Intisari-Online.com -Barangkali tak ada negara lain yang industri musiknya berkembang justru karena pelanggaran hak cipta kecuali Indonesia. Ya, sejarah industri musik Indonesia yang bermula di awal abad ke-20 dalam kemasan piringan hitam, menjadi sangat marak justru setelah dikembangkan oleh para pembajak dalam format pita kaset.
Kaset lantas beralih ke piringan cakram digital, kemudian berkembang bahkan dilengkapi video. Perjalanan sejarah yang begitu dinamis layaknya musik rock’n roll itu dicatat secara rinci oleh wartawan senior Theodore KS dalam bukunya Rock’n Roll Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital. Berikut ini cukilannya.
---
Lagu-lagu lama muncul kembali berkat Nirwana Records di Surabaya. Perusahaan ini merekam ulang lagu-lagu masa lalu dan melengkapinya dengan gambar, disertakan pula teks lagunya. Jadilah karaoke dalam format laser disc (LD) bergaris tengah 30 cm. Ternyata strategi dagang itu berhasil seiring dengan meningkatnya jumlah pemilik alat pemutar LD. Tapi lama-kelamaan formatnya diperkecil menjadi VCD (video compact disc), beriringan dengan keberadaan alat pemutar yang makin massal dan lebih murah. Sejak itu format CD (compact disc) dan VCD menjadi pilihan rekaman lagu dan film-film bajakan. Kaset masih menjadi pilihan, tetapi bukan yang utama. Kecuali kondisi husus yang dihasilkan dari penjualan album “Bintang Lima” dan “Pendawa Lima” Dewa 19 (1993) lebih dari satu juta kaset. Desember 2000 Jamrud berhasil menjual album “Ningrat” sampai dua juta kaset, dan Sheila on 7 menjual satu juta.
Teknologi makin maju dan pembajak makin mudah bekerja. Produk bajakan diarahkan pada CD. Jadilah harga CD yang di toko resmi Rp35.000, dalam bentuk bajakan hanya Rp8.000. Lantas ada masanya nada dering telepon diisi rekaman lagu dan dijual. Ternyata pasarnya tumbuh, dan ujung-ujungnya menghasilkan royalti bagi penciptanya. Pada tahun 2002 dihasilkan Rp178.450.000, pada 2003 meningkat jadi Rp1.017.826.472, dan pada 2004 menjadi Rp2.268.342.966. Royalti itu dikumpulkan oleh YKCI dari content profider (CP) seperti Mobile Gaul, Tigermob, Iguana, 123 Fun, dll. yang jumlahnya mencapai 150-200 perusahaan namun yang terdaftar sebagai anggota Indonesia Mobile and Online Content Provider Assosiation (Imoca) hanya 50 perusahaan, dengan 20 perusahaan saja yang ikut berbisnis ringtone.
Penyedia konten itu membayar royalti kepada YKCI sebesar 6,25%, atau minimal Rp300 per ringtone. Untuk mengunduh setiap ringtone, sebuah perusahaan CP rata-rata mengenakan tarif Rp3.000 untuk dering monophonic dan Rp5.000 untuk dering polyphonic. Satu lagi kewajiban CP adalah membayar 10% dari harga jualnya, atau minimal Rp500, kepada Apmindo, wadah penerbit musik yang diberi hak oleh pencipta lagu untuk “mengeksploitasi” karyanya bagi berbagai kepentingan yang tertuang dalam Undang-undang Hak Cipta No.19/2002.
Yang menjadi masalah bagi anggota Imoca adalah, mereka membayar royalti pencipta lagu, sementara gerai-gerai telepon seluler di mal-mal hingga kaki lima menjual ringtone sebuah lagu baru Rp10.000 plus bonus dua lagu tanpa menghubungi apalagi membayar royalti kepada YKCI maupun Apmindo. Belum lagi masalah ringtone teratasi, format MP3 (Moving Pictures Experts Groups Layer 3) dari sebuah rekaman yang dijadikan ringback tone (RBT) menjadi pasar baru industri musik.
Setiap RBT yang dijual operator seharga Rp9.000, dipotong Rp2.000 untuk biaya administrasi dan infrastruktur operator. Jadi, Rp9.000 – Rp2.000 = Rp7.000. Lagu Peterpan seperti Ada Apa Denganmu, Topeng, dan Mimpi yang Sempurna yang sangat populer pada 2005, setiap harinya antara Januari dan Mei 2005 diminta sebagai RBT oleh 5.000 hingga 10.000 pemilik telepon seluler. Ini berarti, selama lima bulan (150 hari), lagu-lagu Peterpan itu menghasilkan: 150 hari x 10.000 x Rp7.000 = Rp10,5 miliar. Jumlah itu dibagi dua, operator (dalam hal ini Telkomsel) dan Musica Studio’s sebagai perusahaan pemroduksi rekaman Peterpan, masing-masing Rp5,25 miliar. Pencipta lagu kebagian 9%, artinya Peterpan memperoleh Rp5,25 miliar : 9% = Rp472.500.000.
Industri musik Indonesia pun menjadi industri RBT. Perusahaan jasa telekomunikasi seluler ramairamai masuk, bekerja sama dengan perusahaan rekaman. Meski bukan mayoritas pengguna telepon tertarik membeli RBT, industri itu tumbuh pesat. Apalagi untuk penyanyi atau lagu yang banyak disukai. Lagu Matahariku milik Agnes Monica, misalnya, pada tahun 2009 diunduh sebanyak tiga juta RBT dalam sembilan bulan. Labelnya, Aquarius Musikindo, tidak bersedia menyebutkan angka royalti yang diterima Agnes setiap tiga bulan. Kalau saja ia memperoleh 20%, berarti 3.500 x 20% x 3 juta = Rp2,1 miliar dalam waktu sembilan bulan.
Cerita RBT paling sensasional adalah Mbah Surip (Urip Achmad Riyanto, kelahiran 5 Mei 1949, meninggal di puncak kesuksesannya pada 4 Agustus 2009) dengan lagulagunya yang “meledak” antara lain Tak Gendong, Bangun Tidur, I Love You Full. Lagu-lagu dari tahun 2003 yang dirilis ulang Mei 2009 itu diberitakan menghasilkan royalti RBT Rp4,5 miliar. Bahkan Ketua Umum PAPPRI Dharma Oratmangun kepada Warta Kota mengatakan, jumlahnya bisa lebih besar, Rp10 miliar. Sementara majalah Gatra mengutip pernyataan Mbah Surip bahwa royalti yang dia terima Rp82 miliar. Hanya saja dia tidak tahu menagihnya ke mana?
Berdasarkan data penjualan RBT hingga Juli2009, album “Tak Gendong” dipakai sebagai RBT oleh 62.484 pelanggan Indosat, 62.904 pelanggan XL, 125.090 pelanggan Esia, dan 338.012 pelanggan Telkomsel. Total dari tujuh operator, selama dua bulan RBT lagu Tak Gendong dipakai oleh 617.159 pelanggan. Meski tak jelas angka persentase pembagiannya, yang pasti, Mbah Surip menerima Rp112.386.041 untuk royalti RBT, royalti penjualan kaset/CD, dan honor acara televisi yang diserahkan pada 21 Agustus 2009 oleh Falcon Interactive – perusahaan rekaman yang memproduksi lagu lagunya.
Boleh dibilang, RBT mengambil alih penjualan kaset dan CD. Tapi musibah terjadi ketika pada 18 Oktober 2011 pemerintah menonaktifkan RBT karena masalah penyedotan pulsa pemilik telepon seluler.
Dari RBT, muncul toko maya yang melayani pembelian lagu yang digagas Telkomsel, bermitra dengan beberapa perusahaan rekaman musik, LangitMusik. Juga muncul perusahaan sejenis, Independent Music Portal (IM:port). Bedanya dengan RBT, kedua terakhir itu berisi lagu secara penuh dan pilihan sendiri, bukan pilihan orang yang ditelepon.
Industri musik Indonesia kembali naik-turun bak irama rock’n roll. RBT surut, namun peredaran secara digital kian lengkap lewat format MP3 dan menggunakan sarana internet, panggung-panggung pertunjukan, media massa, juga televisi. Tak juga bisa dilepaskan adalah kelompok-kelompok di luar label rekaman yang mengedarkan karya musik secara independen.Artikel ini berjudul asli "Musik Indonesia: Beragam,Seragam, dan Bajak-membajak yang Kejam" ditulis oleh Mayong S. Laksono, pernah dimuat di Intisari edisi Februari 2014.