Intisari-Online.com - Bagaimana cara mengikis prasangka (prejudice), stereotyping, dan fanatisme agama yang berlebihan?
Pertanyaan "Bagaimana cara mengikis prasangka (prejudice), stereotyping, dan fanatisme agama yang berlebihan?" terdapat pada halaman 136 buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas XI.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu pengertian dari istilah-istilah tersebut.
Pada bagian 3 unit 5 buku tersebut dipelajari mengenai stereotip, diskriminasi, hingga bullying.
Pengertian
1. Stereotip
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Jumalis Walter Lippmann (1992), yang dimaknai sebagai the little pictures we carry around inside our head, di mana gambaran-gambaran tersebut merupakan skema mengenai kelompok.
"Manstead dan Hewstone mendefinisikan stereotip sebagai societally shared beliefs about the characteristics (such as personality traits, expected behaviors, or personal values) that are perceived to be true of social groups and their members" (keyakinan tentang karakteristik seseorang (seperti ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai kebenaran kelompok sosial.
Stereotip adalah proses kognitif, bukan emosional, sehingga ia tidak selalu mengarah kepada tindakan yang sengaja dilakukan untuk melecehkan.
Stereotip ini seringkali digunakan untuk menyederhanakan dunia tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang detail di dalamnya.
Contohnya, seseorang akan terkejut jika menjumpai sopir taksi perempuan, karena profesi sopir taksi biasanya dijalankan oleh laki-laki.
Baca Juga: Apa Arti Kedaulatan Bagi NKRI? Simak Berikut Ini Penjelasannya
2. Prasangka atau Prejudice
Penilaian yang telah dimiliki sebelumnya terhadap suatu kelompok dan masing-masing anggota kelompoknya.
Pada dasarnya, prasangka bisa bersifat positif, bisa pula bersifat negatif.
3. Diskriminasi
Diskriminasi merupakan perilaku negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.
Swim (dalam (Byrne, 1991) menyatakan bahwa diskriminasi adalah tindakan negatif terhadap orang yang menjadi obyek prasangka seperti rasial, etnik, agama, sehingga dapat dikatakan bahwa diskriminasi adalah prejudice in action.
4. Perundungan
Istilah “bully” dalam Bahasa Inggris bermakna menggertak atau menindas.
Kata bullying ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan perundungan.
Secara sederhana, perundungan merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus.
Perundungan biasanya dibagi ke dalam 3 (tiga) jenis; fisik, verbal, dan mental.
Baca Juga: Termasuk Jejak Kerajaan Sriwijaya, Inilah 5 Tempat Bersejarah di Palembang
5. Fanatisme
Secara harfiah, arti fanatik berdasarkan asal mula kata tersebut adalah sifat tergila-gila, mabuk, atau hingar bingar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti fanatik adalah kepercayaan atau keyakinan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran, seperti politik dan agama.
Fanatik merupakan istilah untuk mengidentifikasi pengabdian yang luar biasa untuk sebuah objek.
Selain itu sikap fanatik bisa ditujukan pada objek dalam bentuk apapun.
Baik itu objek sebenar-benarnya objek (misal: individu, kelompok, partai, dan sebagainya), atau bisa jaga terkait suatu pandangan (misal: agama atau paham tertentu).
Secara umum, fanatik sering diartikan sebagai fenomena perasaan suka terhadap suatu hal secara penuh atau bahkan berlebihan.
Arti fanatik cukup sering dipandang negatif.
Pada dasarnya setiap orang bisa saja terjebak pada fanatisme atau sifat fanatik terhadap apa yang mereka sukai.
Cara mengikis prasangka (prejudice), stereotyping, hingga fanatisme agama
Untuk mengikis prasangka (prejudice), stereotyping, dan fanatisme agama yang berlebihan, yaitu dengan lebih mengenal keragaman yang ada di Indonesia.
Indonesia merupakan negara majemuk. Kenyataan ini dapat dilihat dari keragaman suku, agama, suku, bahasa, dan budaya yang ada di Indonesia.
Memahami tentang keragaman Indonesia salah satunya bisa melalui kunjungan dan dialog dengan tokoh masyarakat/adat/agama.
Seperti pepatah tak kenal maka tak sayang, dengan mengenal berbagai keragaman yang ada, kita akan menyadari bahwa keragaman merupakan keniscayaan yang harus disyukuri dan dirayakan.
Perbedaan dan kebinekaan harus diterima dengan lapang dada sebagai kekayaan bangsa Indonesia.
Setelah melakukan kunjungan dan dialog dengan tokoh-tokoh tersebut, diharapkan mampu mengikis diskriminasi dan stereotyping.
Sehingga, dapat melahirkan sikap toleran dan menghargai kelompok masyarakat/adat/agama lain.
(*)