Intisari-Online.com -Praktik pergundikan atau memiliki selir sudah terjadi di peradaban Yunani kuno dan Romawi.
Di Tiongkok kuno, pergundikan adalah praktik kompleks.
Di peradaban tersebut para selir diberi peringkat sesuai dengan tingkat kaisar dengan mereka.
Praktik pergundikan juga terjadi di era kolonial Hindia Belanda.
Henri van Kol, seorang anggota Parlemen Belanda, dalam catatanperjalanannya ke Hindia Belanda yang diterbitkan tahun 1903, mengakui:
"Pergundikan para tentara Hindia adalah sebuah keburukan, dan akibat fatal yang muncul darinya tidaklah kecil."
"Upaya untuk meminimalisir hal itu perlu dilakukan dan merupakan suatu kewajiban (Kol, 1903:768).
Tulisan itu didasarkan atas pengamatannya ketika sedang dalam perjalanan dari Salatiga ke Magelang.
Di situlah ia menemukan suatu kelompok sosial yang lahir dari percampuran darahantara orang Eropa dan Pribumi.
Anak-anak ini, dalam pandangannya cukup negatif.
Tulisan ini menyiratkan sebuah penilaian terkait keberadaan orang-orang yang lahir dari percampuran dua ras yang dianggap sebagai ancaman moral terhadap masyarakat.
Selain anak-anak, Van Kol juga mencatat apa yang kemudian terjadi pada orang tua, terutama para ayah mereka.
Ada kasus seorang ayah yang menelantarkan anaknya kemudiankecanduan alkohol.
Kasus lain adalah seorang ayah yang terus hidup dalam kehidupan libertin dan akhirnyaterkena penyakit sifilis yang membuat akalnya terganggu.
Ada juga yang menjadi gila, sementara yang lain melakukan upaya bunuh diri.
Sekalipun kritik terhadap pergundikan sudah mulai muncul sejak pertengahan abad ke-19, praktikpergundikan masih tetap berlangsung dan pemerintah masih tetap memandang hubungan seksual sebagai sesuatu yang penting untuk dipenuhi hingga adaya pelacuran.
Pada 1852, kemudian muncul peraturan tentang pelacuransebagai salah satu ikhtiar pemerintah kolonial untuk menjawab persoalan seksualitas.
Pelacuran dianggap sebagai ruang yang paling efektif bagi para lelaki Eropa, terutama para tentara, untuk melampiaskan hasrat seksualnya.
Tapi karena praktik ini memunculkan bahaya lain, seperti penyakit kelamin, maka pemerintah harus menjamin kesehatan para pelacur itu sendiri.
Dengan adanya peraturan ini seluruh pelacur akan mendapat pengawasan dan harus mendapat pemeriksaan rutin oleh dokter yang ditugaskan oleh negara
Karena tujuan utamanya adalah untuk kepentingan laki-laki (Eropa), maka objek utama dalam peraturan ini adalah perempuan, para pelacur.
Dalam beberapa pasal memang disebut juga pengawasan terhadap para pengelola rumah pelacuran.
Hanya saja, sebetulnya, para pelacurlah yang menjadi sasaran dalam peraturan itu.
Ini terkait dengan apa yang harus dimiliki oleh seorang pelacur: kartu sehat dari dokter.
Selain itu, para pelacur juga diharuskan berafiliasi ke rumah bordil tertentu.
Tanpa dua hal tadi, seseorang perempuan yang berprofesi pelacur dianggap melanggar.
Baca Juga: Kekaisaran China 'Sediakan' Ribuan Gundik, Namun 'Kering' Kisah Percintaan
(*)