Intisari-online.com - Ada aturan menarik di balik pernikahan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pengarep dan Erina Gudono.
Salah satu aturan tersebut, tamu undangan dilarang mengenakan motifbatik parang.
Aturan tersebut merupakan aturan yang dibuat langsung oleh pihak Pura Mangkunegaran.
"Untuk masuk Pura Mangkunegaran tidak boleh ada (batik) parang lereng," kata Walikota Solo Gibran.
"Ini aturan dari Kanjeng Gusti Mangkunegara X. Harusnya (tamu) sudah tahu semua," jelas Gibran, Selasa (6/12/2022).
Lantas mengapa motif batik parang ini dilarang dikenakan oleh tamu di Pura Mangkunegaran?
Mengutip Kompas.com, motifbatik parang ini sebenarnya motif batik dari Pulau Jawa.
Lantas apa masalahnya mengapa dilarang dikenakan di Pura Mangkunegaran?
Menurut,pensiunan dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) Aryo Sunaryo.
Ia menuturkan, batik parang atau lereng memang hanya dipakai oleh bangsawan atau raja saja.
Motif batik parang ini memang sudah ada sejak zaman berdirinya Kerajaan Mataram.
Baca Juga: Ritual ‘Potong Dasi Pengantin Pria’ Salah Satu Tradisi Pernikahan Spanyol yang Unik
Oleh karena itu, pihak keraton melarang penggunaan motif batik ini karena dianggap sakral dan penting.
"Karena itu, kalangan keraton menganggapnya sakral. Motif parang barong (parang besar) juga sempat menjadi larangan selain yang dipakai raja," kata Aryo dikutip dari Kompas.com, Selasa (6/12/2022).
Selain itu motif ini juga dianggap tak sembarangan, karena membedakan rakyat biasa dengan golongan bangsawan.
Batik parang pada zaman dahulu berfungsi sebagai kain panjang ataupun sebagai sarung.
Motif parang kemudian dikeramatkan, sehingga hanya bisa dikenakan oleh keluarga kerajaan.
Seperti raja mataram Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan Susuhunan Paku Buwono XII.
Bahkan ada aturan penggunaan batik parang untuk masyarakat umum.
Menurut Harian Kompas, aturan ini tertuang dalam Rijksblad van Djokjakarta atau Undang-Undang Keraton Yogyakarta Tahun 1927.
Ada delapan motif batik larangan, yakni rang rusak barong, parang rusak gendrek, parang rusak klithik, semen gedhe sawat grudha, semen gedhe sawat lor, udan riris, rujak senthe, dan parang-parangan yang bukan parang rusak.
Bahkan aturan tersebut masih tetap dipegang hingga saat ini.
Dalam beberapa acara keraton, tamu undangan diminta untuk tidak memakai motif batik parang.
Baca Juga: Merilekskan Isi Kepala Dengan Outbound Batik di Kampung Laweyan Solo
Sama halnya di Keraton Yogyakarta, aturan serupa juga berlaku di Keraton Surakarta.
Menurut naskah nomor 27 undang-undang yang berisi larangan mengenakan pakaian dan perlengkapan pakaian tertentu di Keraton Surakarta, ini dikeluarkan oleh Susuhunan Paku Buwono III (1749-1788).
Kain jarit yang termasuk larangan PB III atau raja pertama Keraton Surakarta adalah batik sawat, batik parang rusak, batik sumangkiri yang bertelacap modang, bangun tulak, lenga teleng, daregem, dan tumpal.
Namun, motif kain batik larangan itu tercatat mengalami perubahan seiring pergantian takhta.
Setelah menduduki kursi raja, PB IV (1788-1820) juga membuat undang-undang yang mirip dengan sebelumnya.
Undang-undang itu mengacu pada larangan pemakaian busana tertentu yang oleh PB IV diberi nomor naskah 7.