak-ngik-ngok.

Foto ikonis Bung Karno

Sebuah foto Presiden Soekarno sedang menutup kedua telinganya saat pertunjukan musik beredar di internet.

Foto hitam putih tersebut diambil pada tanggal 9 Juli 1965 ketika Soekarno melakukan kunjungan ke Athena, Yunani.

Saat itu, Soekarno disambut oleh Trio Greco, sebuah grup musik asal Yunani.

Dalam foto tersebut, Soekarno terlihat sedikit tersenyum dan merokok.

Soekarno sedang bercanda karena saat itu dia sedang mengampanyekan larangan mendengarkan musik barat.

Menurut Soekarno, musik barat dianggap sebagai "musik ngak ngik ngok", terutama lagu-lagu dari grup musik seperti The Beatles, Rolling Stone, dan The Shadow.

Menurut Soekarno, lagu-lagu barat tidak sesuai dengan semangat kebangsaan dan menampilkan kebudayaan negara-negara imperialis yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia.

Baca Juga: Nomo Koeswoyo Meninggal Dunia, Koes Bersaudara Ternyata Pernah Disiapkan Jadi Mata-mata Negara Saat Manggung Di Malaysia

Sikap ini diungkapkan Bung Karno dalam pidato yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" pada tanggal 17 Agustus 1959 di Istana Merdeka.

”Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya antiimperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik..."

"Kenapa di antara engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n’roll—rock n’roll-an, dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi....”

Dilarang dan bisa berujung penjara

Sebagai akibatnya, musik rock and roll dilarang untuk diputar di radio dan dipertunjukkan dalam acara musik.

Bahkan, pemerintah sampai memberikan sanksi bagi masyarakat yang masih mendengarkan dan memperjualbelikan karya-karya The Beatles dan Rolling Stone.

Polisi yang didukung oleh para pemuda yang berafiliasi dengan Lekra, pada waktu itu, merazia piringan hitam The Beatles, Rolling Stone, dan The Shadow.

Bahkan, grup musik Koes Bersaudara yang kini dikenal dengan nama Koes Plus ikut terkena getahnya karena penampilan dan lagu-lagu mereka yang mirip dengan The Beatles.

Lagu-lagu Koes Bersaudara yang bertemakan percintaan di kalangan remaja pun ikut terkena razia. Piringan hitam yang berisikan lagu-lagu mereka dihancurkan.

Koes Bersaudara bahkan sempat dipenjara karena kedapatan memainkan lagu The Beatles di sebuah acara makan malam di Jakarta pada tanggal 24 Juni 1965.

Belakangan, Nomo Koeswoyo menyampaikan bahwa sebenarnya saat itu mereka memang sengaja dicitrakan sebagai musuh pemerintah.

Baca Juga: Ternyata Koes Plus Pernah Disiapkan Jadi Agen Mata-mata Negara saat Manggung di Malaysia

Ada tujuan lebih besar dari "pencitraan" yang buruk tersebut, yaitu mereka sedang disiapkan menjadi mata-mata.

Mata-mata untuk apa? Simak selengkapnya dalam artikel Nomo Koeswoyo Meninggal Dunia, Koes Bersaudara Ternyata Pernah Disiapkan Jadi Mata-mata Negara Saat Manggung Di Malaysia.

Lagu berbahasa daerah naik

Larangan terhadap musik rock and roll saat itu justru memberi dampak positif bagi musik-musik berbahasa daerah.

Pada masa itu, terjadi peningkatan dalam lagu-lagu berbahasa daerah dan tari lenso dari Maluku menjadi populer.

Naiknya lenso tercermin dalam lagu "Mari Berlenso" ciptaan Mus Mualim dan Mochtar Embut, yang dipopulerkan oleh Lilis Suryani.

Bagian lirik lagu ini adalah interpretasi dari pidato Bung Karno. Lagu ini menekankan unsur perkusi dan gendang tifa yang penuh semangat.

Bung Karno sendiri memiliki keterlibatan dalam musik pop. Ia tercatat sebagai penulis lagu "Bersuka Ria" di album produksi Irama pada tahun 1965.

Lagu ini dinyanyikan oleh beberapa penyanyi seperti Rita Zaharah, Nien Lesmana, Titiek Puspa, dan Bing Slamet, dan diiringi oleh Orkes Irama pimpinan Jack Lesmana.

Album ini juga dilengkapi dengan pantun politik yang memperjuangkan anti-neokolonialisme-imperialisme.

Album "Bersuka Ria" menjadi istimewa karena disertai dengan persetujuan dan tanda tangan Bung Karno sendiri bertanggal 14 April 1965.

Baca Juga: Wow, Ternyata Koes Plus Pernah Disiapkan Jadi Agen Mata-mata Negara saat Manggung di Malaysia

Artikel Terkait