Intisari-Online.com -Mahathir Mohamad merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia yang sudah 75 tahun berkecimpung di dunia politik.
Namun kini eraMahathir Mohamad disebut sudah berakhir. Kenapa?
Dilansir dari kompas.com pada Senin (21/11/2022), secara mengejutkanMahathir Mohamad kalah telak dalampemilihan umum atau pemilu Malaysia.
Mahathir Mohamad kalah didaerah pemilihan (dapil) Langkawi dengan hanya meraih 9.62% suara.
Angka itu jelas jauh berbeda ketika dia mampu memenangkan dapil ini dengan 54,90% pada Pemilu 2018.
Dengan hasil itu, maka pria berusia 97 tahun itu harus puas berada di urutan ke-4.
Tak hanya itu, jumlah suara di bawah 10% itu juga membuatnnyakehilangan deposit uang pemilu.
Tentu saja bagi seorang mantan Perdana Menteri terlama Malaysia, itu adalah hal yang memalukan.
Apalagi ini kekalahan pertama Mahathis sejak 53 tahun yang lalu.
Padahal ketikaMahathir kembali ke politik, dia digadang-gadang akan kembali popular.
Mengingat sosoknya yang begitu dihormati. Tidak hanya di parlemen Malaysia, tapi juga di internasional.
Akan tetapi rupanyaMahathir juga disebut-sebut sebagai biang kerok ataskrisis politik berkepanjangan Malaysia.
Terutama ketika Malaysia memiliki 3 Perdana Menteri hanya dalam waktu dua tahun.
Perbedaan pendapat denganAnwar Ibrahim juga menjadi salah satu menurunnya popularitasnya Mahathir.
Inilah yang membuatnya tidak lagi bisa diterima olehblok pemilih moderat, liberal yang cenderung reformis dan pemilih suku non-Melayu.
Apalagi orang suku Melayu juga mulai meninggalkannya ketika dia sering mengambil keputusan yang merugikan suku Melayu.
Misalnya pada kejadian September 2019 silam di manaMahathirmeminta suku Melayu bekerja lebih keras.
Karena menurutnya suku Melayu masih belum sadar dan enggan bekerja. Hal ini membuat suku Melayu kalah saing dengan warga asing.
"Suku Melayu tetap miskin karena tidak mau bekerja keras dan serius berbisnis," kata Mahathir mengakhiri kritikannya.
Terakhir, Mahathir Mohamad juga pernah mengklaimSingapura dan Kepulauan Riau sebagai bagian dari wilayah Malaysia.
Hal itu lantas mendapat banyak kritik dari Indonesia dan Singapura.