Serdadu Kolonial Membawa Gundik ke Barak Militer hingga Undang 'Bencana'

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

(Ilustrasi) Serdadu militer Hindia Belanda dan gundik pribumi.
(Ilustrasi) Serdadu militer Hindia Belanda dan gundik pribumi.

Intisari-Online.com-Tujuan memiliki gundik atau selir yakni untukmeningkatkan prestise pria, salah satunya melalui kemampuannya untuk menghasilkan anak.

Namun bagi para serdadu kolonial, praktik pergundikan muncul lantaran kebutuhan biologis dan tidak tersedianya wanita eropa.

Para gundik ini kemudian disebutnyai yang artinya ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa.

Namunyang terjadi pada anggota militer di Hindia Belanda sepanjang abad ke-19 hingga abad ke-20 justru hal yang 'mengerikan.'

Mereka mulai terjangkiti penyakit kelaminseperti Herpes, Syphilis, Morbiveneris dan lain-lain.

Dalam kebijakannya, pemerintah Hindia Belanda hanya memberikan izin kontrak perkawinan kepada anggota setaraf Sersan Mayor, semua anggota militer yang dipertimbangkan untuk masuk dalam prajurit tetap, dan NCOs dan tentara tingkat bawah yang mendapat izin jenderal.

Dari munculnya kebijakan tersebut, bagi golongan militer yang tidak diberikan izin menikah legal akan menempuh jalan untuk mendapat pernikahan secara tidak legal.

Tidak adanya pengawasan langsung dari pemerintah, dengan mudah membawa para gundik atau Nyai masuk ke barak militer mereka.

(Ilustrasi) Para gundik ini kemudian disebut nyai  yang artinya 'perempuan simpanan' orang asing, khususnya orang Eropa.
(Ilustrasi) Para gundik ini kemudian disebut nyai yang artinya 'perempuan simpanan' orang asing, khususnya orang Eropa.

Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian.

MelansirNationalgeographic.grid.id, kenyataan mengenai kemiskinan inilah yang pada akhirnya melahirkan banyak wanita tunasusila di Hindia Belanda atau menjadi seorang Nyai bagi para lelaki Eropa yang bisa memberikan kehidupan yang layak dan berkecukupan secara ekonomi.

Pada akhirnya, perilaku seks bebas ini diketahui para pejabat tinggi militer hingga ke kalangan atas pemerintah Hindia Belanda.

Akibatnya, dikeluarkan kebijakan yang melarang tinggal satu atap secara tidak resmi dengan para Nyai.

Sebagaimana dilaporkan dalam surat Residen Menado pada tanggal 13 Juli 1889 No. 1321 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, di dalam surat tersebut dituliskan bahwa:

"Residen Menado memberitahukan ada banyak orang terkena penyakit Syphilis sebagai akibat dari merajalelanya prostitusi yang dilakukan baik oleh pribumi maupun bangsa timur asing di daerah Gorontalo."

Kehidupan gundik atau nyai di Hindia Belanda
Kehidupan gundik atau nyai di Hindia Belanda

Dalam akhir laporannya juga disebutkan:

"Jumlah penderita yang harus dirawat setiap hari adalah 20 orang wanita tunasusila pada tanggal 26 Juni telah diadakan pemeriksaan kesehatan terhadap 22 orang wanita dan 17 di antaranya positif mengidap Syphilis."

Tak hanya di Manado, ternyata perilaku seks bebas dan infeksi penyakit kelamin juga terjadi di hampir seluruh wilayah di Hindia Belanda.

Banyaknya penderita penyakit kelamin di kalangan anggota militer Hindia Belanda, membuktikan bahwa penyakit kelamin yang terjadi sepanjang abad 19 bukanlah hal yang sepele.

Hingga memasuki abad ke-20, secara perlahan, banyak tentara yang mulai sembuh dari penyakitnya, meskipun yang lebih ironi, banyak diantara merekayang tewas karenanya.

Baca Juga: Gundik Pribumi Digambarkan sebagai Wanita yang Pakai Guna-guna

(*)

Artikel Terkait