Intisari-Online.com - Sengketa Blok Ambalat merupakan salah satu sengketa batas wilayah yang dihadapi Indonesia.
Sengketa batas wilayah tersebut terjadi antara Indonesia dan Malaysia.
Kasus sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia ini pun menyedot perhatian publik.
Lalu, bagaimana sikap Indonesia menghadapi sengketa batas wilayah Blok Ambalat dengan Malaysia?
Pertanyaan tersebut terdapat pada halaman 161 buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/SMK Kelas XI.
Pada bagian 4 unit 1 buku tersebut dibahas mengenai "Sengketa Batas Wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia".
Sejarah Singkat Sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan malaysia
Blok Ambalat merupakan blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di Selat Makassar di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia.
Wilayah tersebut mengandung potensi minyak dan gas yang jika dimanfaatkan secara maksimal dapat bertahan hingga waktu yang lama.
Terkait wilayah tersebut, pada 27 Oktober 1969 telah ditandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia, yang kemudian diratifikasi oleh masing-masing negara pada tahun yang sama.
Blok Ambalat berdasarkan perjanjian tersebut merupakan milik Indonesia.
Baca Juga: Mengapa Indonesia dan Malaysia Memilih Jalan Damai dalam Menyelesaikan Sengketa Blok Ambalat?
Namun, pada tahun 1979, secara sepihak Malaysia memasukkan Ambalat ke dalam wilayah negaranya.
Hal tersebut mengakibatkan Malaysia memperoleh protes, tidak hanya oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara lain, seperti Inggris, Thailand, China, Filipina, Singapura, dan Vietnam.
Klaim sepihak dan beragam tindakan provokasi itu pun berdampak pada peningkatan eskalasi hubungan kedua negara.
Sikap Indonesia dalam Menghadapi Sengketa Blok Ambalat
Pada 1980, Indonesia tegas menyatakan protes terhadap pelanggaran itu.
Indonesia juga menilai klaim Malaysia merupakan keputusan politik, dan sama sekali tidak mempunyai dasar hukum.
Bagi Indonesia, dan juga oleh negara-negara lain, garis batas yang ditentutakan Malaysia keluar dari ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sejauh 200 mil laut.
Malaysia mengklaim Ambalat dengan menerapkan prosedur penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline) dari Pulau Sipadan dan Ligitan yang berhasil mereka rebut pada tahun 2002.
Malaysia berargumentasi bahwa tiap pulau berhak memiliki laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri.
Namun, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa penetapan batas landas kontinen mempunyai ketentuan khusus yang menyebut keberadaan pulau-pulau yang relatif kecil tidak akan diakui sebagai titik ukur landas kontinen.
Malaysia juga merupakan negara pantai (coastal state) dan bukan negara kepulauan (archipelagic state) sehingga tidak bisa menarik garis pangkal dari Pulau Sipadan dan Ligitan.
Baca Juga: Cara Mengenali Tradisi dan Kearifan Masyarakat di Negara-negara Lain
Sebagai negara pantai, Malaysia seyogianya menggunakan garis pangkal biasa.
Atas sengketa ini, Indonesia dan Malaysia memilih jalan damai, terlihat dari perundingan-perundingan yang sudah dilakukan oleh perwakilan kedua negara.
Pada tahun 2009, pemerintah Indonesia juga pernah menyebut tidak akan membawa masalah Blok Ambalat ke Mahkamah Internasional mengingat posisi Indonesia yang kuat.
Pilihan damai dan mengakhiri konflik dalam kasus sengketa Blok Ambalat ini, bagi pemerintah Indonesia melalui Presiden SBY, memiliki sejumlah pertimbangan.
Pertama, kedekatan kultur atau budaya Indonesia dengan Malaysia yang sudah terjalin ratusan tahun lamanya.
Kedua, terdapat jutaan penduduk Indonesia yang berada di Malaysia.
Ketiga, hubungan bilateral kedua negara yang sangat baik sebagai sesama pendiri ASEAN.
Meski demikian, Indonesia tetap meyakini Ambalat merupakan kelanjutan alamiah dari lempeng benua Kalimantan.
Indonesia tetap berpegang teguh pada UNCLOS 1982 yang menyebutkan bahwa landas kontinen dihitung sejauh 200 mil laut dari garis pangkalnya (UNCLOS 1982, Pasal 76 dan 57).
Selain itu, Indonesia telah lebih dulu dikenal sebagai negara kepulauan (archipelagic state) melalui Deklarasi Djuanda 1957, yang kemudian diperjuangan masuk ke dalam forum UNCLOS.
Pemerintah Indonesia berulang kali menegaskan bahwa kedaulatan Indonesia merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar.
Baca Juga: Cara Mengenali Tradisi dan Kearifan Masyarakat di Negara-negara Lain
(*)