Intisari-Online.com- Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, membuka jalan antara Anyer sampai Panarukan.
Untuk menuruti programnya tersebut, batuan cadas harus dibongkar dan dibobol agar kereta kuda yang membawa pos bisa lewat.
Daendels sendiri terkenal sangat bengis dan keras bahkan segala perintahnya tak boleh dibantah.
Karena galaknya, para bupati yang daerahnya dilewati pembuatan jalan tersebut, sudah tentu harus mengerahkan rakyatnya untuk mengerjakan jalan tersebut jika tak mau dihukum
Pangeran Kusumadinata telah mengerahkan rakyatnya untuk mengerjakan jalan tersebut.
Gangguan sangat banyak. Selain makanan dan minuman sangat sukar, di daerah itu masih terdapat harimau dan kegiatan membongkar cadas tidaklah mudah.
Banyak rakyatnya yang menjadi korban harimau, atau mati kelaparan.
Untuk mendampingi rakyatnya, terkadang Pangeran Kusumadinata bermalam di tempat itu.
Pada suatu hari Pangeran Kusumadinata dan patih Raden Demang Mangku Praja, dan beberapa pejabat lainnya, bersiap-siap untuk menyambut Jenderal Daendels.
Dari jauh Pangeran Kusumadinata telah melihat muka masam dari sang Jendral, karena melihat jalan belum selesai.
Ketika Jendral Daendels dan Pangeran Kusumadinata telah berhadapan muka, sang Jendral memberikan tangan untuk bersalaman.
Pangeran Kusumadinata menyambutnya dengan tangan kiri lantarantangan kanannya dipakai untuk memegangi hulu keris yang telah disiapkan.
Semua para pekerja saling pandang, hatinya berdebaran dan mengira akanterjadi perkelahian sengit.
Daendels tidak jadi memberi salam, ia menarik tangannya. Wajahnya berubah merah padam karena marah. Keduanya saling pandang.
Dari wajah Pangeran Kusumadinata nampak ada maksud membela rakyatnya yang menderita.
la tidak bermaksud menentang Jendral.
Hanya sekedar meminta ke-ringanan. Pangeran ingin menunjukkan kewibawaannya.
"Pangeran Kusumadinata, apa maksud anda menyambut salamku dengan tangan kiri?"
Tanpa rasa ngeri di pandang oleh Jenderal Daendels, Pangeran Kusumadinata menjawab.
"Tuan, saya tidak bermaksud menentang perintah dan bukan bermaksud tidak mengerjakannya. Tapi pekerjaan itu sangat berat. Lagipula peralatan hanya linggis yang tak mungkin membelah cadas dan batubatu yang keras."
"Suatu pekerjaan yang mustahil. Maka saya ingin memperlihatkan kepada Tuan, bahwa pendirian saya lebih baik mati daripada memaksa rakyat sendiri yang sudah tak mungkin mengerjakan pekerjaan mustahil itu."
Mendengar jawaban Pangeran, Daendels agak lunak dan berkata: "Coba ceritakan, apa yang menjadikan keberatan itu, aku ingin mendengarnya."
Pangeran kemudian menceritakan segala penderitaan rakyatnya.
Jenderal Daendels mendengarkan dengan penuh perhatian, dan mengerti apa sebabnya pembuatan jalan agak terhambat.
Setelah itu, Daendels memanggil ajudannya agar mengerahkan pasukan zeni untuk membantu pembongkaran cadas.
Ketika Jenderal Daendels kembali menyodorkan tangannya lagi, Pangeran Kusumadinata menerimanya dengan segala hormat.
(Sumber: Majalah Bobo 29/V-29 Oktober 1977)
(*)